Sunday, August 26, 2012

Rangkaian Kehidupan Puisi Arsyad Indradi (Bagian 2/Habis)

-- Tarman Effendi Tarsyad


JAUHKAN FATAMORGANA DI MATAKU

Mengapa aku selalu berpaling dari tatapan
Karena aku tak ingin lagi terperangkap
Sebab aku telah membaca semesta
Aku tak pernah lagi percaya pada nasib
Maka meski terus berjalan
Larat yang paling penghabisan
Adalah efitap rampungan segala jejak
Mengembalikan nafas

Dan tak lagi mengenang
musafir mengarung dunia ini
kecuali membungkus tulangbelulang
dengan asmamu.

Bbaru, 2007

Secara tersirat puisi di atas juga mengemukakan bahwa dalam prosesnya kehidupan ini akan menemui kematian. Salah satu harapan penyair saat akhir kehidupan, menjelang kematian, yaitu senantiasa mengingat Tuhan. Sebagaimana dikatakannya pada bait terakhir, ”Dan tak lagi mengenang/musafir mengarung dunia ini/kecuali membungkus tulangbelulang/ dengan asmamu”. Begitu pula dengan puisi ” Di Atas Sajadah ” (2006:77)
penyair juga menyadari bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kematian. Sementara kematian bisa terjadi dimana saja. Kubur juga bisa dimana saja. ” laut dan lembah dan rimba dan gunung/ adalah kubur bila ajal tiba”. Untuk itu penyair berharap,”ya tuhan beri aku kesempatan/meraut namamu dan menerbangkankannya/jauh ke dalam diriku/ dan ajalkanlah bila sampai di arasymu”.

DI ATAS SAJADAH

hidup tak lebih meraut layanglayang dan
menerbangkannya ke angkasa
angin dan hujan dan panas dan awan
adalah rajah nasib di tangan
laut dan lembah dan rimba dan gunung
adalah kubur bila ajal tiba
tapi ya tuhan beri aku kesempatan
meraut namamu dan menerbangkannya
jauh ke dalam diriku
dan ajalkanlah bila sampai di arasymu

banjarbaru, 1980

Pada puisi di atas penyair memberikan perumpamaan bahwa “hidup tak lebih meraut layanglayang dan /menerbangkannya ke angkasa”. Akan tetapi pada suatu saat laying-layang itu akan jatuh Pada suatu saat manusia akan menemui kematian. Begitu pula dengan puisi ”Antara Kapal Berlabuh” (2006a:2). Melalui puisi tersebut penyair memperumpamakan kehidupan manusia seperti kapal yang berlayar mengarungi lautan. Banyak rintangan. Akan tetapi menurut penyair manusia harus terus berlayar,”sebab laut adalah sebuah jalan painjang/yang mesti kita tempuh/dan kita tak perlu lagi berpaling”. Meskipun demikian penyair menyadari bahwa pelayaran, perjalanan kehidupan, pasti akan berakhir. Kehidupan manusia akan berujung pada kematian.

ANTARA KAPAL BERLABUH

jangan ada sangsi ketika puput penghabisan
pertanda senja akan membawa kita
ke ombak yang paling jauh
muara tak lagi perbatasan bertolaknya
sebuah kapal yang sarat dengan riwayat
yang kita aksarakan pada sebuah perjalanan
dan burungburung laut melepaskan
kepaknya ke karangkarang ketika
kelam menyempurnakan malam
adalah masasilam yang kita sauhkan
pada alir usia kita sebab
langit tak lagi dapat menyimpan
pandangan mata bila kita akan
menghitung nasib antara kapal
berlabuh dengan pelabuhan
di mana kita menambatkan keyakinan
maka layar telah kita kembangkan
sebab laut adalah sebuah jalan panjang
yang mesti kita tempuh
dan kita tak perlu lagi berpaling

Banjarmasin, 1972

Kesadaran penyair bahwa kehidupan manusia ini akan berakhir pada kematian, juga dikemukakannya melalui puisi “Pulang” (2009:9). Melalui puisi tersebut, penyair juga mengemukakan proses kehidupan yang terus berlangsung. Akan tetapi, sebagaimana puisi sebelumnya, penyair juga menyadari bahwa perjalanan hidup manusia akhirnya menuju suatu kematian.

PULANG

Memandang burungburung melintas sawang
Ingin kudengar kepaknya kemana akan tetirah
Senja yang semakin kelam
Kasidah sunyi semakin dalam

Aku terus juga berjalan menyisir suratan alamat
Dan tak pernah lagi menghintung perhentian
Dimana aku datang dan pergi
Kemudian datang
Dan sampai waktunya tak pernah kembali lagi
Masuk rumah keabadian sunyi

Serpong, 2007

Kesadaran penyair akan kematian, juga dikemukakannya melalui puisi ”Kubaringkan Tubuhmu” (2006c:7). Suatu saat manusia akan menemui kematian. Suatu saat tbuh manusia akan dibaringkan untuk selamanya.

KUBARINGKAN TUBUHMU

Kubaringkan tubuhmu di sini
Sampai batas pertemuan kita
Tak usah kau hitung lagi
Harihari perjanjian dendam
Dari negeri jauh
Sebab berulangkali
Kubiarkan wajahmu cuma
Bayangbayang tak kumengerti
Melintasi setiap kutub
Dimana kita ingin membaca
Isyarat lengsernya senja
Maka jika kau cari
Gumam doadoaku
Jangan kau tanya lagi
Persinggahan ini

Banjarbaru,2000

Kematian sesuatu yang pasti sifatnya. Oleh karena itu pada puisi ”Pada Suatu Stanza” (2006c:42) penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi.


PADA SUATU STANZA

Jangan ratapi kematian
Kau tak akan pernah mengenal airmata
Apakah ada cinta yang abadi
Jika ada yang hilang pada dirimu
Dan ratapan segenap putusnya ikatan
Ia adalah dusta cintamu
Dusta di balik gulita dalam terang
Yang tak habis membaca rahasia kehidupan

Tapi kuratapi hanya kau kekasih
Yang ingat belasungkawa dalam diam
Dan tak pernah rintih dalam kerinduan
S’tiap kuusik tidurku dalam diri
Kau berkata : Jauhkan cinta pada ajalku
Ia adalah altokumulus kehidupan
Yang tak lepas meracuni setiap orang
Maka aku berpihak kepadamu

Aku berpihak kepadamu kekasih
Mataku selalu jaga kala tidur
Aku berkata : Ekstase jiwa
pengungkap segala dusta semesta
Di mana sukma pikiran
Lahir tanpa ibubapa
Aku dalam renung
Yang berpihak kepadamu

Banjarbaru,2004

Bila penyair menyadari bahwa kehidupan akan berakhir pada kematian. Bila penyair berharap bahwa kematian jangan diratapi. Timbul pertanyaan, kematian yang seperti apa yang dikehendaki oleh penyair ? Puisi “Doa Selembar Daun” (2006:42) berikut barangkali memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

DOA SELEMBAR DAUN

bila aku luruh
luruhlah dari tangkaiMu
luruh atas kasihsayangMu
bumi adalah sajadah
terhampar dari firmanMu
beri aku bumi
agar sujud abadi di rabbMu
sesungguhnyalah aku adalah daun
dari sebatang pohon
yang kutanam sewaktu masih segumpal darah
tapi perkenankanlah
inilah doaku yang paling terakhir
bila aku luruh
berilah aku luruh
luruh dari tangkai kasihsayangMu

banjarmasin, 1974

Selain puisi di atas, puisi “Risalah Perjalanan” (2006b:42) barangkali juga memberikan jawaban atas pertanyaan kematian yang seperti apa yang dikehendaki penyair ?

RISALAH PERJALANAN

aku musafir dalam lubukhatimu
karena dalam diammu
seperti halnya menghitung bintang di langit
agar aku dapat melihat hakikat dahagaku
wahai berilah aku anggur duka
agar lunas s’luruh letihku
jika aku masuk dalam persembunyianmu
duhai begitu nikmatnya ajal tiba

banjarmasin, 1977

Dengan demikian jelas bahwa melalui beberapa puisi Arsyad Indradi dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang erat kaitannya dengan diri penyair. Seperti memilih kota sebagai tempat tinggal, aktivitas dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, beberapa harapan kepada Tuhan yang dikemukakan terutama melalui doa, kesadaran bahwa kehidupan ini akan berakhir pada kematian, dan gambaran kematian yang diinginkan penyair.

Terlepas dari gambaran di atas, suatu hal yang perlu dicatat pada puisi Arsyad Indradi, terutama berkenaan dengan bahasa puisinya sebagaimana juga puisi Hahami Adaby seperti terlihat dalam kumpulan Bunga Angin (2002) yaitu adanya penulisan kata ulang tanpa tanda penghubung (-) dan kelompok kata yang ditulis serangkai. Sebagai contoh pada puisi Arsyad Indradi dapat dilihat pada kumpulan pertama dan terakhir. Dalam kumpulan pertama Nyanyian Seribu Burung, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda penghubung misalnya buihbuih, burungburung, rumahrumah,bayibayi, tangantangan, dosadosa, tibatiba, kembangkembang, mejameja, kursikursi, suratsurat, batubatu, retakretak, katakata, tubuhtubuh, dan orangorang. Penulisan kelompok kata yang serangkai misalnya masasilam, malambuta, anaksianak, satudemisatu, zamankezaman, yatimpiatu, dan hingarbingar.

Dalam kumpulan terakhir, Anggur Duka, penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung misalnya tibatiba, lelehleleh, kuhempashempas, batubatu, wajahwajah, alapalap, letihletih, burungburung, pedagangpedagang, orangorang, masingmasing, lembahlembah, bukitbukit, batangbatang, anakanak, rumahrumah, ayatayat, dan kunangkunang. Penulisan kelompok kata yang ditulis serangkai misalnya kesumabangsa, satupersatu, hatinurani, aksaranamu, hirukpikuk, lembardemilembar, mengasihsayangi, berhatinurani, porakporanda, gerimismalam, katahati, airmataduka, mataharimerah, bersuntingbunga, mataombak, dan untaidemiuntai. Sehubungan dengan penulisan kata ulang yang ditulis tanpa tanda hubung dan menggabungkan kata yang seharusnya terpisah, sebenarnya juga dilakukan oleh Dorothea Rosa Herliany. Bahkan Dorothea Rosa Herliany juga menulis misalnya satu larik yang terdiri dari beberapa kata, tetapi ditulis serangkai. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam kumpulan puisi Dorothea Rosa Herliany pada judul Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill TheRadio-Sebuah Radio,Kumatikan (2001), Para Pembunuh Waktu (2002), maupun dalam Nikah Ilalang (2003). n

Tarman Effendi Tarsyad, lahir di Banjarmasin, 29 Oktober 1961. Puisinya dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Siklus 5 Penyair Muda (1983), Puisi Indonesia 87 (1987), Jendela Tanah Air (1995), Perkawinan Batu (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (Banjarmasin Dalam Puisi,2010), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011), Kumpulan puisi tunggalnya, Segalanya Tetap Memberi Makna (Tahura Media Banjarmasin, 2012).


Sumber:  Media Kalimantan, Minggu 26 Agustus 2012.n

No comments: