Saturday, September 30, 2006

Esai: Gelar Adat, Feodalisme di Negeri Egaliter



-- Ivan Adilla gelar Bagindo Sulaiman*


Harian Kompas edisi 29 Agustus 2006 menurunkan berita berjudul "SBY Akan Terima Gelar Adat". Konon, gelar Yang Dipatuan Maharajo Pamuncak Sari Alam itu diberikan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau; lembaga adat yang kelahirannya dibidani militer dan pada masa Orde Baru merupakan salah satu pendukung utama Golkar.

Pemberian gelar adat untuk orang di luar Minangkabau bukanlah gejala baru. Di tahun 1950-an pernah ada rencana memberikan gelar adat Bundo Kandung kepada Fatmawati, yang saat itu menjadi Ibu Negara. Rencana itu batal setelah AA Navis berhasil meyakinkan pihak militer bahwa gelar yang berasal dari tokoh mitos itu tidak layak disandang oleh Ibu Negara.

Sejak beberapa tahun terakhir, gelar adat telah diberikan kepada Yusril Ihza Mahendra, Taufik Kiemas, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, dan Anwar Nasution. Begitu pentingkah gelar adat bagi pejabat dan pengusaha negeri ini?

Bagi lelaki Minangkabau, gelar adat adalah sebuah kemestian. Pepatah adat mereka mengatakan, ’ketek banamo, gadang bagala’ (kecil punya nama, setelah dewasa diberi gelar). Setiap lelaki yang sudah menikah tentu diberi gelar adat, yang diumumkan dalam sebuah acara sederhana saat perhelatan kawin. Pemberian gelar itu merupakan pengakuan bahwa mereka kini telah menjadi lelaki dewasa, yang akan diikutsertakan dan diakui hak suaranya dalam musyawarah kaum.

Gelar merupakan warisan, bukan hak milik individu. Begitu seseorang meninggal dunia, maka gelar itu harus dikembalikan kepada kaum sebagai pemiliknya. Seseorang tidak berhak mewariskan gelar itu pada orang lain tanpa persetujuan kaum. Disebabkan setiap orang Minangkabau punya kaum, maka setiap lelaki dewasa akan selalu punya gelar. Jadi, gelar adat bukanlah sesuatu yang istimewa dalam masyarakat Minangkabau.

Masyarakat egaliter


Gelar layaknya tanda bagi sebuah alamat, yang akan diakui kebenarannya jika ia menunjuk pada alamat yang tepat. Pengakuan terhadap penyandang gelar ditentukan oleh kemampuannya menjalankan amanat sebagaimana tersirat pada gelar yang dipakainya. Sebaliknya, jika penyandang gelar tak ma-(mp)-u menjalankan amanat, maka gelar itu tidak akan berarti apa pun. Malah ia akan menjadi beban dan sumber cemooh.

Masyarakat Minangkabau dengan budaya egaliter menempatkan manusia dalam posisi sejajar. Bertolak dari sikap pragmatis, penilaian mereka terhadap manusia didasarkan pada kemampuan seseorang menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Orang pintar akan dihargai bila ia mampu diajak berunding, dan seorang kaya dihargai jika bisa menjadi tempat mengadu saat kesulitan.

Begitupun halnya dengan pemegang gelar adat. Ketidakmampuan seorang penyandang gelar adat menjalankan fungsi yang diharapkan, dapat mengakibatkan dia dipandang rendah. Masyarakat akan menggunakan hukum sendiri; melupakan gelar lama dan memberi gelar baru yang dipandang lebih cocok.

Beberapa tahun lalu, ada penghulu yang digelari Datuk Gelung dan Datuk Togel. Sesungguhnya mereka penyandang gelar penghulu yang sah dan diakui kerapatan adat. Tapi karena penghulu itu lebih mementingkan profesinya sebagai penangkap dan penjual ular daripada mengurus anak-kemenakan, digelarilah ia Datuk Gelung. Yang satunya, lebih menonjol sebagai agen toto gelap (togel) daripada menjadi ninik mamak, maka diberi gelar sesuai kesukaannya itu. Begitulah bentuk protes masyarakat terhadap mereka.

Padahal, jika dipikir-pikir, gelar adat itu begitu beratnya dan sulit diwujudkan di dunia nyata. Bayangkan saja, ada gelar Datuk Sutan di Langit, padahal ia lahir dan mencari hidup di bumi. Atau gelar Sutan Menjinjing Alam, padahal menjinjing telinga sendiri pun ia tak mampu karena tangannya buntung beberapa saat setelah gelar itu diberikan. Ada juga yang bergelar Sutan Bandaharo Kayo, tetapi nasib menggariskan ia hidup melarat karena harta kaumnya telah habis tergadai.

Dalam banyak kasus, pemegang gelar adat lebih tertarik menjalankan fungsi dan menjadi terkenal di bidang lain. Gelar adat yang disandangnya menjadi kurang populer dan seakan tidak melekat pada diri pemakainya.

Begitulah misalnya, HAMKA lebih dikenal sebagai ulama dan penulis daripada sebagai seorang penghulu yang bergelar Datuk Indomo. Atau M Natsir lebih dikenal sebagai pemikir dan ulama daripada penghulu bergelar Datuk Sinaro Panjang. Juga Ibrahim Datuk Tan Malaka lebih dikenal sebagai pemikir pejuang daripada ahli adat, meskipun nama adatnya itu lebih populer dibanding nama kecilnya.

Feodalisme baru

Setidaknya, sejak tahun 1980-an, di Sumatera Barat banyak birokrat dan pengusaha yang memburu gelar adat. Gelar datuk merupakan gelar yang paling disenangi.

Hal itu lazim berlangsung menjelang pemilihan anggota legislatif atau kepala daerah. Itulah saat koran dipenuhi iklan ucapan selamat atas peresmian pengangkatan gelar. Gelar yang diberikan itu sebagiannya memang menurut garis silsilah keluarga. Hanya saja peresmiannya ’disesuaikan’ dengan musim pemilu atau pilkada.

Bagi yang berada di luar silsilah, mereka memburu gelar itu di tempat lain. Dengan kemampuan bersilat lidah, para calo gelar mengutak-atik silsilah kaum lain agar cocok dengan pemesan gelar.

Singkat kata, berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan gelar adat. Seakan-akan prestasi dan kehebatan seorang (calon) pejabat atau anggota legislatif atau pengusaha belum lengkap tanpa menyandang gelar adat.

Sikap para pemburu gelar itu merupakan kelanjutan dari pandangan mitologis dari zaman prasejarah. Pada sebagian besar kebudayaan dunia ada pandangan bahwa seorang raja dan kaum aristokrat tidak (boleh) sama dengan rakyat biasa. Mereka adalah makhluk luar biasa, sejak dari kelahiran, kekuasaan hingga gelarnya.

Di Eropa, silsilah raja-raja dikaitkan dengan Dewa Zeus, di Nusantara ada raja yang lahir dari buih ludah sapi jantan, menikah dengan penguasa samudra, atau berkat kekeramatannya ia hamil tanpa suami. Berbagai mitos dibuat untuk meyakinkan masyarakat tentang keluarbiasaan itu. Tujuannya jelas, melanggengkan kekuasaan. Itulah yang kemudian melahirkan sikap feodalistis di kalangan aristokrat.

Pada era reformasi di abad ke-21 ini, ternyata berbagai mitos dan sikap feodal itu masih melekat erat di sebagian masyarakat kita. Pemberian gelar adat merupakan contoh yang jelas untuk hal ini. Dari sudut pandang adat, tak ada alasan yang bisa menjelaskan kenapa gelar adat diberikan kepada para pejabat yang bermukim di Jakarta.

Fakta itu baru bisa dipahami jika dikaitkan dengan menguatnya sikap feodalistis di sebagian masyarakat daerah. Dalam pandangan kaum feodal, pejabat yang berada di lingkaran pusat kekuasaan adalah seorang atasan dengan nilai kebangsawanan dan kekuasaan yang lebih tinggi daripada mereka di daerah.

Jika pejabat pusat datang, maka kalang kabutlah para pejabat daerah menyiapkan acara penyambutan dan pelayanan. Mereka mengharapkan berkah dan hadiah dari atasannya. Pemberian gelar rupanya juga salah satu modus efektif untuk itu.

Ironisnya, pertunjukan feodalistis itu berlangsung di Minangkabau. Sebuah negeri yang dibanggakan karena pandangan budayanya yang egaliter. Sebuah negeri yang menyumbangkan banyak pejuang, pemikir, seniman, wartawan, ulama, dan sastrawan bagi bangsa ini di masa lalu. Sebuah negeri yang berani bergolak untuk mengoreksi pusat kekuasaan yang salah arah. Negeri di mana kini rasa rendah diri dipelihara dan dipupuk untuk menyenangkan hati pejabat pusat. Negeri yang kini ngeri memandang pusat kekuasaan.

Ivan Adilla gelar Bagindo Sulaiman
, Mengajar di Fakultas Sastra Universitas Andalas

Sumber: http://www.kompas.com, Sabtu, 30 September 2006


Catatan Udo Z. Karzi


Feodalisme semacam ini seperti ini juga terjadi di Lampung. Hampir semua petinggi negara seperti Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, mantan Mendagri Hari Sabarno, dan lain-lain yang berkunjung ke Lampung selalu mendapatkan gelar adat (bahasa Lampung: adok).

Tak kecuali pejabat Lampung sendiri yang berkunjung ke daerah-daerah, juga mendapatkan adok.

Kritik soal ini berkali-kali saya tulis di Lampung Post.

Saturday, September 23, 2006

Buku Cerpen: The Regala 204B, Melawan dengan Sastra


-- Ahmad Munief*


....Ketika kumulai pekerjaan pagiku dengan bersih-bersih, aku mendapati kamar majikanku telah kosong. Keadaannya bagai kapal pecah. Beberapa kaleng minuman keras yang telah kosong berserakan di atas meja kerjanya. Selimut menjuntai di bawah ranjang. Baju-baju yang biasa kugantung rapi di lemarinya pun kali ini berserakan di lantai. Di pojok ruangan, bangkai pesawat telepon hancur berkeping-keping. Keadaan benar-benar bagai puing perang dunia ketiga...

Memang, tak satu pun kata kutipan di atas yang secara tegas menyerukan perlawanan. Tapi jangan mengartikan perlawanan dalam makna sempit. Publikasi sebuah cerita tentang kaum marjinal adalah juga bermakna perlawanan. Itulah yang dilakukan Nera Andiyanti dengan cerpen The Regala 204 B. Oleh penerbit, judul cerpen karya Nera ini juga dipilih untuk menjadi judul kumpulan cerpen (kumcer).

Cerpen "The Regala 204 B" bercerita tentang seorang warga Indonesia yang menjadi pekerja di Hong Kong. Nela namanya. Majikannya seorang laki-laki yang tinggal sendiri di rumah. Sebagai pekerja, Nela tidak tahu apakah majikannya benar-benar masih sendiri atau sudah menikah, namun istrinya tinggal di rumah yang lain.

Sosok Nela pada cerpen ini digambarkan sebagai seorang pekerja yang tidak peduli pada kehidupan majikan. Bagi Nela, asal majikan menggaji tepat waktu dan tidak mempersulit dia melaksanakan shalat, itu sudah cukup. Ditambah, majikannya selama ini tidak pernah bersikap kasar. Maka, tak salah bila Nela menganggap majikannya adalah orang baik.

Prasangka Nela tampaknya salah. Majikannya ternyata bukan orang baik. Konflik Nela dan majikannya ini mampu diolah dengan baik oleh penulisnya. Nera Andiyanti mampu menghadirkan kecemasan Nela. Gambaran kesendirian dan ketakberdayaan seorang yang bekerja di negeri rantau begitu tampak pada cerpen ini.

Begitu pula dengan penulis lain dalam kumcer ini. Seperti Sunlie Thomas Alexander, ia dengan apik menceritakan kehidupan keluarga miskin dari sudut pandang anak perempuan yang ditinggal mati ayahnya. Dalam cerpen berjudul "Dapur", Sunlie mampu menghadirkan kepahitan hidup sosok anak bernama Tie. Tie ditinggal pergi ayah dan ibunya. Ayahnya meninggal tertimbun tanah ketika sedang mencari nafkah dengan mengail sisa-sisa timah dari perusahaan tambang. Sementara ibu Tie meninggalkannya karena harus mencari uang untuk menyekolahkannya. Tie dan adiknya yang masih kecil hidup di antara para tetangga yang sering menggunjingkan pekerjaan ”nista” ibunya.

Cerita kaum terpinggirkan seperti Nela dan Tie inilah yang terangkum dalam kumcer The Regala 204 B. Seperti judul dalam catatan penerbit, ”Sastra Persembahan (untuk) Kaum Marjinal”, tampaknya kumcer ini berusaha mengangkat tema sastra marjinal.

Makna Sastra Marjinal

Semua cerpen dalam kumcer The Regala 204 B bercerita tentang kaum marjinal, namun tidak dengan sendirinya bisa dikategorikan sebagai sastra marjinal. Memang, dengan pendekatan ”kritik budaya” yang lebih menekankan pada unsur intrinsik karya sastra, The Regala 204 B bisa dikategorikan sebagai sastra marjinal.

Namun dengan pendekatan ”cultural studies” yang lebih mengutamakan posisi karya sastra ataupun penulis dalam kaitannya dengan sistem sosial (ekonomi-politik), bisa jadi, kumcer ini tidak tergolong dalam sastra marjinal. Untunglah, dari jajaran penulis yang ada tidak ada salah satu dari mereka yang telah menjadi bagian dominan di dunia sastra.

Jadi, tak perlu meragukan sifat marjinal dari kumcer The Regala 204 B. Kumcer ini selain bercerita tentang kaum marjinal juga ditulis oleh bukan sastrawan dominan. Bisa dikatakan, kumcer ini seratus persen sastra marjinal.

Beberapa Catatan

Ada yang sedikit terasa mengganjal dari beberapa cerpen yang dimuat pada kumcer ini. Salah satunya yang berjudul "Catatan Harian Gembel Cilik" karya Nursalam AR. Karakter ”aku” sering memerankan wayang bagi ide-ide penulis. Namun, ia kadang tidak hidup dengan karakternya sendiri sebagai gembel. Seperti kalimat, ”Siapa bilang jadi orang kantoran enak?” Ini tentu keluhan orang yang pernah bekerja di kantor.

Selain itu, mungkin ini hanya kebetulan belaka, beberapa cerpen mengambil sudut pandang dari seorang bocah. Sebut saja "Dapur", "Catatan Harian Gembel Cilik", dan "Ibu". Ini tentu hanya sebuah pilihan sudut pandang. Bukan merupakan kekurangan dari sebuah cerpen. Secara keseluruhan, kumcer tentang sastra marjinal ini layak mendapatkan apresiasi positif para peminat sastra.

* Ahmad Munief, pegiat Komunitas Sastra Suket Teki, Semarang

Sumber: www.neraandianti.multiply.com, 22 September 2006

Tuesday, September 19, 2006

Nuansa: Dilarang Pergi-Pergi


-- Udo Z. Karzi


LIMA hari kerja. Tapi, bekerja ya hari Selasa sampai Rabu saja. Malahan boleh jadi cuma sehari-dua. Selebihnya, ya terserah aja deh.

Kan lebih baik memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Pulang ke Bandar Lampung misalnya.

Negarabatin kan cuma tempat cari duit. Maka, habis gajian, malah bingung mau dibelikan apa kalau tetap di Negarabatin. Ya, ke kota dong. Yang ada mal, supermarket, diskotik, karaoke, dan segala hal yang tentu menyenangkan.

Jelas, ini kerugian besar buat Negarabatin. Bagaimana gaji yang didapat di Negarabatin keluar begitu saja alias dibelanjakan di luar. Kan uang tidak beredar di Negarabatin jadinya.

Mamak Kenut sih sejak dulu memang heran dengan kelakuan para pangreh praja yang bertugas di daerah, tetapi rumah, anggota keluarga, dan berbagai hal-hil masih tertinggal di ibukota.

"Gimana mau fokus kerja kalau badan di Negarabatin, tetapi perasaan, angan-angan, dan pikiran masih di tempat lain," kata Minan Tunja.

Tapi, Radin Mak Iwoh sih lebih toleran. "Ya, wajar aja dong. Tempat kita ini kan serba terbatas. Apa salahnya kalau orang sering keluar daerah untuk sekadar melepas kepenatan setelah bekerja keras. Apalagi itu pulang kampung," katanya.

"Siapa bilang itu pulang kampung? Itu kan pulang kota," sambar Mat Puhit.

"Benar-benar nggak efektif model kerja kayak gitu," celetuk Udien.

"Harusnya kan mereka lebih fokus di tempat kerja, di daerah mana mereka bekerja. Pulang kota sebulan sekali sih masih wajar. Tapi, kalau tiap minggu pulang, apa biaya transportasinya nggak membengkak. Jangan-jangan gaji malah sebagian besar habis dijalan?" Pithagras serius.

Setuju!

Bahasa kerennya disampaikan Staf Ahli Bupati Lampung Barat (Lambar) Effendi Ari dalam Seminar Pembangunan Lambar, Antara Realita dan Harapan di Liwa, Selasa (19-9). "Untuk meningkatkan investasi bagi perekonomian di Lambar, para pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) diminta tak meninggalkan Lambar setiap Jumat--Minggu."

Jika pejabat dan pegawai terus meninggalkan Lambar setiap Jumat--Minggu, menurut Effendi, uang atau gaji dari hasil kerjanya itu akan habis dibelanjakan di luar Lambar. Nilai investasi bagi perekonomian Kabupaten Lambar berkurang.

Masalahnya, itu semua hanya sebatas wacana. Teorinya, memang begitu. Tapi, prakteknya sulit. Apalagi tradisi 'pulang kandang' setiap Jumat sore itu justru dicontohkan para petinggi di Negarabatin.

"Pegawai sini ya ikut pulang dong kalau kepala dinasnya pulang. Emang pejabat aja yang boleh pulang kampung."

"Masa kangen ditahan-tahan?"

"Kan demi tugas."

"Mana bisa fokus bekerja kalau sedang dilanda rindu."

"Itu kan risiko dari status."

"Katanya sebagai abdi negara, abdi masyarakat, abdi...."

"Itu kan peraturannya. Mana ada yang benar-benar bekerja ideal kayak gitu. Sudah jelas aja, kerja itu untuk keluarga. La, kalau nggak pulang-pulang, apa enaknya kerja. Paling senang kan kalau berkumpul dengan keluarga."

"Kenapa nggak diajak aja ikut ke daerah tempat kerja?"

"Ya nggak bisa. Dia juga kan aga kerjaan."

"Ya, kan bisa diatur."

"Ya nggak gampang."

Dilarang pergi-pergi! Memang ada resiko. Tapi, resiko atau berbagai argumen untuk menolak larangan ini, jelas lebih kecil dibandingkan dengan kemaslahatannya jika larangan ini benar-benar dipraktekkan. Bagi Negarabatin, daerah tempat sang pegawai dan si pejabat bekerja dan mendapatkan gaji. Ya kan?

Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 September 2006

Monday, September 18, 2006

Sajak: Telah Diingatkan

-- Udo Z. Karzi

telah kusaksikan kerusakan
di laut darat langit
telah datang bencana
dari muka belakang samping
atas bawah perut bumi

kita tak mampu menduga
kita tak bisa mengelak
kita tak kuasa menolak

telah diperlihatkan padamu
betapa tak ada artinya keangkuhan
betapa kecilnya makhluk bernama manusia
dan betapa kau tak ada apa-apanya

tapi tragedi bukan untuk disesali
kematian bukan untuk dirutuki
tapi untuk memberi makna bagi yang hidup
agar tak menjadi sia-sia

: telah diingatkan agar kau berpikir