Saturday, September 23, 2006
Buku Cerpen: The Regala 204B, Melawan dengan Sastra
-- Ahmad Munief*
....Ketika kumulai pekerjaan pagiku dengan bersih-bersih, aku mendapati kamar majikanku telah kosong. Keadaannya bagai kapal pecah. Beberapa kaleng minuman keras yang telah kosong berserakan di atas meja kerjanya. Selimut menjuntai di bawah ranjang. Baju-baju yang biasa kugantung rapi di lemarinya pun kali ini berserakan di lantai. Di pojok ruangan, bangkai pesawat telepon hancur berkeping-keping. Keadaan benar-benar bagai puing perang dunia ketiga...
Memang, tak satu pun kata kutipan di atas yang secara tegas menyerukan perlawanan. Tapi jangan mengartikan perlawanan dalam makna sempit. Publikasi sebuah cerita tentang kaum marjinal adalah juga bermakna perlawanan. Itulah yang dilakukan Nera Andiyanti dengan cerpen The Regala 204 B. Oleh penerbit, judul cerpen karya Nera ini juga dipilih untuk menjadi judul kumpulan cerpen (kumcer).
Cerpen "The Regala 204 B" bercerita tentang seorang warga Indonesia yang menjadi pekerja di Hong Kong. Nela namanya. Majikannya seorang laki-laki yang tinggal sendiri di rumah. Sebagai pekerja, Nela tidak tahu apakah majikannya benar-benar masih sendiri atau sudah menikah, namun istrinya tinggal di rumah yang lain.
Sosok Nela pada cerpen ini digambarkan sebagai seorang pekerja yang tidak peduli pada kehidupan majikan. Bagi Nela, asal majikan menggaji tepat waktu dan tidak mempersulit dia melaksanakan shalat, itu sudah cukup. Ditambah, majikannya selama ini tidak pernah bersikap kasar. Maka, tak salah bila Nela menganggap majikannya adalah orang baik.
Prasangka Nela tampaknya salah. Majikannya ternyata bukan orang baik. Konflik Nela dan majikannya ini mampu diolah dengan baik oleh penulisnya. Nera Andiyanti mampu menghadirkan kecemasan Nela. Gambaran kesendirian dan ketakberdayaan seorang yang bekerja di negeri rantau begitu tampak pada cerpen ini.
Begitu pula dengan penulis lain dalam kumcer ini. Seperti Sunlie Thomas Alexander, ia dengan apik menceritakan kehidupan keluarga miskin dari sudut pandang anak perempuan yang ditinggal mati ayahnya. Dalam cerpen berjudul "Dapur", Sunlie mampu menghadirkan kepahitan hidup sosok anak bernama Tie. Tie ditinggal pergi ayah dan ibunya. Ayahnya meninggal tertimbun tanah ketika sedang mencari nafkah dengan mengail sisa-sisa timah dari perusahaan tambang. Sementara ibu Tie meninggalkannya karena harus mencari uang untuk menyekolahkannya. Tie dan adiknya yang masih kecil hidup di antara para tetangga yang sering menggunjingkan pekerjaan ”nista” ibunya.
Cerita kaum terpinggirkan seperti Nela dan Tie inilah yang terangkum dalam kumcer The Regala 204 B. Seperti judul dalam catatan penerbit, ”Sastra Persembahan (untuk) Kaum Marjinal”, tampaknya kumcer ini berusaha mengangkat tema sastra marjinal.
Makna Sastra Marjinal
Semua cerpen dalam kumcer The Regala 204 B bercerita tentang kaum marjinal, namun tidak dengan sendirinya bisa dikategorikan sebagai sastra marjinal. Memang, dengan pendekatan ”kritik budaya” yang lebih menekankan pada unsur intrinsik karya sastra, The Regala 204 B bisa dikategorikan sebagai sastra marjinal.
Namun dengan pendekatan ”cultural studies” yang lebih mengutamakan posisi karya sastra ataupun penulis dalam kaitannya dengan sistem sosial (ekonomi-politik), bisa jadi, kumcer ini tidak tergolong dalam sastra marjinal. Untunglah, dari jajaran penulis yang ada tidak ada salah satu dari mereka yang telah menjadi bagian dominan di dunia sastra.
Jadi, tak perlu meragukan sifat marjinal dari kumcer The Regala 204 B. Kumcer ini selain bercerita tentang kaum marjinal juga ditulis oleh bukan sastrawan dominan. Bisa dikatakan, kumcer ini seratus persen sastra marjinal.
Beberapa Catatan
Ada yang sedikit terasa mengganjal dari beberapa cerpen yang dimuat pada kumcer ini. Salah satunya yang berjudul "Catatan Harian Gembel Cilik" karya Nursalam AR. Karakter ”aku” sering memerankan wayang bagi ide-ide penulis. Namun, ia kadang tidak hidup dengan karakternya sendiri sebagai gembel. Seperti kalimat, ”Siapa bilang jadi orang kantoran enak?” Ini tentu keluhan orang yang pernah bekerja di kantor.
Selain itu, mungkin ini hanya kebetulan belaka, beberapa cerpen mengambil sudut pandang dari seorang bocah. Sebut saja "Dapur", "Catatan Harian Gembel Cilik", dan "Ibu". Ini tentu hanya sebuah pilihan sudut pandang. Bukan merupakan kekurangan dari sebuah cerpen. Secara keseluruhan, kumcer tentang sastra marjinal ini layak mendapatkan apresiasi positif para peminat sastra.
* Ahmad Munief, pegiat Komunitas Sastra Suket Teki, Semarang
Sumber: www.neraandianti.multiply.com, 22 September 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment