Sunday, September 30, 2012

Fenomena Alan Smithee dalam Meramu Buku

-- Riza Multazam Luthfy


BAGI sebagian tokoh pergerakan, pengaburan identitas merupakan langkah paling tepat dalam rangka menggayuh tujuan. Pengaburan identitas memuat peneguhan atas idealitas serta keberimanan atas realitas. Di dalamnya terkandung perlawanan sekaligus persesuaian diri dengan keadaan. Kondisi politik maupun sosial yang kurang menguntungkan pada suatu masa mendesak mereka untuk menyiasatinya dengan menggelapkan jati diri. Maka, "menyamar" pernah dijelmakan sebutir usaha yang digencarkan oleh Natsir dan Tan Malaka.

Selingkar tahun 1920—1930, Natsir melempar tuduhan bahwa kampanye Partai Nasional Indonesia menyemai bibit kebencian dan meremehkan Islam. Natsir urung tinggal diam. Bersama teman-temannya di majalah Pembela Islam, ia menggelontorkan tulisan pedas guna menyerang balik kelompok nasionalis. Tak ayal, karena begitu "beratnya" tulisan-tulisan tersebut, semua pengarang menggunakan nama samaran atau inisial, demi menyingkirkan tubuh dari ancaman hukuman delik pers (pers delict). Muncullah inisial AH, AL, AM WS, dan MS, sedangkan Natsir sendiri merahasiakan diri dengan AM atau A. Moechlis, serta Is. (Ali Rif'an, 2011: 32)

Adapun Tan Malaka—sesuai catatan Franz Magnis-Suseno (2001)—mengantongi beraneka ragam nama samaran sepanjang perburuan terhadap dirinya masih bergaung. Tentu, supaya bisa bernafas lebih lama, perekacipta Madilog ini menyesuaikan personalitasnya dengan kultur negara di mana ia bermukim. Oleh dasar itulah, ia menyematkan nama Elias Fuentes tatkala berada di Filipina, Ong Soong Lee di Hong Kong, Ramli Husein dalam perjalanan Singapura ke Indonesia, dan Ilyas Husein sewaktu bekerja di pertambangan Bayah, Banten. Nama lainnya, yaitu Cheng Kunt Tat, Elisio Rivera, serta Howard Law.

Maraknya Alan Smithee

Pengaburan identitas tidak hanya diketam oleh para tokoh pergerakan. Alan Smithee—penyebutan nama samaran agar nama asli tidak ditampilkan dalam credit title—juga menjangkiti para pengarang. Sudah barang tentu terselip musabab mengapa pengaburan identitas tersebut bisa terbit. Salah satunya yaitu riuhnya gerakan militer yang membatasi aktivitas dan ruang gerak kreativitas.
Dalam perjalanan sejarah, betapa perseteruan antara korps bersenjata dan pengarang pernah menyentuh titik klimaks. Dengan dalih memihak negara, militer leluasa melancarkan tekanan, baik fisik maupun mental, yang luar biasa bagi pengarang. Pengarang-pengarang besar seperti François-Marie Arouet dan Mohamed Moulessehoul rajin mengunyah bengisnya militerisme. 

Voltaire (1694-1778)—yang bernama asli François-Marie Arouet—dapat digolongkan "maniak" dalam hal nama samaran. Ia memiliki sekitar 175 nama. Selain untuk dongeng-dongeng semisal Zadig dan L'Ingenu, ia menggunakan nama samaran untuk karya-karya yang berisi kritikan tajam. Seorang pakar tetang Voltaire, Rene Pomeau mengatakan—dalam Ida Sundari H. (2003): "Permainan topeng merupakan salah satu kunci psikologi penciptaan Voltaire. Di balik penyamaran, pengarang membebaskan diri." Dengan begitu, Voltaire dapat bermain dengan bebas, tanpa harus mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataannya.

Pengarang asal Aljazair yang lahir pada 1956, Mohamed Moulessehoul, sempat menyamar sebagai perempuan bernama Yasmina Khadra. Hal itu dilakukan saat menyerahkan tulisan ke penerbit, demi mengelabui sensor militer. Meski demikian, orisinalitas dan kecemerlangan buah penanya tetap memperoleh kesaksian. Sebelum pengakuan ihwal identitas aslinya mencuat, seorang pengamat terkenal di Prancis menulis: "Laki-laki atau perempuan tak penting. Tetapi yang jelas, Yasmina Khadra adalah pengarang Aljazair paling hebat saat ini."

Bila diperhatikan, seakan-akan menjamurnya Alan Smithee mendermakan keterpasungan serta kegelisahan yang mendalam. Betapa sekadar demi menghindari pemberangusan militer, pengarang rela melabeli anak ruhani (karya)—meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—dengan nama orang lain. Namun, ternyata tidak sepenuhnya demikian. Ketika merasakan pengapnya bui, William Sydney Porter (1862-1910) meluncurkan cerpen-cerpennya dengan nama O'Henry. Saat tiba hari kebebasan, nama samaran tersebutlah yang mengantarnya mampu mereguk kesuksesan dan menjadi cerpenis paling populer di Amerika. (Napoleon Hill, terj. Leinovar Bahfein, 2008: 269)

Fenomena Alan Smithee tidak hanya terlahir karena intimidasi militer. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan pengarang harus membungkus identitas. Di antaranya, karya dianggap rahasia Tuhan, pengarang benci menunjukkan diri, atau bahkan karena didorong tekanan jiwa yang kurang stabil.

Pada 164 SM, kitab Daniel disusun untuk kelompok kecil pembaca Yahudi. Pengarang kitab yang memberitakan pernyataan Tuhan tentang peristiwa-peristiwa masa depan ini memakai tokoh Daniel dan menempatkan peristiwanya seolah-olah terjadi pada zaman Nebukadnesar (605-562 SM). Pemungutan nama Daniel dikarenakan sang pengarang hendak menuturkan bahwa kitab itu bersifat rahasia dan apokaliptis—tulisan mengenai pernyataan Tuhan kepada para bijak, seperti Henokh, Abraham, dan Daniel.

Kitab Nagarakretagama digubah dengan nama samaran Prapanca. Padahal, Prapanca bukan nama elok bagi seorang dharmmadyaksa kasogatan. Karena kata prapanca berarti: kesedihan, rintangan untuk laku utama. Buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama (2009: 295) menerangkan bahwa pengambilan nama demikian dikarenakan pengarang enggan diketahui ciri-cirinya. Dengan kata lain, ia tidak suka memperkenalkan namanya kepada orang lain. Dan sebagai hipotesisnya, Slamet Muljana menganggap bahwa pengarang Nagarakretagama adalah Dang Acarya Nadendra (Nada-Indra).

Tertarik dengan permainan Nicolo Paganini (1784-1840) sepanjang tahun 1831—1835, Robert Schumann (1810-1856) memulai karier sebagai pengarang resensi musik. Ia mendirikan Neu Zeitschrift fur Musik, sebuah majalah musik yang terbit sekali seminggu. Diterka mengidap tekanan jiwa kurang stabil, kritikus musik terpenting abad ke-19 ini kerap memungut beberapa nama samaran; "Eusebius" yang mewakili segi lemah-lembut, khayalan, dan mimpi, "Florestan" mewakili bagian dinamis, revolusioner, dan bersemangat, serta "Meister Raro" bagian yang menggandrungi teknik berdisiplin seperti bentuk-bentuk klasik. n

Riza Multazam Luthfy
, ahlul ma'had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang, mahasiswa magister hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.


Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2012
 

[Buku] Elegi Seorang Pejuang Seni

Data buku:

Jalan Lain ke Jogja

Asih Aspalia

Elmatera Publishing, Yogyakarta, 2012

xii + 115 hlm.

ORANG Blitar ingin menuntut ilmu seni ke Yogyakarta. Karena keluarganya miskin dan biaya jadi kendala, ia baru bisa sampai Yogyakarta setelah melanglangbuana ke Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Waktu yang diperlukan pun sangat lama: lebih dari 20 tahun!

Itu dialami oleh perempuan bernama Asih, tokoh utama novel Jalan Lain ke Jogja karya Asih Aspalia (Elmatera Publishing, Mei 2012).

Pengalaman Asih ini mungkin tidak membuat Anda terperangah. Sebab, Anda barangkali berpikir itu terjadi hanya di dalam novel. Bukankah novel adalah karya fiksi yang, dengan demikian, peristiwa di dalamnya tidak benar terjadi?

Karakter karya fiksi memang seperti itu. Namun, pikiran Anda akan berubah jika membaca penjelasan Bonari Nabonenar, penyunting novel ini. Dalam "Kata Penyunting"-nya, sastrawan tersebut menjelaskan bahwa cerita dalam novel ini lebih merupakan cerita yang berbasis pengalaman nyata yang dialami penulisnya (hlm. v-vi).

Simak juga penjelasan Asih Aspalia, penulis novel ini. Dalam "Kata Pengarang", ibu dua anak kelahiran Blitar, Jawa Timur, 29 Mei 1974, ini menulis, "Di sini saya lebih banyak bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang saya alami sendiri. Jadi, sesungguhnya tulisan saya ini lebih merupakan memoar daripada fiksi." (hlm. ix)

Perjalanan Blitar—Yogyakarta dengan rute demikian dan selama itu benar-benar terjadi, dialami oleh tokoh Asih yang tak lain penulis novel ini. Perjalanan panjang itu terpaksa ditempuh Asih. Ini menjadi sebuah ironi sekaligus mengabarkan begitu besarnya semangat Asih untuk dapat mewujudkan cita-citanya.

Ironi, karena di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini ternyata ada saja keluarga yang begitu miskinnya hingga upaya meraih cita-cita dihadang banyak kendala.

Asih seorang seniman Jawa. Sejak SMA dia sudah main ketoprak dan calung. Ia sangat mengidolakan Bagong Kussudiardjo (BK). Bertemu BK dan menuntut ilmu seni budaya Jawa di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo (PSBK) di Yogyakarta, lalu mendirikan sanggar seni Jawa di desanya di Blitar. Itu cita-cita besar Asih.

Namun, tak mudah mewujudkannya. Ekonomi jadi kendala. Apalagi, kemudian terjadi peristiwa yang memaksanya menikah dan punya anak di usia yang masih belia. Setelah itu, kesulitan mengurung Asih setelah tinggal di rumah mertua. Mertua memusuhi, sementara suami bergantung pada orang tua karena belum kerja.

Di tengah kesulitan itu, Asih tetap ingin menimba ilmu ke PSBK. Ia lalu cari uang dengan menjadi TKW. Selain untuk mewujudkan obsesinya, ia cari uang untuk keluarga.
Asih menjadi TKW selama lebih dari 20 tahun di tiga negara (Singapura, Malaysia, dan Taiwan). Sayangnya, saat Asih masih di Taiwan, ia mendapat kabar BK wafat. Padahal, belum sempat ia berguru pada BK dan tengah mengusahakan biayanya.

Namun, novel ini tak hanya menggambarkan kandasnya sebuah cita-cita meskipun sudah dibarengi dengan perjuangan yang luar biasa. Di sini juga ada kisah-kisah cinta yang mencengangkan dan berbagai peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan.

Bahkan, mengikuti episode Asih jadi TKW, pembaca dihadapkan pada realitas yang sangat memprihatinkan. TKW yang juga menyumbang devisa besar bagi negara, dijadikan mesin pengeruk uang, juga diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Sudah demikian, masih pula diperas oleh oknum aparat pemerintah, PJTKI, agen dan majikan di luar negeri, maupun oleh preman bandara di Indonesia.

Perlindungan terhadap TKW seolah-olah tak ada. Sebab, saat TKW ada masalah dengan majikan, agen membela majikan. Saat TKW ada masalah dengan agen, KBRI memihak agen. Jadi, benar atau salah, TKW selalu kalah. Padahal, selama ini TKW dielu-elukan sebagai Pahlawan Devisa.
Lewat novel ini, Asih Aspalia pun menggugat berbagai pihak atas realitas pahit yang diterima oleh TKW.

Yang istimewa dari novel ini, meskipun isinya rangkaian kisah duka, novel ini tidak terjebak dalam melodrama. Yang menyembul justru ketegaran dan kegigihan dalam berjuang mewujudkan obsesi dan menghadapi masalah demi masalah yang datang.

Novel yang sangat enak dibaca ini tidak tebal, hanya 115 halaman. Bagi Asih Aspalia, melahirkan novel ini pun memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Novel ini ditulis di Taiwan, di sela kesibukannya sebagai TKW. Ia biasanya menulis selepas kerja sekitar pukul 22.00 waktu setempat.

Menulis pun tidak memakai komputer, tapi ponsel. Dan harus sembunyi-sembunyi karena majikan melarang memakai ponsel. Tiap satu atau dua paragraf selesai, Asih mengirimkan kepada editornya menggunakan e-mail atau kotak pesan Facebook.

Pekerjaan Bonari Nabonenar sebagai editor pun tidak ringan. Sebab, potongan-potongan naskah yang diterima secara berangsur itu tidak jelas urutannya. Perlu ketelatenan untuk mengurutkan.

Belum lagi naskah yang ditulis dengan ponsel itu menggunakan "EYD" (ejaan yang di-sms-kan): penuh dengan singkatan dan banyak tanda baca salah letak yang menyimpang jauh dari Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Menguraikan singkatan-singkatan (bahasa SMS) itu dan menempatkan tanda baca pada posisi seharusnya, ini pun memerlukan ketelatenan yang kesabaran sang editor.

Perjuangan Asih melahirkan novel ini tak kalah gigih dengan perjuangannya untuk bisa menimba ilmu seni pada idolanya. Namun, hasilnya berbeda. Ia gagal total berguru pada BK, tapi ia sukses melahirkan novel yang sangat menarik ini. n

Kuswinarto, pembaca sastra, tinggal di Kediri, Jawa Timur

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2012

Sastra dengan Karakter Bukan Manusia

-- Bayu Agustari Adha

UNSUR dalam sastra yang berperan penting adalah karakter. Dalam penyajian sebuah karya sastra khususnya fiksi, karakter tersaji dengan sudut pandang tertentu. Inilah yang nanti akan jadi narator sebuah fiksi. Ada beberapa sudut pandang yang disediakan dalam penyuguhan karya sastra. Di antaranya sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga. Sudut pandang orang pertama adalah si aku dan/atau kami dalam cerita. Si aku menceritakan segala hal menurut apa yang dipikirkan dan dialami si aku mengenai dirinya maupun karakter lainnya. Orang kedua adalah kamu dan kalian, sudut pandang ini jarang digunakan karena susah diterapkan. Sudut pandang ketiga adalah narator sebagai orang di luar cerita sehingga sering disebut menggunakan sudut pandang ketiga adalah yang tahu segala yang ada dalam cerita tanpa terlibat dalam alur cerita.

Karakter dalam sastra secara umum dipahami sebagai orang yang direpresentasikan dalam sebuah alur cerita. Tiap karakter memperlihatkan karakteristiknya melalui berbagai sudut pandang di atas. Umumnya secara konvensional karakter dalam cerita adalah manusia, namun seiring ekplorasi kegiatan sastra, karakter tak hanya manusia. Karakter bukan manusia ini mungkin diprasangkakan sebagai karakter makhluk hidup lainnya, seperti binatang atau makhluk gaib dan fantasi. Meski bukan manusia, mereka masih memiliki karakteristik manusia yang berpikir. Namun yang dimaksud di sini sebagai karakter bukan manusia adalah karakter yang merupakan benda mati dan mereka jadi karakter dalam cerita. Ini tentu jadi suatu hal yang terasa tak logis, tapi tentu penulis punya intensitas tersendiri di dalamnya baik itu estetika ataupun tataran nilai.

Fenomena gaya penulisan seperti ini dapat kita lihat pada cerpen Norman Erikson Pasaribu, ��Sepasang Sosok yang Menunggu�� di Kompas Ahad (9/9/2012). Dalam cerpen ini yang jadi karakter adalah sebuah boneka dan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang pertama dimana cerita dikelola si boneka tersebut. Contoh lain adalah cerpen Ayu Maesa Djenar, ��Mandi Sabun Mandi��, salah satu dari kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Sebenarnya cerpen ini memakai sudut pandang ketiga dimana ada narator yang menjadi pemandu cerita. Tapi, para karakter benda mati yakni cermin dan meja diketahui karakternya melalui dialog-dialog yang diucapkannya bukan melalui pandangan narator sehingga secara tak langsung si karakter juga bertindak dengan sudut pandangnya.

Dalam cerpen Norman Erikson Pasaribu, sepasang boneka adalah karakter dalam bentuk benda mati. Salah satu boneka jadi narator untuk alur yang disuguhkan. Dengan demikian jelas sekali sudut pandang yang dihadirkan adalah melalui boneka ini. Dia (boneka) menceritakan dirinya dan apa yang dialaminya dalam kerangkanya berhubungan dengan Jack, si tokoh protagonis. Boneka bertindak layaknya manusia, dia mengutarakan perasaannya mengenai nasibnya dan pandangannya. Mulanya dia menceritakan keberadaannya di sebuah tempat lembab dan penuh asap di mana botol minuman berjejer pada lemari. Bersama boneka-boneka lain dia berada di tempat itu. Layaknya manusia punya juga satu boneka yang sentral dalam pikirannya. Dia pun berkelakar pada boneka lainnya ��Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung  yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua yang tersisa��. Bisa dipahami, boneka ini menyalurkan sudut pandangnya melalui nasib yang dialaminya dimana dia bersama boneka yang satu lagi merupakan sisa-sisa yang tak dilirik di antara boneka lainnya. Secara estetika itu sangat menggugah emosi dimana ini menghadirkan refleksi ke pembaca untuk juga memahami bahwa boneka pun punya rasa kesedihan.

Alur cerita mulai beranjak kala Jack membawa mereka ke rumahnya karena ingin menghadiahi anak perempuannya sepasang boneka saat ulang tahun. Tinggallah kedua boneka itu kembali bersama di tempat yang berbeda. Kehidupan baru pun dijalani sepasang boneka ini bersama Mary, anak Jack. Bersama-sama mereka melalui hari-hari yang unik dimana Mary memperlakukan mereka tanpa kata-kata. Seakan-akan ketiganya saling memahami tanpa perlu bahasa. Suatu waktu tibalah momen yang mengakhiri kebersamaan mereka bertiga. Dalam pandangan si boneka Mary dibawa terbang oleh sesosok berpakaian putih. Artinya Mary telah tak berada di dunia lagi. Itu terlihat dari pandangannya terhadap Jack yang terus menangis. Boneka berceloteh meneriaki Jack, ��Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak hiraukan kita. Jack dan istrinya Jane hanya menangis, entah mengapa dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?��. Cara seperti ini tentu mengundang simpati. Kehidupan Jack pun kacau. Ia sering pulang malam dan mabuk-mabukan menurut pandangan boneka itu.

Tiba akhirnya Jack punya ide membuka toko boneka. Kehidupan yang lebih baik kembali datang dimana Jack sudah mulai bergairah. Mereka bersanding dengan boneka-boneka lain dan berharap tak ada yang membawa mereka karena sudah nyaman bersama Jack. Suatu saat pernah seorang gadis ingin membeli salah satu boneka yang adalah boneka perempuan bersepatu. Dengan polosnya boneka satu lagi berharap boneka itu tak dibawa karena tak ingin berpisah dan begitu pula perasaan boneka satunya lagi. Untungnya Jack tak menjualnya karena ia berkata bahwa itu boneka anaknya. Tiap hari mereka menikmati hidup bersama Jack dan Jane. Boneka yang narator berada tepat di depan cermin dan boneka perempuan dalam lemari kaca. Kadang-kadang mereka di bawa makan bersama oleh Jack dan Jane dan juga bercanda tawa serta sering mengucapkan kalimat ��aku mencintaimu�� dimana dalam pandangan boneka narator dia juga jadi sering ingin mengucapkan itu ke boneka perempuan. Seiring waktu, Jane juga telah meninggalkan mereka dan tak beberapa lama kemudian Jack juga. Sebelum pergi akhirnya Jack bicara ke boneka untuk pamit pergi menyusul Mary dan Jane.

Kepolosan boneka inilah yang membuat cerita jadi sangat hidup. Di dalamnya ada kejujuran dan sikap yang dilandasi tanpa niat jahat sekecil apapun. Salah satu yang membuat cerpen ini menarik memang dalam segi estetika dan daya imajinasi pengarang yang pandai merekayasa cerita melalui karakter boneka menjadi sangat menyentuh. Bisa juga dilihat di sini bahwa adanya pergeseran nilai pandangan terhadap manusia. Karena cerita ini secara implisit bisa diinterpretasikan sebagai contoh komparasi antara manusia yang berakal dan benda mati yang tidak. Itu terjadi pada sudut pandang manusia yang cenderung tak dipercayai lagi karena selalu berpandangan dalam kerangka subjektif. Beda dengan benda mati yang berpandangan polos. Dalam kata lain, pemilihan benda mati sebagi karakter adalah implikasi dari ketidakpercayaan lagi terhadap manusia.

Pada cerpen lainnya karya Ayu Maesa Djenar, ��Mandi Sabun Mandi��, karakternya adalah meja dan cermin. Karakter-karekter ini adalah properti dalam suatu kamar motel. Cerpen ini menceritakan adegan hubungan intim yang disaksikan cermin dan meja dan meja dan mereka melakukan dialog di sini. Dialog itu merupakan pembicaraan mereka tentang pasangan yang berhubungan dan sesekali mereka juga taruhan mengenai proses hubungan intim sendiri, ejakulasi dalam atau luar. Meja dan cermin hadir tak berkomunikasi dengan karakter pasangan yang berhubungan. Mereka ternyata bukan pasangan resmi, satu lelaki setengah baya dan satu lagi perempuan Indo muda.

Pemunculan karakter cermin dan meja di sini adalah suatu satir pada kehidupan modern ala urban di kota besar. Ini menggambarkan pola hidup kebohongan dengan direpresetasikan selingkuh. Satire atau sindiran yang ingin dialamatkan adalah untuk mengejek manusia yang merasa mereka bisa bersembunyi dan tampil palsu dalam realitanya. Kecongkakan ini terbantahkan bahwa sebenarnya sepandai apapun kita bersembunyi pasti ada yang melihat kita, dalam cerpen ini direpresentasikan oleh cermin dan meja. Adanya karakter ini juga ingin memperlihatkan bahwa ulah manusia yang telah melampaui batas dalam bermain dengan kesenangan dunia. Ini diperlihatkan di mana meja dan cermin pun juga menggeleng dengan perilaku manusia seakan-akan makhluk yang dikaruniai akal, tapi berlaku seperti binatang yang mementingkan nafsu seperti terlihat dari dialog di bawah ini,

"Cermin bukankah itu perempuan yang datang kemarin?"
"Ya. Meja."
"Tapi ia tak bersama laki-laki yang kemarin."
"Meja... meja... begitu saja kok heran. Lelaki itu juga sering gonta-ganti pasangan kemari."
"Wah...wah... jaman modern sekarang ini tak ada yang luar biasa lagi ya cermin. Semuanya menjadi super biasa."

Bayu Agustari Adha, Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 September 2012

Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (2)

-- Maman S Mahayana

MARI kita coba menelusuri larik berikutnya: seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah//. Kini, kita berjumpa dengan semacam paradoks: tempuling -tombak pendek yang (hanya) digunakan oleh nelayan sejati, nelayan yang sudah sangat berpengalaman dengan berbagai keterampilannya hidup di tengah laut, dihadapkan dengan seorang bocah -dan tidak anak-anak atau anak kecil- sehabis sekolah. Kembali, pola tipografi yang tidak rata kiri pada dua larik itu menunjukkan, bahwa sebelum sekolah, ada kisah lain yang menyertai si bocah. Bukankah para pelajar -anak-anak sekolah- pada umumnya biasa langsung pulang (ke rumah) selepas bubar sekolah. Mengapa si bocah ke pantai dan menemukan tempuling?

Ada dua tafsir yang dapat kita terjemahkan atas dua larik itu. Pertama, sehabis sekolah, anak-anak nelayan terbiasa bermain di pantai atau laut, sebelum pulang ke rumah. Ini mengisyaratkan, bahwa laut, pantai dengan segala ombaknya, sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka sejak masih bocah. Laut adalah sumber penghidupan, sekaligus juga sebagai lapangan tempat bermain mereka.

Lihatlah anak-anak nelayan atau mereka yang menjadikan laut sebagai tempat bermain dan menghabiskan waktu luang. Lihatlah para bocah yang menjadikan dermaga Merak -Bakauheni atau Gilimanuk-Ketapang-Banyuwangi, sekadar menyebut beberapa pelabuhan, sebagai lapangan permainan mereka. Bagaimana mereka dengan mata telanjang bisa begitu piawai menangkap keping-keping uang logam yang dilemparkan para (calon) penumpang kapal. Keterampilan yang diperlihatkan para bocah itu tidaklah datang seketika, melainkan lewat proses panjang pengalaman mereka dalam bermain-main dengan laut. Laut adalah lapangan permainan mereka. Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang laut tidak diperoleh berdasarkan teks buku di sekolah, melainkan berdasarkan pengalaman hidup. Mereka adalah anak-anak laut. Jika kelak mereka menjadi nelayan, mereka sudah mengenal dengan sangat baik karakteristik laut dengan segala macam keganasannya. Maka, jangan tanya mereka rasa air laut, sebab jawabnya tak akan berhenti pada satu kata: asin, melainkan berbagai jenis rasa asin dan air laut wilayah mana yang dicecap.

Nah, si bocah, boleh jadi menemukan tempuling itu, sehabis bermain-main di laut. Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu adalah dunia masa depan si bocah, tetapi laut juga sekolah alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Jadi, frasa sehabis sekolah mengisyaratkan dua makna: dalam pengertian referensial dan sekaligus juga dalam pengertian metaforis.

Kedua, larik-larik: Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// dimaksudkan sebagai paradoks situasional. Dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/ sehabis badai// adalah realitas kehidupan (nelayan) yang menempatkan laut dengan segala keindahan dan keganasannya sebagai sekolah alam; dunia nyata yang sesungguhnya selalu menyimpan misteri tentang kehidupan dan kematian ketika seseorang pergi mengarunginya. Dua larik berikutnya, Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// mewartakan dunia ideal kehidupan masa depan generasi baru. Sekolah adalah wadah segala idealisme tumbuh dan berkembang. (Seharusnya) tidak ada keganasan di sana. Sekolah adalah kehidupan yang tak menyimpan misteri kematian, karena segalanya berjalan tertib dan baik-baik saja.

Begitulah, sehabis badai dan sehabis sekolah adalah repetisi yang hendak memberi tekanan pada sebuah paradoks tentang dunia nyata (badai) yang ganas penuh misteri dan dunia ideal (sekolah) yang tertib dan baik-baik saja. Meskipun begitu, si bocah yang hidup dalam dunia ideal itu, juga tidak dapat menghindar dari tarikan sekolah alam -laut- yang sudah menjadi bagian dari lapangan permainannya. Oleh karena itu, penemuannya tentang tempuling diyakini sebagai isyarat terjadinya tragedi bagi nelayan. Tempuling menjadi berita duka. Tuhan/Siapa lagi yang kini telah menyerah? Tidak lain adalah kabar kematian. Maka, yang segera muncul adalah pertanyaan: siapa yang menjadi berita dan berita itu untuk siapa?

Pertanyaan -siapa- sesungguhnya lebih merupakan gebalau kerisauan si bocah atau sesiapapun. Sebab, bisa saja jawabannya: orang kampung seberang, si anu yang tinggal di situ, tetangga kita, paman, atau bahkan ayah! Jawaban terakhir itulah boleh jadi yang mengguncangkan si bocah, sebab ia sama sekali tidak menangkap isyarat apapun yang bakal mengantarkan (sang ayah) pergi selamanya, sebagaimana dikatakan: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// Jadi, pada mulanya, segala berjalan baik-baik saja, meski laut tetap saja menyimpan begitu banyak misteri.

Ketiga larik itu, dapat pula kita tafsirkan sebagai pesan penyair hendak menegaskan, betapa dahsyat berita duka itu. Betapa terguncangnya perasaan si bocah -yang dalam peribahasa klise dikatakan: seperti petir di siang bolong. Dan tiba-tiba saja, tempuling ditemukan tersadai- sebuah berita kematian! Penyair menggambarkannya dengan metafora yang seolah-olah, alam pun tidak menghendaki peristiwa tragisitu terjadi: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang//.

Kembali kita menemukan adanya paradoks situasional pada kedua bait tadi. Jika bait sebelumnya mewartakan semuanya baik-baik saja, lantaran tak ada tanda-tanda atau isyarat apapun: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// maka bait berikutnya: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang// justru sesungguhnya menyampaikan isyarat-isyarat. Ombak, elang, cuaca dan karang adalah warga laut yang sering kali dijadikan panduan bagi nelayan ketika (akan berangkat) berlayar. Lalu, mengapa pula tragedi itu masih terjadi juga? Itulah misteri laut. Maka penyebutan Tuhan di sana sebagai representasi dari rahasia Tuhan. Bukankah pengetahuan manusia tentang Tuhan bagai setitis air di samudera? Oleh karena itu, si bocah (atau penyair?) mengembalikan misteri laut itu pada Tuhan, sebagaimana dinyatakan pada bait berikutnya: Tuhan/Diakah kini yang telah menyerah?/telah kalah?/

Pada bagian ini, segera muncul pertanyaan: mengapa dia �menyerah�, �kalah� Meski bagi saya kata �menyerah� dan �kalah� kontradiksi dengan simbolisasi tempuling yang tersadai, pengulangan adverbia (kata keterangan) telah yang mengantarkan menyerah dan kalah (telah menyerah/telah kalah), punya makna lain yang berkaitan dengan pesan yang hendak disampaikan penyair. Bukankah penyair bisa saja menghilangkan adverbia (kata keterangan) itu, sehingga bunyinya lebih tegas dan padat: Diakah kini yang menyerah?/kalah?// Mengapa harus ada adverbia yang maknanya secara sintaksis tidak berbeda?

Di sinilah uniknya puisi! Selalu, setiap kata perlu dicurigai menyimpan pesan. Maka penghadiran adverbia -telah- yang mengantarkan menyerah dan kalah itu, boleh jadi dimaksudkan sebagai penegas, sebagai tanda seru, sebagai eksplisitasi, bahwa dia sudah benar-benar tumbang, menyerah pada keganasan alam, kalah oleh takdir yang sudah digariskan Tuhan. Perhatikan lagi pilihan penyair pada kata gigi dan tidak memakai kata gigir, pinggir, atau bibir. Tentu pilihan pada kata itu bukan perkara -meminjam pernyataan Sutardji Calzoum Bachri- salah ketik. Dengan begitu, penghadiran adverbia itu pun dilakukan dengan kesengajaan untuk menegaskan, bahwa dia telah sempurna pergi selama-lamanya. Dia tidak akan kembali lagi sebagai pahlawan yang membawa pulang ikan dengan tempuling masih dalam genggamannya. Kini tempuling telah tersadai dan dia sempurna tidak bakal kembali lagi. Dia pulang ditelan alam.

Oh, rupanya tanda-tanda tidak akan kembali itu sudah pula diisyaratkan sebelumnya. Ada semacam pesan terakhir atau wasiat. Pindahkan pancang/sebelum pasang// Apa pula maknanya pesan itu? Bagi saya, larik dengan persajakan yang indah itu, bukan sekadar permainan bunyi, tetapi juga menyimpan pesan filosofis yang seperti merepresentasikan karakteristik dunia Melayu. Seperti cogan: ��Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,�� dua larik itu, Pindahkan pancang/sebelum pasang// juga dapat diperlakukan sebagai cogan, bahwa menghadapi segala apapun dalam kehidupan ini, diperlukan antisipasi, perencanaan, persiapan, kalkulasi dan perhitungan matang, sebelum segalanya terlambat, sebelum datang penyesalan.

Lalu, apa pula maknanya dalam konteks pesan puisi itu? Dia lirik (: para nelayan) rupanya punya kesadaran, bahwa laut, sumber penghidupan dan lapangan perjuangannya, bukanlah tempat yang ramah. Bahwa setiap keberangkatan pelayaran -menangkap ikan- selalu di belakangnya, tertinggal pertanyaan: akankah dia pulang membawa kemenangan atau seperti ditegaskan dua larik sebelumnya: menyerah/kalah! Dengan kesadaran itulah, setiap anggota keluarga nelayan, harus selalu siap menerima berita duka, melihat tempuling tersadai di gigi pantai.
***

Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap

Bait ini -dengan kemunculan aku lirik- seperti memberi jarak waktu antara peristiwa yang dihadapi si bocah ketika awal menerima berita kematian dan ketika teringat pada seseorang yang ditelan alam. Adanya keberjarakan antara aku lirik dan si bocah menunjukkan, bahwa penyair coba mempermainkan posisi pencerita. Si bocah berada pada posisi yang -terpaksa- harus menerima begitu saja pada sang nasib: kehilangan seseorang yang (mungkin) menjadi kebanggaan atau tonggak keluarga. Pilihan kata bocah dan tidak anak (kecil) atau anak-anak menunjukkan seseorang yang berada pada usia yang tidak perlu memikirkan apapun, kecuali bermain. Dan tiba-tiba, ia melihat tempuling, sebuah berita kematian! Maka, segalanya bagi si bocah seperti kiamat untuk sebagian hidupnya, kiamat pula bagi masa depannya.

Kini: Hatiku memang telah terusik// bagai kenangan masa itu yang datang lagi. Ia merasakannya seperti: daun waru yang jatuh, tersangkut di tingkap, lalu mengering dan jatuh lagi menunggu kembali menjadi tanah. Bait ini sungguh kuat menghadirkan citraan alam (daun) sebagai analogi sosok manusia yang tumbang, menunggu segalanya tumpas sempurna. Perhatikan juga pola persajakannya yang cantik dengan perhatian pada persamaan bunyi: waru-gugur, lesap-lewat-tingkap, tersuruk-tungku-menunggu, di antara-gelap. Penyair tampaknya sadar betul pada kekuatan persajakan, sebagaimana yang terdapat pada pantun atau syair. Tetapi, kekuatan persajakan tanpa metafora, tak cukup kuat mendukung pesan tematik. Di situlah kesadaran penyair membangun citraan alam berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita untuk membayangkan daun jatuh sebagai analogi kematian seseorang.
***

Berbeda dengan kisah bocah yang terdapat pada bait-bait awal, kini si bocah (masa lalu) itu, berada dalam ingatan aku lirik. Ada semacam garis kenangan yang menghubungkan peristiwa dulu yang dialami si bocah dengan aku lirik yang masih menyimpan peristiwa itu sebagai catatan perjalanan hidupnya yang tidak mudah punah. Maka, yang diingatnya dulu, bukan hanya si bocah yang menangis, melainkan juga alam raya yang ikut merasakan kedukaan itu. Sebuah tragedi individual yang sebenarnya berlaku bagi masyarakat nelayan, bahkan juga universal. Bukankah siapa pun akan mengalami kedukaan yang dahsyat ketika seseorang yang menjadi tonggak keluarga, tiba-tiba harus pergi selamanya. Dan lebih tragis lagi ketika jasadnya tidak diketahui entah berada di mana.

Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah

Kini segalanya sudah terjadi. Biarlah peristiwa itu tetap sebagai kenangan masa lalu, meski selalu dan selalu ia hadir kembali. Jadi, tidak perlu pula memelihara penyesalan. Jika pun masih tersisa harapan, cukup satu saja: jasadnya ditemukan, sehingga sang mendiang dapat dikuburkan sebagai tanda, telah berpulang nelayan sejati! Dan tempuling akan menjadi saksi bicara tentang totalitas hidup di tengah laut, tentang kepahlawanan seorang nelayan!

Perhatikan larik-larik di bawah ini:

Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk     dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.

Bait akhir ini makin memperjelas hubungan si bocah dengan aku lirik. Di situ, melalui siasat penyair mempermainkan posisi pencerita, kita (: pembaca) dibawa pada sebuah pesan, bahwa si bocah masa lalu, kini menjelma menjadi aku lirik. Meski tak selalu identik aku lirik dengan penyair, setidak-tidaknya, penyair Rida K Liamsi ini, punya sejarah masa lalu yang berkaitan dengan tempuling: simbol kepahlawanan seorang nelayan. Jika pada tiga larik terakhir tertulis: yang aku pun tak tahu/di mana akan kutuliskan/rinduku// boleh jadi, puisi ini merupakan representasi gebalau perasaannya yang tak mudah luput dari rindu pada masa lalu. Dan puisi ��Tempuling�� telah memancarkan mukjizatnya!
***

Tafsir puisi ��Tempuling�� ini, boleh jadi di sana-sini terjadi semacam intentional fallacy. Meski begitu, hal tersebut tetap sah sejauh ada argumen yang melandasinya. Di situlah sesungguhnya mukjizat puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi. Ia menyimpan begitu banyak misteri yang selalu membawa pembaca pada kisah besar di luar teks. Puisi ��Tempuling�� adalah kisah kepahlawanan nelayan dan Rida K Liamsi telah merefleksikannya dalam larik-larik pendek, kemas, padat, dengan permainan persajakan dan metafora yang cerdas, dengan kualitas diksi yang tak basi.

��Tempuling�� sebagai pengalaman individual penyair, telah menjelma menjadi kisah besar tentang kepahlawanan nelayan sejati. Maka, puisi ��Tempuling�� makin meneguhkan keyakinan saya, bahwa penyair (: sastrawan) adalah juru bicara kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya. Semoga begitu! n

Seoul, 17 September 2012


Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 September 2012
 

[Jejak] Asrul Sani, Pelopor Angkatan 45

ASRUL Sani adalah penulis sajak, cerita pendek, esai, skenario film dan sutradara. Salah seorang dari trio pelopor Angkatan 45 dalam bidang puisi, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin. Mereka bertiga menerbitkan kumpulan sajak bersama dengan judul Tiga Menguak Takdir (1950).

Pada 1950-an, bersama Usmar Ismail dan kawan-kawan dia mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Sebagai penulis skenario maupun sutradara. Dia pernah meraih piala tertinggi dalam Festival Film Asia; demikian juga dalam Festival Film Nasional. Skenario yang dibuatnya antara lain: Lewat Jam Malam (disutradarai oleh Usmar Ismail, 1956), Tauhid (disutradarai bersama oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani, 1965), Mutiara Dalam Lumpur (disutradarai oleh Wahyu Sihombing, 1970), Apa yang Kau Cari Palupi? (disutradarai sendiri, 1970), AI-Kautsar (disutradarai oleh Chairul Umam, 1977), dan Bulan di Atas Kuburan (disutradarai sendiri, 1976).

Asrul Sani banyak membuat film berdasarkan roman Indonesia yang penting-penting, misal: Pagar Kawat Berduri (karya Trisnoyuwono, 1963), Salah Asuhan (karya Abdul Muis, 1974), Kemelut Hidup (karya Ramadhan KH, 1978), Di Bawah Lindungan Ka�bah (karya Hamka, 1978). Bersama H Umar Ismail, Arras Ma�ruf dkk mendirikan Lesbumi dan menjadi salah seorang ketuanya. Pada 1972-1973, menjadi ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dan 1977-1979 menjadi salah seorang Ketua Dewan Kesenian Jakarta. 1976, menjadi Ketua Lepfinas (Lembaga Pembinaan Film Nasional) Departemen Penerangan dan 1979 menjadi Wakil Ketua Harian Dewan Film Nasional. Menterjemahkan lebih dari 100 judul lakon karya pengarang dunia, baik klasik maupun modern seperti William Shakespearae, Moliere, Bernard Shaw, Ibsen, Rabindranath Tagore, Thornton Wilder, Arthur Miller, Boleslawski (Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor, 1960) dan Stanilavski.

Sementara itu roman yang diterjemahkannya pun tidak sedikit, belasan buah judul telah diselesaikannya antara lain karya-karya Fyodor Dostojewski, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Maria Dermout, Franz Kafka, Goethe, dan lain-lain. Sajak-sajaknya Mantera (terbit 1975) dan cerita-cerita pendeknya dibukukan dalam dari Suatu Masa dari Suatu Tempat.

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926 dan meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 77 tahun. Pada 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI. Asrul Sani merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.

Asrul Sani memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (sekolah dasar bentukan pemerintah kolonial Belanda) di Bukit Tinggi pada 1936. Lalu ia melanjutkan SMP di SMP Taman Siswa, Jakarta pada 1942. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor. Akan tetapi, minatnya akan Sastra sempat mengalihkan perhatiannya dari kuliah kedokteran hewan sehingga Asrul sempat pindah ke Fakultas Sastra UI dan, dengan beasiswa Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, mengikuti pertukaran ke Akademi Seni Drama, Amsterdam pada 1952 walaupun akhirnya kembali melanjutkan kuliah kedokteran hewan hingga memperoleh gelar dokter hewan pada 1955.

Pada masa kuliah itu juga Asrul sempat mengikuti seminar kebudayaan di Harvard University pada 1954. Setelah tamat kedokteran hewan, Asrul kembali mengejar hasratnya akan seni sastra dengan melanjutkan kuliah dramaturgi dan sinematografi di South California University, Los Angeles, Amerika Serikat (1956) dan kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).

Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan 45. Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan ��Surat Kepercayaan Gelanggang�� sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka. Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul ��Sahabat Saya Cordiaz�� dimasukkan oleh Teeuw ke dalam Moderne Indonesische Verhalen dan dramanya Mahkamah mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun 50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah ��Surat atas Kertas Merah Jambu�� (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda). Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul Sartre dan Burung Camar karya Anton P, dua dari banyak karya yang lain.

Karya sastranya yang terkemuka adalah Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988) dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).

Sedang karya filmnya antara lain Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959), Pagar Kawat Berduri (1963), Salah Asuhan (1974), Bulan di Atas Kuburan (1976), Kemelut Hidup (1978), Di Bawah Lindungan Kabah (1981).(fed)

Sumber: Riau Pos, 30 September 2012

Saturday, September 29, 2012

Sastra dan Korelasi Bahasa Kita

Oleh Chaerul Abshar


SASTRA, kata William Henry Hudson dalam introduction to the study of Literature (1960), selalu menyumbangkan nilai positif bagi kemanusiaan. Itu karena anasir-anasir yang dicipta, bertalian erat dengan penikmatan ragawi dan ruhani manusia, seperti olah rasa, cipta dan karsa. Lewat kelembutan dan kehalusannya, lanjut Hudson, sastra mampu membangkitkan emosi luhur sekaligus menjembatani sifat fitrah manusia yang cinta akan keindahan.

    Ketika hendak berkomunikasi dengan pembaca, sastra membutuhkan sarana atau mediasi, yaitu bahasa. Singkatnya, sastra mengguratkan hasil pencarian imajinasi itu dalam rangkaian kata, dan bahasa yang tertata amat indah. Maka, peran bahasa menurut Slamet Mulyana (2011), sangat vital dan tidak bisa dianggap sepele.

    Pertanyaanya kemudian, apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa, mutu bahasa dan apresiasi seseorang terhadap karya sastra? Tentu saja ada korelasi yang sangat signifikan. Sebab, kedalaman dan penguasaan bahasa seseorang akan memberinya kemudahan untuk menangkap pesan, pengetahuan, hiburan, atau ancaman yang dibawa teks (termasuk sastra), termasuk kemudahan menyampaikan pengetahuan itu pada orang lain. Maka, benar kata Seno Gumira Ajidarma (2007), bahwa bahasa itu menentukan corak berpikir tentang sesuatu, ekpresi imajinasi, dan pengetahuan seseorang. Singkatnya, bahasa adalah batas pengetahuan dan batas apresiasi budaya seseorang.

    Fakta itu juga saya alami ketika menyimak Emha Ainun Najib (Cak Nun) membacakan karya sastra maupun orasi budaya yang disampaikan setiap malam tengah bulan. Demikian juga ketika mendengar Mustofa W Hasyim, Hamdy Salad, Indra Trenggono, Agus R Sarjono, Beni Setia dan sastrawan lainnya membaca karyanya. Para sastrawan dan penyair itu, karena penguasaan bahasa, mampu menangkap pesan teks-baik yang tersurat maupun tidak-secara apik, yang selanjutnya dikomunikasikan kepada audience sastra. Karena penguasaan bahasa pula, audience sekitar saya ada yang menangis terharu, gusar, atau hanya melongo (baca;tak tau apa-apa).

    Dari analisa itu, tepat pendapat Slamet Mulyana bahwa besar kecilnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra ditentukan oleh penguasaan bahasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita tidak menanamkan penguasaan keterampilan bahasa itu pada anak didik. Dus, guru lebih menekankan teori dan pengetahuan bahasa daripada mengutamakan keterampilan berbahasa. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Indonesia cenderung membawa siswa belajar tentang bahasa daripada belajar berbahasa, aspek kognitif lebih diutamakan daripada aspek psikomotorik.

    Kurikulum pengajaran bahasa, tulis St Kartono (2007), benar silih berganti, mulai dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, hingga 2006. Namun demikian, pendekatan pembelajaran bahasa yang mendasari kurikulum itu belum beranjak dari pendekatan struktural menuju pendekatan komunikatif. Belum lagi keterbatasan alokasi waktu, di mana untuk SMA hanya disediakan waktu empat jam pelajaran tiap minggu. Bandingkan dengan pelajaran IPA, Matematika, Fisika dan ilmu-ilmu eksak lainnya. Anehnya, kurikulum itu dengan tegas mensyaratkan kenaikan kelas atau kelulusan dengan nilai bahasa Indonesia bukan merah.

    Problem pengajaran bahasa masih diperparah dengan kualitas bahasa Indonesia sendiri, ketika dipersandingkan dengan bahasa dunia lainya. Bahasa kita (Indonesia) tidak mampu menangkap dan menterjemahkan semua letupan atau "ujaran" sastra. Fenomena ini dikeluhkan hampir semua sastrawan kita, salah satunya Otto Sukatno CR (2007). Menurutnya, lantara sempitnya perbendaharaan kosokata bahasa Indonesia, sastrawan kita sering meminjam istilah bahasa asing. Akibatnya, produk sastra menjadi elitis karena maknanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (yang paham bahasa lain). Produk sastra menjadi kehilangan pembacanya sehingga tidak banyak memberi kontribusi pada kehidupan manusia.

    Keterbatasan bahasa kita, semakin terasa tatkala menterjemahkan karya sastra atau pemikiran bahasa lain (Inggris, Arab, Spanyol, Prancis, India dan sebagainya). Naskah asli misalnya hanya sekitar 100 lembar, tetapi begitu diterjemahkan menjadi 200 lembar atau lebih. Karena keterbatasan perbendaharaan koso kata pula, bahasa kita sering memenggal atau mendangkalkan rasa bahasa aslinya. Ketika membaca dan mengapresiasikan karya-karya besar semacam Wordsworth, Mahabarata, Ramayana dan Mary Shelley, mestinya hati kita akan takjub dan bergetar. Akan tetapi justru sebaliknya, karya besar itu terasa biasa-biasa saja dan tak mampu menggugah relung batin kita. Ini artinya, bahasa kita boros kata tetapi dangkal makna.

    Selain aspek pengajaran, problem bahasa juga tidak lepas dari peran politik dan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru (orba) misalnya, sering menempatkan bahasa sebagai komuditi kekuasaan yang sering dipolitisi. Orba dengan sistem sentralistik dan totaliter, mengharuskan keseragaman di setiap lini kehidupan, termasuk bahasa. Maka, dikelurakanlah aturan baku penggunaan bahasa yang disebut dengan "Ejaan Yang Disempurnakan" (EYD). Di satu sisi, adanya peraturan yang ketat terhadap masuknya berbagai kosokata asing bertujuan meneguhkan identitas kebangsaan kita. Tetapi di sisi lain, aturan itu justru menyempitkan ruang apresiasi bahasa terhadap teks-teks sastra asing.

    Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita selain terus membenahi model pengajaran dan kualitas bahasa Indonesia. Pertama, pengajaran bahasa harus menjadi proses pembiasaan berbahasa yang baik dan benar. Para guru harus menjadi teladan bagi anak didiknya dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Sebab, kebiasaan berbahasa anak didik hanya dapat dibentuk dalam suasana disiplin para guru bahasa Indonesia itu sendiri. Maka, para guru bahasa harus mempunyai kebiasaan membaca, terbuka dengan pemikiran baru, dan membiasakan menulis, sehingga merangsang siswa untuk melakukan hal yang sama. Singkatnya, para guru bahasa Indonesia tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi juga menempatkan diri sebagai pendidik yang membangun kebiasaan berbahasa para siswanya.

    Kedua, adanya kebijakan pemerintah yang memberi kebebasan bagi para pakar bahasa untuk mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebudayaan kita sehingga menemukan istilah-istilah, padanan kata atau kosokata yang bisa menterjemahkan berbagai simbol bahasa di dunia.

    Jika bahasa kita tidak terus berbenah, dia tidak akan sanggup menterjemahkan simbol-simbol bahasa dunia, dan dengan demikian tidak akan menjadi alat komunikasi yang efektif. Hanya dengan berbendaharaan kosokata yang lengkap, dan memiliki rasa yang baik atau paling tidak mendekati bahasa aslinya. Hanya dengan itu, penghayatan kita terhadap dunia sastra-yang selalu menggunakan mediasi bahasa-bisa lebih holistik, mendalam dan universal, sehingga bisa semakin memperkokoh peradaban bangsa ini. Semoga.


Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 september 2012

Jokowi Amalkan Kentut Ki Semar

Oleh Tandi Skober


BENARKAH taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Tanda tanya Tandi ini meluncur pada sebuah diskusi "secangkir kopi buat Indonesia" (23-9) di kedai depan Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Bisa jadi memang begitu itu. Jokowi telah mematematika kearifan kultural sebagai teologi kerakyatan. Heriditas pesona personality yang bertasbih pada jiwa rakyatlah yang membuat Jokowi dihalalkan duduk di mobil berpelat nomor B-1. Ia tahu bahwa, "All political theology, should be no more and no less than folk political theology, political theology of the people." (C. Song, 1982). Artinya: Semua teologi politik seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat.

Tersebab itu, tidak aneh meskipun Fauzi Bowo memiliki kekayaan Rp59,3 miliar, didukung koalisi parpol segede gajah, berhiaskan kumis yang selalu disemir hitam dan citrakan diri sebagai sosok muslim istikamah, toh pada Pilkada Jakarta, Kamis (20-9), ambruk dikalahkan Joko Widodo dengan score 45,89% berbanding 54,11%. "Kumis di hari kamis tidak bagus dijadikan arena zero sum game pilkada," tuturku di hadapan peserta diskusi. Tapi Foke tidak juga mau mengerti. Bahkan diyakini bahwa jiwa manusia Jawa memosisikan kumis?rambut yang tumbuh di atas bibir di bawah hidung itu?sebagai simbol pria perkasa sekaligus tetenger sejatining drajating praja. Ia membuntuti pikiran bos Parpol Demokrat SBY. Timur Pradopo jadi kapolri disebabkan memiliki kumis melintang. SBY pada 2004 memilih Jusuf Kalla untuk melenggang ke istana disebabkan kumis tipis Kalla mirip Charlie Chaplin yang kerap disebut sebagai kumis politik pembawa berkah. Lantas ketika tahu Joko Widodo tidak berkumis, kian dipertebal pula kumis Foke.

Ah, Foke, andai dikau berteman daku juga Udo Z. Karzi di Facebook, pasti taulah bahwa tragedi kumis Foke di hari Kamis sudah diprediksi akan menjadi kartu mati Pilkada DKI. Tapi nasi sudah menjadi tai, mustahil dipungut ulang untuk dimakan. Yang bisa dicermati bahwa Jokowi tiap kali buat testimoni selalu diawali dengan tertawa hehehe usai itu lontarkan aksesori orasi yang cerdas. Tertawa hehehe Jokowi adalah presentasi kultural bercirikan kerakyatan khas wayang Semar sedang lontaran testimoni cerminkan aura negara batin Mamak Kenut. Terus? Kami peserta diskusi bersepakat bahwa wajah Jokowi mirip banget dengan peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 bernama Udo Z. Karzi. "Simak, wajah tirus bertubuh kurus Jokowi cerminkan lelananging jagad yang mengadop frasa budaya Solo "cegah dahar kalawan guling," ucap saya yang disambut dengan tepuk tangan meriah.

Dalam arti lain, Jokowi kibarkan jargon teologi kultural yang berbasis pada hasrat steril akar rumput. Ini bisa dilihat ketika ada tetes eces di sudut bibir Jokowi saat melahap nasi bungkus. Hal ini paling tidak menjadi cerita citra kesalehan sosial akar rumput yang mengesankan. Bahkan ketika Jokowi tahu persis jerit tangis rakyat saat Pilkada Solo, ia ogah membalihokan gambar diri. Kenapa? Sebab rakyat tidak butuh gambar dan sesumbar. Rakyat itu butuh sandang, papan, pangan, dan udud.

Tapi itu sudah! Semua serba salah kaprah, Foke! Frasa lama Jawa ingatkan bahwa "Lanang lirlanangira yen tinemu kumis apes kamis wekasan". Lelaki akan kehilangan kelakiannya bila kumis di hari Kamis dijadikan simbol politik kekuasaan. Kumis di hari Kamis disarankan hanya untuk pemanis hubungan seksual di sebuah kamar harum bersama istri hingga fajar subuh menjelang. "Malam Jumat adalah malam ibadah menunaikan hajat kumis," tulis saya di Facebook.

Usai itu, Jumat pagi, sang pemilik kumis layak mengadop amalan Kanjeng Nabi Muhammad saw. seperti diriwayatkan Bukhari bahwa ada, "Lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku."

Kumis ?Baplang?

Itu sudah! Sebagai sesama lansia tak elok kumis dipelihara, diplintir-plintir agar dilirik rakyat. Emang sih, kumis dalam perspektif teologi kultural Darma Ayu, Cirebon pertengahan abad ke-16, juga pernah menjadi tetenger dealetika demokrasi manunggaling kawula gusti. Era itu, ada pergulatan yang memetafor kumis sebagai kesatuan substansional suara kawula adalah suara gusti. Gusti yang berkumis dan kawula klimis selayaknya memanunggal lir manis kalawan madu manunggaling kawula-gusti. Kawula adalah rakyat dan gusti adalah Tuhan. Ikhwal ini bersebrangan dengan mindset penguasa saat itu yang memosisikan penguasa sebagai emanasi Ilahiah bersifat otonom dan tunggal. Dengan begitu, mustahil gusti berkumis dan kawula klimis menjadi satu kesatuan emban ingemban selawase.

Pengusung jargon yang bertentangan dengan mindset penguasa bernama Kantong Bolong. Seperti Mamak Kenut di Lampung, narasi sejarah Cirebon menuturkan bahwa Kantong Bolong adalah personifikasi nagara batin di hamparan akar rumput Dermayu. Ia memiliki kumis baplang?tidak jelas apakah Mamak Kenut juga berkumis? ia juga bersuara serak-serak basah berwajah aneh yang ngangenin. Disebabkan itu kumis Kantong Balong menjadi idola di dataran akar rumput. Kenapa? Kantong Bolong mendekonstruksi orientasi duniawi ke ruang steril ukhrawi. Ia tuding saudagar yang kuasai Pelabuhan Cimanuk adalah bayang-bayang mentalitas tak terpuji. Salah satu dari cacat besar sekaligus beban berat saat menyebrangi sirotolmustakim adalah wong ati saudagar.

Dari perdebatan antara penguasa dan Kantong Bolong inilah muncul teologi kerakyatan bahwa hanya suara rakyat yang bisa menentukan siapa yang layak menjadi penguasa. Hanya Kantong Bolong yang berkumislah yang layak menjadi demang Darma Ayu. Demokrasi kawula gusti ini menjadi pembicaraan di kalangan kasultanan Ceribon. Tersebab itu, Kesultanan Ceribon mengutus Nyi Endang Darma Ayu untuk membenahi kalbu rakyat Cimanuk. Maka peradilan kumis Kantong Bolong pun digelar. Nyi Endang paparkan bahwa suara rakyat bukan suara Tuhan tapi pada posisi tertentu adalah suara hantu. Mayoritas umat manusia pada zaman Nabi Nuh as. menentang dakwah nabi Nuh as., zaman Nabi Isa as. menentang dakwah Nabi Isa as., juga di era nabi Muhammad saw.. Artinya, suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan.

Kantong Bolong kian terpuruk. Terlebih lagi saat Nyi Endang paparkan hanya Ahlul Halli wal ?Aqdi, yaitu kalangan ulama, ahli fiqih dan orang-orang yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing yang mampu menempatkan siapa menduduki kursi apa. "Kumismu itu kumis ikan lele, Ki Sanak Kantong Balong," ujar Nyi Endang, "Hal aneh ketika bumi dicacah kuasa dan memutuskan kerumitan dengan cara menyembah pada pendapat banyak manusia. Ini lakon ling lang lung. Sebab, kebanyakan manusia itu bersepakat di atas kekufuran kepada Allah swt.. Mereka merekayasa fajir dan dhalim sebagai kesepakatan yang tidak terjelaskan."

Kumis Umbel

Kantong Bolong kalah! Ia duduk ngelemprak di hadapan Nyi Endang Darma Ayu. Ia menyayat ujung hidung. Darah Kantong Bolong membasahi jaringan kumis dan menetes ke tanah tiap kali Kantong Bolong paparkan esensi dari demokrasi kawula gusti. Sayatan darah merah itulah yang menjadi cikal-bakal berdirinya pedukuhan Lemah Abang (Tanah Merah) Sekober Indramayu.

Adakah pada Kamis (20-9), kumis dikau pada hakikatnya mendaur ulang kumis Kantong Bolong, wahai Foke? Benarkah taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Saya hanya angkat bahu! Sebab, narasi sejarah kabarkan bahwa sejak kumis Kantong Bolong memble di hari kamis, sejak itulah muncul rintihan macapat berbunyi "Benjing amenanging kala tida, wong duwur dadi umbul-umbul, wong cilik tengal-tengul nyedoti kumis umbel, brebes milih tetangisan."

Tandi Skober, budayawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 september 2012

Sunday, September 23, 2012

[Buku] Rekonstruksi Orisinal Kehidupan Cleopatra

Data buku:
Cleopatra: Kisah Hidup Sang Ratu Mesir yang Sesungguhnya

Stacy Schiff

PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012

452 halaman

CLEOPATRA bisa disebut salah satu tokoh penting dalam sejarah. Sebagai Ratu Mesir yang dikenal sebagai Cleopatra VII, ia tak diragukan lagi, dikenal luas bahkan melampaui fakta yang sebenarnya. Ia hidup dua ribu tahun yang lalu—pada abad pertama Sebelum Masehi—tetapi ia masih tetap dikenang sepanjang zaman. Sayang, riwayat hidup Cleopatra ternyata banyak disalahpahami; ia dikenang dengan setumpuk alasan yang salah atau kurang otentik. Ia lebih dikenal sebagai legenda daripada (sosok yang pernah) hidup dalam sejarah.

Tak pelak, kalau kehidupan Cleopatra lebih dicitrakan sebagai perempuan yang tak bermoral; perempuan penggoda. Ia menikah dua kali; kedua suaminya masih bersaudara. Tapi di balik itu, ia menjalin hubungan asmara dengan dua pria penting Romawi yang berstatus menikah dengan perempuan lain. Dari hubungan itu, ia memiliki seorang anak dari satu pria tersebut dan tiga lagi dari pria kedua. Dan, ia bisa memerintahkan kedua orang penting Romawi itu—yang tak lain Julius Caesar dan Mark Antony—tak bisa menolak apa yang ia perintah. Citra sebagai perempuan penggoda itu menutupi kecemerlangan Cleopatra yang dikenal sebagai ratu jago negosiasi dan mengendalikan kekuasaan.

Di tengah setumpuk mitos yang melingkupi kehidupan Cleopatra yang lebih dicitrakan miring itu, buku Cleopatra Kisah Hidup Sang Ratu Mesir yang Sesungguhnya karya Stacy Schiff ini coba menghadirkan sosok Cleopatra dengan menepis mitos dan legenda yang melingkupi sejarah hidupnya. Dengan buku ini, penulis yang tinggal di New York City ini menghidupkan kembali riwayat Cleopatra dengan cara menyelamatkan fakta dari fiksi, atau tepat menghilangkan mitos yang melekat pada sosok Cleopatra selama ini.

Walau bagaimana pun, di mata Stacy Schiff, Cleopatra bukan perempuan biasa. Ia perempuan yang langka. Maklum, waktu itu seorang perempuan bisa jadi penguasa adalah barang langka. Apalagi, ia bisa tampil menonjol sebagai satu-satunya perempuan—terpaut 1.300 tahun dengan Nefertiti—pada zaman kuno yang berkuasa sendirian dan memainkan peran dalam berbagai urusan barat. Padahal, ia cukup belia saat memanggul tahta. Ia berusia 18 tahun—dan adik laki-lakinya 10 tahun—ketika mengendalikan negeri yang diliputi masa lalu berat dan masa depan goyah.

Tapi ia bisa jadi ratu (penguasa) Mesir yang cakap dan berpandangan jernih. Ia tahu bagaimana mengendalikan kekuasaan, membangun armada, mengendalikan mata uang, menumpas pemberontak dan meredam kelaparan. Sayang semua itu berakhir tragis. Ia serupa menjalani hidup sekadar menunda kekalahan. Ia berkuasa 22 tahun, meninggal pada usia 39 tahun setelah mengalami deraan perang—pernah kehilangan kerajaan, memperoleh kembali, nyaris kehilangan lagi, memperolehnya kembali, hingga akhirnya kehilangan tahta lamanya. Dan setelah kematiannya, Mesir jadi salah satu Provinsi Romawi dan baru mendapat otonominya pada abad kedua puluh.

Stacy Schiff tak menepis sosok Cleopatra sebagai perempuan dengan citra miring. Tapi dari setumpuk rujukan yang ada, dia (yang pernah jadi pemenang Pulitzer Prize) berusaha memilah mitos dan fakta. Ia dengan jeli merestorasi konteks yang bisa diterima akal. Maklum, sumber yang terkait dengan Cleopatra yang bisa dikatakan komprehensif tak pernah bertemu dengan Cleopatra. Plutarch misalnya, lahir 76 tahun pascakematian Cleopatra. Appian menulis dalam jarak seabad lebih. Dio berjarak dua abad.

Di antara tumpukan sumber yang tidak konsisten bahkan bertentangan, penulis buku ini mencoba merangkai kisah Cleopatra dengan menepis mitos dan menyelamatkan sedikit fakta yang bisa dipercaya. Di sisi lain, penulis pun tak gegabah dengan melengkapi serpihan yang kosong dalam detail cerita Cleopatra dengan menambahkan imajinasi. Bahkan, dia pun menepis banyak kepingan cerita-cerita fiksi yang ditulis oleh penulis fiksi seperti George Bernard Shaw, Handel, bahkan William Shakespeare. Itu tak lain karena dia mendasarkan pada riset yang cermat, bahkan ingin memisahkan antara fakta dan fiksi. Tak pelak, jika ini adalah karya yang bisa disebut rekonstruksi orisinal tentang kehidupan Cleopatra.

N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah


Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 September 2012

Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (1)

-- Maman S Mahayana

PUISI ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dikaitkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan.

Tidak jarang pula, puisi membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi. Puisi-puisi yang memamerkan logika jungkir balik adalah satu contoh. Ada pula penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri penyairnya sendiri. Meski begitu, pembaca toh tetap saja seolah-olah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa estetik tersentuh (aesthetic contact).

Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi, sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau, misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana... yang dikutip dari puisi Sapardi Djoko Damono.

Tentu saja kita masih dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam puisi.
***

Entah kapan saya pertama kali membacai puisi ‘’Tempuling’’ karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada semacam panggilan untuk membaca dan membacainya kembali. Dan selalu lagi, ada sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan atau terkadang muncul tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk puisi yang berjudul ‘’Tempuling’’ itupun, seperti lesap begitu saja lantaran tangan mengklik file lain dari folder yang lain. Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis, di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K Liamsi.

Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, ‘’Ode X’’ (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting seperti -sekadar menyebut beberapa -Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza atau Sutardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS, Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Dawood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan. Lalu, cukup lama namanya senyap.

Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang mengingatkan pada makanan tradisional, dadar guling. Tempuling, makhluk apakah gerangan?

Meski terlalu banyak kosa-kata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan. Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm. 1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad Rangkuti- yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini Indonesia Indah, 28 Agustus 2008 -bertanya tentang makna kata tempuling.

Secara harfiah, ada pemahaman tentang kata itu. Tetapi secara filosofi, maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin. Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk ‘’Tempuling’’ itu laksana melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing.

Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian, melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan yang direpresentasikan atas nama Raja dan penguasa, reputasi dan keagungan puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan hanya kematian yang dapat memisahkannya.

Kembali, makhluk ajaib yang bernama puisi bertajuk ‘’Tempuling’’ itu seperti di-cancel lantaran tangan mengklik file lain.
***

Pada akhir Agustus 2009, saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling, terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya dan saya berkesempatan membongkar-bongkar file lama tentang puisi ajaib yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai!

***

Tempuling

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah
menyerah?
Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
Yang jauh dan ngilu
Diantara cuaca
Dan gemuruh karang

Sebatang tempuling tersadai
di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah
: Tuhan
Diakah kini yang telah
menyerah?
telah kalah?
:  Tuhan
Dia memang telah berbisik
Pindahkan pancang
sebelum pasang
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap

Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
: Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.

Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai. Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi, dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair kita?

Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah, dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang. Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak. Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan begitu, tempuling -tombak pendek- itu masih mungkin digunakan lagi (untuk menangkap ikan besar).

Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) atau mandau (Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikuti laju ikan berenang, kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian, keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara!

Ingat saja, bagaimana nelayan tua -dalam novel Lelaki Tua dan Laut -Ernst Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya, siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu lalu membawanya pulang. Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan sejati, sebagai jawara. Meski hiu raksasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi, profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi masyarakat akan datang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi atas profesinya itu.

Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabisbadai// mengisyaratkan sebuah kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya. Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka, keluarga si nelayan dan masyarakatnya akan menempatkan tempuling yang tersadai itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid!

Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi, sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir, apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise. Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang bercerita tentang pantai dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai), seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu.

Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi, punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut maha luas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang maha luas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah ‘serpih’ yang tersisa di antara deretan gigi itu. Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai mengesankan semacam sisa atau serpih muntahan mulut alam yang bernama laut.

Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi seperti di bawah ini. Tentu itu juga bukan tanpa alasan.

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai

Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa sebelum keterangan sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai -mulut alam- yang bernama laut.(bersambung)

Seoul, 17 September 2012

Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 September 2012

[Jejak] Syeikh Abdul Samad al-Falimbani, Pengarang Produktif

SYEIKH Abdul Samad al-Falimbani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang, meninggal di Pattani, Thailand pada 1832. Nama lengkapnya ialah Abdul Samad bin Abdullah al-Jawi al-Falimbani. Sementara itu, sumber Arab pula menamakannya sebagai Sayyid Abdul al-Samad bin Abdul Rahman al-Jawi. Abdul Samad adalah panglima perang Pattani dan Kedah melawan tentara Siam (1828-1832).

Karya-karya dan al-Falimbani dalam bidang penulisan amat banyak, di antara karyanya ialah: Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, Hidayah al-Salikin Fi Suluk Maslak al-Muttaqin, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mukminin, Al-’Urwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, Ratib ‘Abdal-Samad, Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin.

Tentang nama lengkap Syeikh Al-Falimbani, yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, beliau bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani.

Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahwa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.

Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ‘wahdatul wujud’ Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ‘melihat’ Allah SWT sebagai ‘penguasa’ mutlak.

Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada di negerinya Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, beliau bertambah kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.

Maka beliau merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun beliau kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan salat istikharah. Keputusannya, beliau mesti meninggalkan Palembang, kembali ke Makkah.

Lantaran anti Belanda, beliau tidak mau menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Makkah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu. Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.

Karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tidak sebanyak karya sahabatnya, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ini karena Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani memperoleh ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga panjang. Sedangkan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, maupun Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya. Walau bagaimanapun, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif. (fed/berbagi sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 September 2010

Saturday, September 22, 2012

Memahami Esensi Sastra Adiluhung

-- Doddy Hidayatullah

DERASNYA arus modernisasi di Indonesia tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi dan politik saja. Modernisasi juga telah mengikis sendi-sendi sastra. Hal ini tampak dengan adanya gagasan mengenai "sastra adiluhung" dalam ranah kesuastraan Indonesia. Memang, pernyataan mengenai sastra adiluhung tidaklah se-populer istilah sastra sufi dan sastra profetik.

    Dan, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca meninjau ulang mengenai gagasan sastra adiluhung di Indonesia yang masih kontradiktif. Pasalnya, belum ada batasan yang jelas untuk memformulasikan apa itu sastra adiluhung. Tulisan ini tidak bermaskud untuk membuat dikotomi, tapi lebih tertuju pada ruang dan lingkup sastra adiluhung dalam khazanah kesusastraan Indonesia.

    Selama ini, pandangan terhadap sastra adiluhung lebih dititikberatkan perhatiannya pada eksistensi karya sastra yang mampu bertahan terhadap zaman sehingga sampai sekarang masih dikenal oleh masyarakat, seperti Mahabarata dan Ramayana, Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia. Akan tetapi, ada yang menyebut sastra adiluhung diorientasikan pada kandungan moralitas yang terepresentasi dalam karya sastra. Itulah kontradiksi mengenai sastra adiluhung yang sampai sekarang menjadi polemik.

    Padahal, apabila dipandang secara eksistensi dan kandungan moralitasnya banyak karya sastra yang lebih hebat daripada Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia.

    Menurut saya, ada distingsi historis yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa hakekat adiluhung tertuju pada moral(itas) dan norma zaman dahulu. Anggapan tersebut tidak salah, namun berdasarkan esensinya, adiluhung merupakan falsafah luhur dan mulia yang substansinya diturunkan dari budaya terdahulu ke masa sekarang.

    Dalam buku buku Adiluhung tentang yang Suci dan Sejati (Ch'ing-chen ta-hsue) karya Wang Tai, yang diteliti oleh Sachiko Murata, mengungkapkan esensi adiluhung dalam konteks Cina. Buku tersebut ditulis oleh Wang Tai yang menyelaraskan dengan prinsip Konfusian, dan Tao, dengan ajaran Islam. Wang Tai dengan seksama membuat dialog ajaran tersebut dengan prinsip kebenaran yang dimiliki Islam.

    Dalam praktiknya, ada transformasi budaya dari prinsip Konfusian, dan Tao yang mengandung kearifan ke dalam nilai Islam pada masa Wang Tai.

    Di Indonesia, kita sering melihat adanya asimilasi budaya dan adat istiadat dengan falsafah Islam. Hal ini terutama dipelopori Wali Songo di Indonesia dalam menyebarkan ajaran Islam. Hasil dakwah yang telah dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga misalnya, mereka berdua berdakwah melalui seni dan budaya dengan menggunakan wayang kulit sebagai medianya. Fonemena tersebut mengilustrasikan akan peristiwa adiluhung, sedangkan sastra adiluhung mengungkapkan fonemena asimilasi seperti itu.

    Saya menganalogikan bahwa jika yang dikatakan sastra sufi yakni karya sastra yang mempersoalkan tauhid, dan sastra profetik mengungkap semangat kenabian, maka esensi sastra adiluhung tertuju kepada karya sastra yang membicarakan pelestarian budaya luhur dan mulia (kearifan).

    Di sini dengan jelas ada perbedaan yang signifikan mengenai "sastra adiluhung" dan "karya sastra yang adiluhung". Mahabarata dan Ramayana Serat Wedhatama, dan Centhini di Indonesia secara esensinya termasuk karya sastra yang adiluhung karena karya tersebut dipertahankan eksistesinya sebagai karya yang mengandung moralitas tinggi.

    Singkat kata, apa yang disebut sastra adiluhung lebih terletak pada bagaimana karya sastra tersebut mampu mengeksplorasi adanya sisi asimilasi budaya dengan kebudayaan sekarang.

    Dalam permasalahan ini, yang ditekankan mengenai nilai-nilai luhurnya (kearifan) sebagai falsafah hidup yang mampu membentuk keperibadian. Sampai di sini, tulisan ini telah mengantarkan kita tentang dasar sastra adiluhung.

    Dengan kuatnya arus modernisasi, maka falsafah luhur dan mulia yang dipertahankan dari zaman dahulu hingga sekarang eksistensinya mulai memudar. Inilah yang sebenarnya secara garis besar mewadahi paradigma sastra adiluhung. Peran dan fungsi yang melatarbelakangi akan hal ini terdapat pada masa transisi budaya-dalam modernisasi ini.

    Perlu adanya aksentuasi kearifan yang lebih eksploratif. Sudah semestinya kita sebagai manusia, menghargai budaya sebagai pembentuk moralitas dan keperibadian. Karena itu, sangatlah perlu meninjau ulang apa yang telah dicapai dalam budaya kita, pembentuk watak dan keperibadian secara sejarah, sebagai metode untuk mengoreksi perbuatan apa saja yang telah kita lakukan dalam beberapa waktu ini. Untuk itu, sastra adiluhung merupakan jawaban yang tepat.

    Sastra adiluhung secara substantif mengilustrasikan dinamika sosial yang mengalir lewat sublimasi sastrawan. Sublimasi ini terjadi dari dua dimensi, yaitu yang ragawi dan rohani. Yang ragawi berdasarkan panca indra atas konstruks sosial yang abstrak, sedangkan yang rohani berdasarkan kepekaan perasaan mengenali gejala-gejala kehidupan. Inilah peran sastra sebagai dunia yang dinamis, di mana orang mampu menyelaminya secara bebas dan berbagai variasi, maka sastra memiliki nilai yang beragam.

    Tidak heran apabila Jhon F. Kennedy mengatakan apabila politik bengkok, sastra yang meluruskan. Pendapat itu karena banyaknya nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral yang ditawarkan di dalam karya sastra. Adapun secara proses, karya sastra tersusun atas filosofi kehidupan yang menyatu dengan pengalaman empiris. Karenanya, ungkapan seperti "daun gugur dari tangkainya" adalah ilustrasi konkrit yang memiliki kandungan falsafah akan adanya sesuatu hal yang abstrak yaitu kematian.

    Jadi, tidak ada salahnya untuk merenungi nilai-nilai luhur dan mulia sehingga kita tidak timbul-tenggelam menghadapi kuatnya arus modernisasi yang cenderung kapitalis. Adapun konsep adiluhung yang mewujud dalam karya sastra merupakan fonemena (realitas) dan dapat dijadikan studi lanjut yang komprehensif dan ilmiah.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 22 September 2012

Sunday, September 16, 2012

Sosok "Aku" sebagai Kreator

-- Dantje S Moeis

ORIGINALITAS bukanlah tujuan pencapaian dari sebuah karya seni (rupa) dan diyakini menjadi sesuatu yang mustahil, kecuali apabila kata ‘original’ (diberi tanda petik) yang mempunyai arti khusus atau mendapat perluasan makna pada wilayah tertentu (dalam konteks ini: karya seni rupa). Lebih pas rasanya apabila pencapaian yang dituju dari sebuah karya seni rupa adalah ‘karya yang berpenampilan beda dari karya lainnya’ dan tentu saja pencapaian-pencapaian lainnya. Ukuran standar yang disebut ‘tampil beda’ tampaknya dapat dicapai dari pembentangan karya seni rupa yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau (Taman Budaya Provinsi Riau) 10-13 September 2012 di gedung serbaguna Taman Budaya Provinsi Riau, Pekanbaru.

Pameran yang terlihat bersifat non-tematik, adalah sebuah langkah positif yang dapat diartikan sebagai upaya memperkecil ruang intervensi konsep pemikiran, memperkaya khasanah keberagaman yang lebih memungkinkan pemunculan karya-karya bentuk baru. Karena idealnya bahwa kesatuan kehendak, pikiran dan perasaan, semua berkontribusi melalui praktik seni yang bersifat individualistik dan menjadikan ruang pameran memunculkan ‘sosok aku sebagai kreator’. Membangun ruang proses komunikasi, proses penciptaan serta ruang ‘pembaharu’ yang berjuang melawan ‘realitas negatif’ dan ‘rutinitas’.

Upaya menolak rutinitas dan menunjukkan kreatifitas dari berbagai aspek, baik teknis, penggunaan bahan maupun penuangan gagasan yang terinspirasi dari persoalan sosial memperlihatkan langkah maju.

Emmy Kadir, sosok satu-satunya perupa perempuan (alumnus ISI Jogjakarta) yang menghadirkan karya-karyanya pada pameran ini, memperlihatkan kemampuan teknik yang menonjol dengan penggarapan detail dan ruang secara maksimal, bermuara pada hasil yang sangat estetis. Begitu juga yang terlihat pada karya M Yusuf AS (alumnus ISI Jogjakarta). Yusuf yang tetap bertahan pada karya-karya kaligrafi huruf Arab, menampilkan karya berbahan temuannya (tapas kelapa) yang diupayakan tampil natural dengan sapuan tipis sentuhan pewarnaan.

Penonjolan problematika sosial yang diangkat ke bidang kanvas dengan garapan sempurna juga terlihat pada pameran kali ini. Khalil Zuhdi yang mengangkat persoalan eksploitasi anak, Rusli pada persoalan pelabuhan.

Kemampuan penggarapan secara naturalis dan realis dan bentuk-bentuk lain, juga terlihat pada perupa-perupa yang sudah cukup matang seperti pada karya Refnaldi, Amlie, Kodri johan, Yudi YS, Asril Af, Darmansyah, Baem, Romy Putra dan beberapa karya perupa lainnya, yang tak dapat disebutkan pada tulisan ini karena ketiadaan label data karya dan perupanya.

Catatan kecil sebagai pengingat bagi pihak penyelenggara, agar ke depan dapat tercapai sebuah pameran yang sempurna. Hal-hal yang paling kentara untuk diperbaiki adalah informasi yang lengkap seperti data karya dan perupanya (label), yang lazim melekat sebagai pengenalan awal dari perupa dan karya terpamer yang pada pameran ini tidak dipenuhi secara keseluruhan. Hal lain seperti katalogus sebagai informasi lanjutan juga belum tersedia dan hal-hal kecil lainnya yang berpengaruh yang menujukkan kualitas sebuah pameran. Terlepas dari semua kekurangan, sebuah upaya untuk mengembalikan porsi Taman Budaya seperti konsep masa lalu, sebagai ruang tempat berkreatifitas seniman dari segala bentuk percabangan seni, terlihat menuju titik pencerahan dan semoga dapat berkelanjutan. Tahniah kepada kepala Dinas Kebudayaan Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau, Kepala Taman Budaya Riau serta seluruh panitia penyelenggara ‘’Pameran Seni Rupa se-Riau’’ yang telah membangkitkan kembali semangat untuk terus kreatif dan memposisikan kembali karya-karya perupa Riau, sejajar dengan karya-karya dari kawasan lain di negeri ini. n

Dantje S Moeis, Lahir di Rengat Indragiri Hulu Riau, adalah pekerja seni, redaktur majalah budaya Sagang, dosen Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 September 2012

Bersilaturahmi dan Beramal di Hari yang Fitri Lewat Sandiwara

-- Husin
ADA banyak cara, masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut ajaran agama Islam untuk menyambut bulan suci Ramadan dan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Di tiap daerah, provinsi dan lain sebagainya memiliki latar belakang kebudayaan yang banyak dipengaruhi berbagai macam aspek. Sehingga membuatnya menjadi banyak ragam kebudayaan. Namun tetap pada ajaran dan aturan yang ada di dalam ayat suci Alquran.

Bulan Ramadan memang bulan yang penuh berkah, umat muslim diberi kesempatan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT dan mendalami agama Islam, untuk menyempurnakan amal ibadah. Tak hanya sampai di situ, usai menjalani ibadah Ramadan, maka sampailah pada hari kemenangan, yakni Hari Raya Idul Fitri. Dimana seluruh umat muslim berhak merayakannya dan diberi kesempatan untuk saling memaafkan antar sesama, sehingga ruang sosialisasi dan komunikasi menjadi harmonis. Selain itu mereka juga dapat menafkahkan sebagian rezekinya untuk orang lain yang memerlukan, dalam hal ini fakir miskinlah yang dipandang perlu untuk menerimanya. ‘’Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka’’ (QS 2:3). Ayat ini coba memerintahkan salat dan menafkahkan sebagian rezki untuk orang lain. Karena rezeki yang kita miliki, sebagian ada hak orang lain di dalamnya. Maha Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya.

Begitulah yang tiap tahun dilakukan orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sehingga harus diakui, pengaruh agama Islam terhadap pola hidup bermasyarakat orang Melayu memang sangat besar. Bahkan kadang-kadang terkesan, bahwa Melayu identik dengan Islam.

Sama halnya dengan perayaan yang dilakukan masyarakat di Dusun Pulau Belimbing, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Mereka punya cara lain untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri, yakni berbentuk drama. Drama tradisional ini diberi nama oleh masyarakat dengan sebutan ‘’sandiwara amal’’, karena masyarakat tak mengenal istilah teater. Pemberian nama ini disebabkan oleh penampilan yang selalu memungut biaya dengan cara menjual tiket atau karcis. Hasil penjualan karcis digunakan untuk pembangunan desa, baik itu untuk perbaikan jalan yang menghubungkan dari desa ke desa, perbaikan masjid, musala, sarana pendidikan agama dan lain sebagainya.

Sandiwara ini diperkenalkan oleh Abik pada 1948, yang pulang merantau dari Negara Singapura saat Hari Raya Idul Fitri. Pada 1940-an, Singapura telah mengalami banyak kemajuan. Di sana beliau sering menonton pertunjukan sandiwara. Alasan untuk memperkenalkan sandiwara hanya untuk menghibur masyarakat dan sebagian penduduk yang pulang dari rantau. Sepulangnya dari Singapura, beliau coba melakukan hal serupa yang pernah ia tonton dan melakukan semampunya. Mulai dari mengumpulkan pemain yang terdiri dari para pemuda desa, sampai pada pembuatan cerita yang sangat dekat dengan persoalan masyarakat dan juga cerita-cerita legenda yang berkembang di tengah masyarakat Pulau Belimbing.

Dengan berjalannya waktu, Desa Pulau Belimbing mengalami kemajuan di bidang seni dan budaya. Kegiatan budaya makin bertambah dan disusun menjadi kegiatan rutin tahunan. Kegiatan itu diadakan mulai dari pra-Ramadan hingga pasca Hari Raya Idul Fitri. Urutan kegiatan ini dimulai dari bakela/makan basamo (bersama), lomba MTQ (Musabaqoh Tilawatil Quran), pacu tongkang (perahu) dan  sandiwara amal sebagai acara puncak.

Bentuk dan Unsur Pertunjukan

Bentuk sandiwara amal disampaikan dengan cara dimainkan atau dipertunjukkan. Para pelaku memainkan atau memperagakan cerita. Penyajian cerita dibawakan secara lelucon atau lawakan dan selalu spontanitas. Terkadang porsi lawakan cenderung menyindir dan sering berlebihan yang selalu mengikuti keinginan penonton, karena antara penonton dan pemain terjadi interaksi yang sangat dekat.

Gaya lawakan yang disebut farce (banyolan) adalah gaya permainan komedi yang berlebihan, kasar dan banyak menggunakan kelucuan yang mengutamakan gerak lahiriah. Gaya banyolan sering diperkuat dengan kelucuan dalam permainan kata (plesetan). Kadang kala dengan sengaja mengucapkan kata yang keliru, untuk menimbulkan efek lucu.

Bentuk penokohon yang selalu dipertahankan oleh masyarakat hingga hari ini adalah tokoh perempuan dimainkan oleh laki-laki. Laki-laki yang memerankan tokoh perempuan ini dari segi vokal, akting, kostum dan rias diupayakan serupa mungkin. Tokoh-tokoh demikian menjadi sangat penting dari setiap penampilan, karena mereka yang akan menghidupkan pertunjukan dan diinginkan oleh penonton. Makin banyak penonton tertawa, makin bertambah pula lawakan yang disuguhkan. Penokohan yang punya unsur lawakan jadi sangat menarik dan selalu digemari masyarakat.

Selain itu segala bentuk unsur pendukung pertunjukan seperti tata pentas, cahaya, musik, rias dan busana dibuat sesederhana mungkin. Misalkan saja seperti tata pentas yang untuk membangun latar waktu dan tempat, mereka akan buat semampunya atau bahkan mereka cukup membangun ruang dan garis imajiner saja. Untuk rias, mereka cukup menggunakan bedak tabur dan lipstik buat tokoh perempuan. Atau pencahayaan, mereka cukup menggunakan lampu neon, karena fungsi cahaya bagi mereka hanya untuk penerang.

Fungsi Pertunjukan bagi Masyarakat

Fungsi kreativitas: Ide dan kekayaan batin merupakan modal pokok bagi pengembangan kreativitas seni sandiwara amal sehingga jadi suatu pertunjukan yang bisa dinikmati. Ini sangat terlihat dalam sandiwara amal. Kemampuan seorang seniman dalam melahirkan gagasannya adalah sisi teknis yang menentukan keberhasilan dalam berekspersi, yaitu dalam memilih bahasa ekspresi yang praktis dan efisien, mudah dipahami dan memberi pengalaman estetik yang menyenangkan.

Fungsi estetis: Fungsi sandiwara amal adalah alat untuk melakukan transformasi nilai kemanusiaan ke tengah masyarakat. Sandiwara amal akan diterima sebagai gambaran biasa apabila sandiwara itu tak dapat menyingkap tabir nilai estetis yang tersirat dalam pertunjukannya. Nilai estetis dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam budaya tertentu.

Mengamati sandiwara amal, bukan hanya mengamati wujud sebuah bentuk kehidupan masyarakat Desa Pulau Belimbing, dengan persoalan-persoalannya, tapi juga hakikat yang terkandung dalam seni tersebut. Seniman sandiwara amal coba mengisi hakikat seni drama dengan menjadikannya lebih berisi dan bermakna seni yang tinggi.

Jika dikaitkan dengan moralitas, sandiwara amal berfungsi menemukan dan mengungkapkan keindahan semesta, karena adanya sesuatu yang agung dan mulia sesuai  apresiasi terhadap kosmos. Seni dalam pandangan kaum pencinta keindahan ini tak bekerja secara langsung mengekspresikan ide atau sikap, tapi mewujudkan sebuah pengalaman hidup dalam suatu wujud. Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant (dalam Jakob Soemardjo, 2001: 93) bahwa seni sepenuhnya merupakan kepuasan keindahan tanpa pamrih. Kesenian jadi berkembang ketika ia dikembalikan dalam bentuknya yang utuh, yang tak hanya sebagai alat untuk tujuan tertentu, tapi juga untuk merangsang jiwa manusia yang memandang seni sebagai sesuatu yang indah.

Fungsi kemasyarakatan: Seniman sandiwara amal coba meminimalkan konflik sosial dalam mengembangkan kesenian tradisional di Bangkinang Barat. Seniman sandiwara amal sangat menyadari bahwa dimensi orientasi nilai mencerminkan pola-pola budaya yang diresapi masyarakat Bangkinang Barat. Dimensi ini digunakan untuk mengklasifikasi aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. Dimensi kognitif berhubungan dengan sistem kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif dan dimensi moral berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi nilai. Intinya, seniman sandiwara amal coba memberi pola-pola budaya yang modern kemudian menyatukannya dengan pola-pola budaya yang berkembang di Bangkinang Barat. Tak ada paksaan untuk melakukan hal-hal yang mengarah pada persoalan di luar budaya yang dikenal oleh masyarakat Bangkinang Barat.

Fungsi sosial: Seniman sandiwara amal melakukan tindakan dalam mengorganisasi pemain agar keteraturan dan arah yang diinginkan dalam dunia kreativitas bisa terjaga dengan baik tanpa adanya konflik yang merusak sosial itu sendiri. Sistem sosial ini difungsikan oleh seniman tradisional dalam wujud membentuk fungsi baru dalam dunia seni drama.

Seniman sandiwara amal membentuk konsep sistem sosial dengan melibatkan pelaku-pelakunya. Dia yakin bahwa setiap pelaku kesenian di Bangkinang bermaksud  mencapai daya tarik yang tinggi terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat Bangkinang Barat. Saat sandiwara amal mendapat tanggapan yang positif dari sistem sosial, tindakan itu akan diteruskan menjadi suatu rutinitas. Pelaku yang ikut bersama dengan seniman sandiwara amal merasakan bahwa dunia drama merupakan dunia yang bisa menghasilkan daya kritis.

Dari apa yang telah dilakukan masyarakat Pulau Belimbing, kita bisa melihat bahwa kesenian, khususnya sandiwara atau teater memiliki peranan sangat penting dan kontribusi yang besar di tengah masyarakat. Tinggal bagaimana kita memberi yang terbaik bagi masyarakat. Jangan pernah menyalahkan masyarakat jika mereka jenuh dan meninggalkan tempat pertunjukan sebelum pertunjukan usai. Tapi cobalah kita salahkan diri kita, apa yang telah kita berikan pada masyarakat.***

Husin, Tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan penggiat teater di Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 September 2012