Sunday, September 16, 2012

Bersilaturahmi dan Beramal di Hari yang Fitri Lewat Sandiwara

-- Husin
ADA banyak cara, masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut ajaran agama Islam untuk menyambut bulan suci Ramadan dan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Di tiap daerah, provinsi dan lain sebagainya memiliki latar belakang kebudayaan yang banyak dipengaruhi berbagai macam aspek. Sehingga membuatnya menjadi banyak ragam kebudayaan. Namun tetap pada ajaran dan aturan yang ada di dalam ayat suci Alquran.

Bulan Ramadan memang bulan yang penuh berkah, umat muslim diberi kesempatan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT dan mendalami agama Islam, untuk menyempurnakan amal ibadah. Tak hanya sampai di situ, usai menjalani ibadah Ramadan, maka sampailah pada hari kemenangan, yakni Hari Raya Idul Fitri. Dimana seluruh umat muslim berhak merayakannya dan diberi kesempatan untuk saling memaafkan antar sesama, sehingga ruang sosialisasi dan komunikasi menjadi harmonis. Selain itu mereka juga dapat menafkahkan sebagian rezekinya untuk orang lain yang memerlukan, dalam hal ini fakir miskinlah yang dipandang perlu untuk menerimanya. ‘’Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka’’ (QS 2:3). Ayat ini coba memerintahkan salat dan menafkahkan sebagian rezki untuk orang lain. Karena rezeki yang kita miliki, sebagian ada hak orang lain di dalamnya. Maha Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya.

Begitulah yang tiap tahun dilakukan orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sehingga harus diakui, pengaruh agama Islam terhadap pola hidup bermasyarakat orang Melayu memang sangat besar. Bahkan kadang-kadang terkesan, bahwa Melayu identik dengan Islam.

Sama halnya dengan perayaan yang dilakukan masyarakat di Dusun Pulau Belimbing, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Mereka punya cara lain untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri, yakni berbentuk drama. Drama tradisional ini diberi nama oleh masyarakat dengan sebutan ‘’sandiwara amal’’, karena masyarakat tak mengenal istilah teater. Pemberian nama ini disebabkan oleh penampilan yang selalu memungut biaya dengan cara menjual tiket atau karcis. Hasil penjualan karcis digunakan untuk pembangunan desa, baik itu untuk perbaikan jalan yang menghubungkan dari desa ke desa, perbaikan masjid, musala, sarana pendidikan agama dan lain sebagainya.

Sandiwara ini diperkenalkan oleh Abik pada 1948, yang pulang merantau dari Negara Singapura saat Hari Raya Idul Fitri. Pada 1940-an, Singapura telah mengalami banyak kemajuan. Di sana beliau sering menonton pertunjukan sandiwara. Alasan untuk memperkenalkan sandiwara hanya untuk menghibur masyarakat dan sebagian penduduk yang pulang dari rantau. Sepulangnya dari Singapura, beliau coba melakukan hal serupa yang pernah ia tonton dan melakukan semampunya. Mulai dari mengumpulkan pemain yang terdiri dari para pemuda desa, sampai pada pembuatan cerita yang sangat dekat dengan persoalan masyarakat dan juga cerita-cerita legenda yang berkembang di tengah masyarakat Pulau Belimbing.

Dengan berjalannya waktu, Desa Pulau Belimbing mengalami kemajuan di bidang seni dan budaya. Kegiatan budaya makin bertambah dan disusun menjadi kegiatan rutin tahunan. Kegiatan itu diadakan mulai dari pra-Ramadan hingga pasca Hari Raya Idul Fitri. Urutan kegiatan ini dimulai dari bakela/makan basamo (bersama), lomba MTQ (Musabaqoh Tilawatil Quran), pacu tongkang (perahu) dan  sandiwara amal sebagai acara puncak.

Bentuk dan Unsur Pertunjukan

Bentuk sandiwara amal disampaikan dengan cara dimainkan atau dipertunjukkan. Para pelaku memainkan atau memperagakan cerita. Penyajian cerita dibawakan secara lelucon atau lawakan dan selalu spontanitas. Terkadang porsi lawakan cenderung menyindir dan sering berlebihan yang selalu mengikuti keinginan penonton, karena antara penonton dan pemain terjadi interaksi yang sangat dekat.

Gaya lawakan yang disebut farce (banyolan) adalah gaya permainan komedi yang berlebihan, kasar dan banyak menggunakan kelucuan yang mengutamakan gerak lahiriah. Gaya banyolan sering diperkuat dengan kelucuan dalam permainan kata (plesetan). Kadang kala dengan sengaja mengucapkan kata yang keliru, untuk menimbulkan efek lucu.

Bentuk penokohon yang selalu dipertahankan oleh masyarakat hingga hari ini adalah tokoh perempuan dimainkan oleh laki-laki. Laki-laki yang memerankan tokoh perempuan ini dari segi vokal, akting, kostum dan rias diupayakan serupa mungkin. Tokoh-tokoh demikian menjadi sangat penting dari setiap penampilan, karena mereka yang akan menghidupkan pertunjukan dan diinginkan oleh penonton. Makin banyak penonton tertawa, makin bertambah pula lawakan yang disuguhkan. Penokohan yang punya unsur lawakan jadi sangat menarik dan selalu digemari masyarakat.

Selain itu segala bentuk unsur pendukung pertunjukan seperti tata pentas, cahaya, musik, rias dan busana dibuat sesederhana mungkin. Misalkan saja seperti tata pentas yang untuk membangun latar waktu dan tempat, mereka akan buat semampunya atau bahkan mereka cukup membangun ruang dan garis imajiner saja. Untuk rias, mereka cukup menggunakan bedak tabur dan lipstik buat tokoh perempuan. Atau pencahayaan, mereka cukup menggunakan lampu neon, karena fungsi cahaya bagi mereka hanya untuk penerang.

Fungsi Pertunjukan bagi Masyarakat

Fungsi kreativitas: Ide dan kekayaan batin merupakan modal pokok bagi pengembangan kreativitas seni sandiwara amal sehingga jadi suatu pertunjukan yang bisa dinikmati. Ini sangat terlihat dalam sandiwara amal. Kemampuan seorang seniman dalam melahirkan gagasannya adalah sisi teknis yang menentukan keberhasilan dalam berekspersi, yaitu dalam memilih bahasa ekspresi yang praktis dan efisien, mudah dipahami dan memberi pengalaman estetik yang menyenangkan.

Fungsi estetis: Fungsi sandiwara amal adalah alat untuk melakukan transformasi nilai kemanusiaan ke tengah masyarakat. Sandiwara amal akan diterima sebagai gambaran biasa apabila sandiwara itu tak dapat menyingkap tabir nilai estetis yang tersirat dalam pertunjukannya. Nilai estetis dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam budaya tertentu.

Mengamati sandiwara amal, bukan hanya mengamati wujud sebuah bentuk kehidupan masyarakat Desa Pulau Belimbing, dengan persoalan-persoalannya, tapi juga hakikat yang terkandung dalam seni tersebut. Seniman sandiwara amal coba mengisi hakikat seni drama dengan menjadikannya lebih berisi dan bermakna seni yang tinggi.

Jika dikaitkan dengan moralitas, sandiwara amal berfungsi menemukan dan mengungkapkan keindahan semesta, karena adanya sesuatu yang agung dan mulia sesuai  apresiasi terhadap kosmos. Seni dalam pandangan kaum pencinta keindahan ini tak bekerja secara langsung mengekspresikan ide atau sikap, tapi mewujudkan sebuah pengalaman hidup dalam suatu wujud. Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant (dalam Jakob Soemardjo, 2001: 93) bahwa seni sepenuhnya merupakan kepuasan keindahan tanpa pamrih. Kesenian jadi berkembang ketika ia dikembalikan dalam bentuknya yang utuh, yang tak hanya sebagai alat untuk tujuan tertentu, tapi juga untuk merangsang jiwa manusia yang memandang seni sebagai sesuatu yang indah.

Fungsi kemasyarakatan: Seniman sandiwara amal coba meminimalkan konflik sosial dalam mengembangkan kesenian tradisional di Bangkinang Barat. Seniman sandiwara amal sangat menyadari bahwa dimensi orientasi nilai mencerminkan pola-pola budaya yang diresapi masyarakat Bangkinang Barat. Dimensi ini digunakan untuk mengklasifikasi aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. Dimensi kognitif berhubungan dengan sistem kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif dan dimensi moral berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi nilai. Intinya, seniman sandiwara amal coba memberi pola-pola budaya yang modern kemudian menyatukannya dengan pola-pola budaya yang berkembang di Bangkinang Barat. Tak ada paksaan untuk melakukan hal-hal yang mengarah pada persoalan di luar budaya yang dikenal oleh masyarakat Bangkinang Barat.

Fungsi sosial: Seniman sandiwara amal melakukan tindakan dalam mengorganisasi pemain agar keteraturan dan arah yang diinginkan dalam dunia kreativitas bisa terjaga dengan baik tanpa adanya konflik yang merusak sosial itu sendiri. Sistem sosial ini difungsikan oleh seniman tradisional dalam wujud membentuk fungsi baru dalam dunia seni drama.

Seniman sandiwara amal membentuk konsep sistem sosial dengan melibatkan pelaku-pelakunya. Dia yakin bahwa setiap pelaku kesenian di Bangkinang bermaksud  mencapai daya tarik yang tinggi terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat Bangkinang Barat. Saat sandiwara amal mendapat tanggapan yang positif dari sistem sosial, tindakan itu akan diteruskan menjadi suatu rutinitas. Pelaku yang ikut bersama dengan seniman sandiwara amal merasakan bahwa dunia drama merupakan dunia yang bisa menghasilkan daya kritis.

Dari apa yang telah dilakukan masyarakat Pulau Belimbing, kita bisa melihat bahwa kesenian, khususnya sandiwara atau teater memiliki peranan sangat penting dan kontribusi yang besar di tengah masyarakat. Tinggal bagaimana kita memberi yang terbaik bagi masyarakat. Jangan pernah menyalahkan masyarakat jika mereka jenuh dan meninggalkan tempat pertunjukan sebelum pertunjukan usai. Tapi cobalah kita salahkan diri kita, apa yang telah kita berikan pada masyarakat.***

Husin, Tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan penggiat teater di Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 September 2012

No comments: