-- Tjahjono Widarmanto
PADA sejarah awal perkembangan penerbitan buku, usaha penerbitan buku merupakan gabungan antara idealisme dan pasar. Dalam The Coming of The Book (verso 1990). Lucien Febvre dan Henri-Jean Martin, selain menggambarkan hiruk-pikuk dampak percetakan pada tahun 1450 dan 1800 juga menunjukkan adanya kecenderungan menarik yang dianut para pencetak melandasi konsep penerbitan buku-buku mereka.
Febvre dan Jean Martin menunjukkan sosok-sosok Berthelemy Buyer, Jean Amerbach, dan Aldus, yang digelarinya sebagai "pencetak-penerbit humanis". Mereka adalah kapitalis-kapitalis yang amat memahami dengan jeli kemungkinan ganda dari bisnis penerbitan buku. Yaitu, di satu sisi untuk mendapatkan laba, dan di sisi lain sebagai sarana penyebarluasan kebudayaan.
Dari segi bisnis, buku adalah produk industri seperti komoditas komersial yang lain; kain, sepatu, alat rumah tangga, dan sebagainya. Yang membuatnya berbeda, di samping komoditas komersial buku jga memiliki visi sebagai wahana pengetahuan, pendidikan, dan transformasi nilai-nilai budaya dalam masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan kesadaran pentingnya informasi dan perkembangan pengetahuan, kebutuhan masyarakat terhadap buku meluap-luap. Itu berarti bisnis penerbitan buku menjadi salah satu bisnis yang menggiurkan. Penerbitan buku menjanjikan keuntungan besar, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap buku tak pernah tertuntaskan.
Saat bisnis penerbitan buku menjamur sedangkan kebutuhan masyarakat akan buku tak pernah tertuntaskan, tumbuh pula (seperti juga komoditas komersial yang lain) fenomena yang lain, yaitu pembajakan buku. Di Indonesia, pembajakan buku berlangsung sejak tahun 1966 sampai sekarang terus berlangsung dan belum pernah mendapatkan solusi yang cerdas.
Pembajakan buku di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sangat mahalnya harga-harga buku asli yang amat memberatkan konsumen. Konsumen buku terbesar adalah para kaum terpelajar. Penikmat buku kebanyakan mahasiswa atau pelajar yang ekonominya sangat terbatas, sehingga daya belinya pun lemah. Hal ini dibaca oleh para pembajak buku sehingga mereka melakukan pembajakan dan menjualnya dengan harga yang sangat murah.
Kedua, distribusi buku yang tak merata. Faktor ini berkaitan dengan dua hal. Yaitu sangat jauhnya pasar dan penerbit buku yang dibutuhkan dan terbatasnya persediaan buku tertentu di pasaran. Pasar tempat konsumen memburu buku yang dibutuhkan jauh dari penerbit menyebabkan peluang jalan pintas yang ilegal terbuka lebar. Sedangkan terbatasnya buku tertentu di pasaran mengakibatkan permintaan tak bisa cepat dipenuhi. Peluang ini dibaca oleh penerbit gelap untuk sesegera mungkin membajaknya tanpa harus mengelluarkan biaya operasional yang tinggi. Mereka tak perlu memikirkan dan memikul royalti, proses editing maupun promosi.
Ketiga, penghormatan terhadap intelectual right (hak cipta) masih rendah. Walaupun pemerintah telah berupaya menciptakan UU Hak Cipta untuk menutup peluang atas pelanggaran hak cipta dan pembajakan buku, upaya ini belum efektif. Sanksi pidana yang sebenarnya cukup berat seperti tercantum dalam UU No 7 tahun 1987 dengan hukuman maksimal 7 tahunpenjara atau denda Rp. 100.000.000, 00 belum membuat para pembajak jera. Keempat kurangnya penegakan hukum yang serius. Faktor ini amat berkait dengan faktor ketiga. Dalam realitasnya ketentuan UU no. 7 tahun 1987 tak pernah dijalankan secara serius, sehingga terkesan aparat penegak hukum kurang tegas dalam menindak pembajak buku. Banyak di antara penegak hukum masa bodo, bahkan tidak tahu tentang UU hak Cipta tertentu.
Buku-buku bajakan jelas merugikan banyak pihak. Penerbit, penulis, pemerintah, editor, sampai distributor dan toko buku. Ibaratnya, buku bajakan itu benalu yang menempel pada penerbit dan penulis. Di sisi ini jelaslah buku bajakan dicaci, dihujat para penerbit dan penulis yang dirugikan secara ekonomis dan dilecehkan hak intelektualnya.
Namun di sisi lain, buku-buku bajakan dianggap "berkah" bagi konsumen tertentu. Dengan kata lain, buku-buku bajakan sangat dicari di pasaran oleh para konsumen, utamanya oleh para mahasiswa dan pelajar yang kondisi ekonominya pas-pasan. Harga buku asli yang teramat mahal membuat golongan ini sangat sulit untuk membelinya. Di sinilah buku-buku bajakan memberi jalan keluar yang amat jitu untuk mengatasi persoalan daya belinya. Misalkan harga sebuah kamus asli berkisar Rp. 100.000,00, versi bajakannya bisa separohnya.
Pembeli yang berkantong tipis tntu akan memilih versi yang bajakan. Harganya sangat murah, bentuk penampilan dan isinya sama. Yang membedakannya hanyalah kualitas cetakannya saja. Itu pun bedanya tipis sekali. Tentu saja, walau menguntungkan beberapa pihak, keberadaan buku-buku bajakan tak bisa ditoleransi begitu saja. Perlu ada upaya-upaya efektif untuk menanggulangi atau minimum membatasinya. Beberapa upaya yang bisa dilakukan itu antara lain dengan pengurangan atau penghapusan pajak buku. Selama ini, untuk buku praktis dikenai tiga kali pajak pertambahan nilai (PPN). Yaitu pajak bahan baku kertas, pajak untuk biaya cetak, dan pajak penjualan. Dengan beban ketgiga pajak itu harga buku tentu saja sukit untuk ditekan, karena penerbit tak mau merugi, maka sebagian besar beban pajak itu dilimpahkan pada konsumen dengan jalan menaikkan harga buku. Jika pajak buku ini dikurangi,secara otomatis buku-buku di pasaran akan murah. Dengan sendirinya konsumen tak perlu lagi melirik buku-buku bajakan.
Yang tidak kalah pentingnya pendistribusian buku. Distribusi buku secara nasional harus merata. Untuk itu perlu jalinan yang lebih mesra di antara penerbit, utamanya penerbit nasional dan penerbit lokal. Dengan upaya ini pendistribusian buku akan lebih efektif dan harga buku akan lebih terjangkau. Kedua upaya ini harus diikuti dengan serius oleh para penegak hukum untuk lebih proaktif menindak pembajak. Perlu tindakan terus menerus untuk mengusut mafia pembajakan buku. Dengan upaya ini kita bisa berharap dunia perbukuan kita semakin hidup, semakin diminati dan dinikmati semua lapisan masyarakat. Itu berarti akan lahir generasi-generasi yang tercerahkan oleh buku. Reading society yang kita impikan pun akan segera terwujud. n
* Tjahjono Widarmanto, penyair dan pengajar, tinggal di Ngawi
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 15 September 2012
PADA sejarah awal perkembangan penerbitan buku, usaha penerbitan buku merupakan gabungan antara idealisme dan pasar. Dalam The Coming of The Book (verso 1990). Lucien Febvre dan Henri-Jean Martin, selain menggambarkan hiruk-pikuk dampak percetakan pada tahun 1450 dan 1800 juga menunjukkan adanya kecenderungan menarik yang dianut para pencetak melandasi konsep penerbitan buku-buku mereka.
Febvre dan Jean Martin menunjukkan sosok-sosok Berthelemy Buyer, Jean Amerbach, dan Aldus, yang digelarinya sebagai "pencetak-penerbit humanis". Mereka adalah kapitalis-kapitalis yang amat memahami dengan jeli kemungkinan ganda dari bisnis penerbitan buku. Yaitu, di satu sisi untuk mendapatkan laba, dan di sisi lain sebagai sarana penyebarluasan kebudayaan.
Dari segi bisnis, buku adalah produk industri seperti komoditas komersial yang lain; kain, sepatu, alat rumah tangga, dan sebagainya. Yang membuatnya berbeda, di samping komoditas komersial buku jga memiliki visi sebagai wahana pengetahuan, pendidikan, dan transformasi nilai-nilai budaya dalam masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan kesadaran pentingnya informasi dan perkembangan pengetahuan, kebutuhan masyarakat terhadap buku meluap-luap. Itu berarti bisnis penerbitan buku menjadi salah satu bisnis yang menggiurkan. Penerbitan buku menjanjikan keuntungan besar, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap buku tak pernah tertuntaskan.
Saat bisnis penerbitan buku menjamur sedangkan kebutuhan masyarakat akan buku tak pernah tertuntaskan, tumbuh pula (seperti juga komoditas komersial yang lain) fenomena yang lain, yaitu pembajakan buku. Di Indonesia, pembajakan buku berlangsung sejak tahun 1966 sampai sekarang terus berlangsung dan belum pernah mendapatkan solusi yang cerdas.
Pembajakan buku di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sangat mahalnya harga-harga buku asli yang amat memberatkan konsumen. Konsumen buku terbesar adalah para kaum terpelajar. Penikmat buku kebanyakan mahasiswa atau pelajar yang ekonominya sangat terbatas, sehingga daya belinya pun lemah. Hal ini dibaca oleh para pembajak buku sehingga mereka melakukan pembajakan dan menjualnya dengan harga yang sangat murah.
Kedua, distribusi buku yang tak merata. Faktor ini berkaitan dengan dua hal. Yaitu sangat jauhnya pasar dan penerbit buku yang dibutuhkan dan terbatasnya persediaan buku tertentu di pasaran. Pasar tempat konsumen memburu buku yang dibutuhkan jauh dari penerbit menyebabkan peluang jalan pintas yang ilegal terbuka lebar. Sedangkan terbatasnya buku tertentu di pasaran mengakibatkan permintaan tak bisa cepat dipenuhi. Peluang ini dibaca oleh penerbit gelap untuk sesegera mungkin membajaknya tanpa harus mengelluarkan biaya operasional yang tinggi. Mereka tak perlu memikirkan dan memikul royalti, proses editing maupun promosi.
Ketiga, penghormatan terhadap intelectual right (hak cipta) masih rendah. Walaupun pemerintah telah berupaya menciptakan UU Hak Cipta untuk menutup peluang atas pelanggaran hak cipta dan pembajakan buku, upaya ini belum efektif. Sanksi pidana yang sebenarnya cukup berat seperti tercantum dalam UU No 7 tahun 1987 dengan hukuman maksimal 7 tahunpenjara atau denda Rp. 100.000.000, 00 belum membuat para pembajak jera. Keempat kurangnya penegakan hukum yang serius. Faktor ini amat berkait dengan faktor ketiga. Dalam realitasnya ketentuan UU no. 7 tahun 1987 tak pernah dijalankan secara serius, sehingga terkesan aparat penegak hukum kurang tegas dalam menindak pembajak buku. Banyak di antara penegak hukum masa bodo, bahkan tidak tahu tentang UU hak Cipta tertentu.
Buku-buku bajakan jelas merugikan banyak pihak. Penerbit, penulis, pemerintah, editor, sampai distributor dan toko buku. Ibaratnya, buku bajakan itu benalu yang menempel pada penerbit dan penulis. Di sisi ini jelaslah buku bajakan dicaci, dihujat para penerbit dan penulis yang dirugikan secara ekonomis dan dilecehkan hak intelektualnya.
Namun di sisi lain, buku-buku bajakan dianggap "berkah" bagi konsumen tertentu. Dengan kata lain, buku-buku bajakan sangat dicari di pasaran oleh para konsumen, utamanya oleh para mahasiswa dan pelajar yang kondisi ekonominya pas-pasan. Harga buku asli yang teramat mahal membuat golongan ini sangat sulit untuk membelinya. Di sinilah buku-buku bajakan memberi jalan keluar yang amat jitu untuk mengatasi persoalan daya belinya. Misalkan harga sebuah kamus asli berkisar Rp. 100.000,00, versi bajakannya bisa separohnya.
Pembeli yang berkantong tipis tntu akan memilih versi yang bajakan. Harganya sangat murah, bentuk penampilan dan isinya sama. Yang membedakannya hanyalah kualitas cetakannya saja. Itu pun bedanya tipis sekali. Tentu saja, walau menguntungkan beberapa pihak, keberadaan buku-buku bajakan tak bisa ditoleransi begitu saja. Perlu ada upaya-upaya efektif untuk menanggulangi atau minimum membatasinya. Beberapa upaya yang bisa dilakukan itu antara lain dengan pengurangan atau penghapusan pajak buku. Selama ini, untuk buku praktis dikenai tiga kali pajak pertambahan nilai (PPN). Yaitu pajak bahan baku kertas, pajak untuk biaya cetak, dan pajak penjualan. Dengan beban ketgiga pajak itu harga buku tentu saja sukit untuk ditekan, karena penerbit tak mau merugi, maka sebagian besar beban pajak itu dilimpahkan pada konsumen dengan jalan menaikkan harga buku. Jika pajak buku ini dikurangi,secara otomatis buku-buku di pasaran akan murah. Dengan sendirinya konsumen tak perlu lagi melirik buku-buku bajakan.
Yang tidak kalah pentingnya pendistribusian buku. Distribusi buku secara nasional harus merata. Untuk itu perlu jalinan yang lebih mesra di antara penerbit, utamanya penerbit nasional dan penerbit lokal. Dengan upaya ini pendistribusian buku akan lebih efektif dan harga buku akan lebih terjangkau. Kedua upaya ini harus diikuti dengan serius oleh para penegak hukum untuk lebih proaktif menindak pembajak. Perlu tindakan terus menerus untuk mengusut mafia pembajakan buku. Dengan upaya ini kita bisa berharap dunia perbukuan kita semakin hidup, semakin diminati dan dinikmati semua lapisan masyarakat. Itu berarti akan lahir generasi-generasi yang tercerahkan oleh buku. Reading society yang kita impikan pun akan segera terwujud. n
* Tjahjono Widarmanto, penyair dan pengajar, tinggal di Ngawi
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 15 September 2012
No comments:
Post a Comment