-- Maman S Mahayana
PUISI ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dikaitkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan.
Tidak jarang pula, puisi membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi. Puisi-puisi yang memamerkan logika jungkir balik adalah satu contoh. Ada pula penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri penyairnya sendiri. Meski begitu, pembaca toh tetap saja seolah-olah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa estetik tersentuh (aesthetic contact).
Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi, sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau, misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana... yang dikutip dari puisi Sapardi Djoko Damono.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam puisi.
***
Entah kapan saya pertama kali membacai puisi ‘’Tempuling’’ karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada semacam panggilan untuk membaca dan membacainya kembali. Dan selalu lagi, ada sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan atau terkadang muncul tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk puisi yang berjudul ‘’Tempuling’’ itupun, seperti lesap begitu saja lantaran tangan mengklik file lain dari folder yang lain. Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis, di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K Liamsi.
Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, ‘’Ode X’’ (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting seperti -sekadar menyebut beberapa -Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza atau Sutardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS, Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Dawood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan. Lalu, cukup lama namanya senyap.
Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang mengingatkan pada makanan tradisional, dadar guling. Tempuling, makhluk apakah gerangan?
Meski terlalu banyak kosa-kata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan. Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm. 1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad Rangkuti- yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini Indonesia Indah, 28 Agustus 2008 -bertanya tentang makna kata tempuling.
Secara harfiah, ada pemahaman tentang kata itu. Tetapi secara filosofi, maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin. Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk ‘’Tempuling’’ itu laksana melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing.
Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian, melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan yang direpresentasikan atas nama Raja dan penguasa, reputasi dan keagungan puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan hanya kematian yang dapat memisahkannya.
Kembali, makhluk ajaib yang bernama puisi bertajuk ‘’Tempuling’’ itu seperti di-cancel lantaran tangan mengklik file lain.
***
Pada akhir Agustus 2009, saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling, terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya dan saya berkesempatan membongkar-bongkar file lama tentang puisi ajaib yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai!
***
Tempuling
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah
menyerah?
Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
Yang jauh dan ngilu
Diantara cuaca
Dan gemuruh karang
Sebatang tempuling tersadai
di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah
: Tuhan
Diakah kini yang telah
menyerah?
telah kalah?
: Tuhan
Dia memang telah berbisik
Pindahkan pancang
sebelum pasang
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap
Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
: Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.
Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai. Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi, dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair kita?
Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah, dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang. Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak. Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan begitu, tempuling -tombak pendek- itu masih mungkin digunakan lagi (untuk menangkap ikan besar).
Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) atau mandau (Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikuti laju ikan berenang, kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian, keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara!
Ingat saja, bagaimana nelayan tua -dalam novel Lelaki Tua dan Laut -Ernst Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya, siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu lalu membawanya pulang. Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan sejati, sebagai jawara. Meski hiu raksasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi, profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi masyarakat akan datang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi atas profesinya itu.
Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabisbadai// mengisyaratkan sebuah kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya. Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka, keluarga si nelayan dan masyarakatnya akan menempatkan tempuling yang tersadai itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid!
Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi, sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir, apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise. Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang bercerita tentang pantai dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai), seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu.
Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi, punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut maha luas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang maha luas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah ‘serpih’ yang tersisa di antara deretan gigi itu. Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai mengesankan semacam sisa atau serpih muntahan mulut alam yang bernama laut.
Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi seperti di bawah ini. Tentu itu juga bukan tanpa alasan.
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa sebelum keterangan sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai -mulut alam- yang bernama laut.(bersambung)
Seoul, 17 September 2012
Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 September 2012
PUISI ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dikaitkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan.
Tidak jarang pula, puisi membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi. Puisi-puisi yang memamerkan logika jungkir balik adalah satu contoh. Ada pula penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri penyairnya sendiri. Meski begitu, pembaca toh tetap saja seolah-olah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa estetik tersentuh (aesthetic contact).
Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi, sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau, misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana... yang dikutip dari puisi Sapardi Djoko Damono.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam puisi.
***
Entah kapan saya pertama kali membacai puisi ‘’Tempuling’’ karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada semacam panggilan untuk membaca dan membacainya kembali. Dan selalu lagi, ada sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan atau terkadang muncul tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk puisi yang berjudul ‘’Tempuling’’ itupun, seperti lesap begitu saja lantaran tangan mengklik file lain dari folder yang lain. Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis, di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K Liamsi.
Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, ‘’Ode X’’ (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting seperti -sekadar menyebut beberapa -Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza atau Sutardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS, Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Dawood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan. Lalu, cukup lama namanya senyap.
Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang mengingatkan pada makanan tradisional, dadar guling. Tempuling, makhluk apakah gerangan?
Meski terlalu banyak kosa-kata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan. Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm. 1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad Rangkuti- yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini Indonesia Indah, 28 Agustus 2008 -bertanya tentang makna kata tempuling.
Secara harfiah, ada pemahaman tentang kata itu. Tetapi secara filosofi, maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin. Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk ‘’Tempuling’’ itu laksana melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing.
Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian, melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan yang direpresentasikan atas nama Raja dan penguasa, reputasi dan keagungan puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan hanya kematian yang dapat memisahkannya.
Kembali, makhluk ajaib yang bernama puisi bertajuk ‘’Tempuling’’ itu seperti di-cancel lantaran tangan mengklik file lain.
***
Pada akhir Agustus 2009, saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling, terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya dan saya berkesempatan membongkar-bongkar file lama tentang puisi ajaib yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai!
***
Tempuling
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah
menyerah?
Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
Yang jauh dan ngilu
Diantara cuaca
Dan gemuruh karang
Sebatang tempuling tersadai
di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah
: Tuhan
Diakah kini yang telah
menyerah?
telah kalah?
: Tuhan
Dia memang telah berbisik
Pindahkan pancang
sebelum pasang
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap
Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
: Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.
Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai. Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi, dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair kita?
Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah, dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang. Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak. Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan begitu, tempuling -tombak pendek- itu masih mungkin digunakan lagi (untuk menangkap ikan besar).
Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) atau mandau (Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikuti laju ikan berenang, kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian, keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara!
Ingat saja, bagaimana nelayan tua -dalam novel Lelaki Tua dan Laut -Ernst Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya, siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu lalu membawanya pulang. Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan sejati, sebagai jawara. Meski hiu raksasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi, profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi masyarakat akan datang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi atas profesinya itu.
Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabisbadai// mengisyaratkan sebuah kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya. Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka, keluarga si nelayan dan masyarakatnya akan menempatkan tempuling yang tersadai itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid!
Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi, sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir, apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise. Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang bercerita tentang pantai dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai), seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu.
Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi, punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut maha luas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang maha luas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah ‘serpih’ yang tersisa di antara deretan gigi itu. Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai mengesankan semacam sisa atau serpih muntahan mulut alam yang bernama laut.
Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi seperti di bawah ini. Tentu itu juga bukan tanpa alasan.
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa sebelum keterangan sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai -mulut alam- yang bernama laut.(bersambung)
Seoul, 17 September 2012
Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 September 2012
No comments:
Post a Comment