Monday, November 26, 2007

MengenangIn Memoriam: Prof Dr Parsudi Suparlan, Antropologi untuk Indonesia

-- Amich Alhumami*

PARSUDI Suparlan, antropolog Indonesia generasi kedua itu telah berpulang. Ia diketahui meninggal di rumahnya, Kamis, 22 November 2007, oleh polisi yang akan menjemputnya untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Di kalangan ahli antropologi, Parsudi dikenal sebagai ilmuwan berkaliber yang sangat kuat memegang prinsip-prinsip keilmuan. Bersama sang guru, Prof Dr Koentjaraningrat, ia berjasa dalam merintis dan memberi kontribusi besar dalam pengembangan ilmu antropologi di Indonesia.

Parsudi adalah seorang anthropologist by training karena ia memperoleh pendidikan lengkap dalam disiplin ilmu antropologi. Ia lulus sarjana (1964) dari Universitas Indonesia, MA (1972) dan PhD (1976) dari University of Illinois at Urbana-Champaign, USA. Sebagai ilmuwan terpandang, Parsudi mempunyai reputasi akademis menawan dan mendapat pengakuan internasional, seperti terlihat dalam keanggotaan di berbagai asosiasi profesional tingkat dunia. Parsudi adalah antropolog Indonesia yang menjadi anggota International Advisory Board of Anthropological Forum, sebuah jurnal ilmiah prestisius yang diterbitkan Routledge, London, dan Anthropology and Sociology, The University of Western Australia.

Banyak karya akademis Parsudi yang telah diterbitkan baik di dalam maupun luar negeri, antara lain The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of Indonesia (Southeast Asia Program Publications, Cornell University, 1974), Ethnic Groups of Indonesia (The Indonesian Quarterly, 1979), Culture and Fertility: The Case of Indonesia (ISEAS, 1980), The Increase of Land Value and its Impact on the Emergence of Conflicts (Institute of Social Studies, The Hague, 1981), Kemiskinan di Perkotaan (Sinar Harapan, 1984), The Javanese Dukun (Peka Pablications, 1991), The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural Society (Arizona State University Press, 1995), Orang Sakai di Riau (Yayasan Obor Indonesia, 1995), dan puluhan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal, termasuk Jurnal Antropologi Indonesia. Parsudi juga menulis kata pengantar magnum opus Clifford Geertz Santri, Abangan, Priyayi (Pustaka Jaya, 1983).

Dari karya-karya ilmiah yang sudah dihasilkan, Parsudi tampak mendalami banyak aspek kajian dalam ilmu antropologi. Antropologi bukan lagi disiplin ilmu kuno yang khusus mengkaji kebudayaan dan masyarakat primitif, melainkan ilmu modern yang membahas banyak aspek dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Bahkan antropologi memberi perspektif yang sangat luas dan komprehensif dalam suatu kajian ilmiah yang bersifat mulidisipliner. Untuk konteks Indonesia, kajian etnografi yang lazim digunakan dalam tradisi antropologi, seperti The Religion of Java (1960), Agricultural Involution (1963), Peddlers and Princes (1963), atau Negara: the Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980) yang lahir dari buah pikiran antropolog masyhur, Clifford Geertz, jelas melampaui disiplin ilmu pokoknya. Sebab, keempat karya akademis tersebut bukan hanya berkontribusi dalam analisis ilmiah di bidang antropologi, melainkan juga meletakkan dasar pijakan dan memberi landasan yang kukuh dalam kajian akademis untuk disiplin ilmu lain, seperti politik, sosiologi, sejarah, ekonomi, dan pertanian.

Bayangkan, satu disiplin ilmu mampu memberi corak dan warna yang sangat kuat dalam suatu kajian ilmiah yang bersifat multidisiplin yang demikian kompleks. Sarjana ilmu politik yang hendak mendalami dinamika politik Indonesia modern mustahil mengabaikan The Religion of Java.

Sarjana sosiologi pembangunan atau ekonomi pertanian yang ingin mendalami proses evolusi kegiatan perekonomian dan tradisi pertanian di masyarakat Indonesia tak mungkin melewatkan begitu saja Agricultural Involution dan Peddlers and Princes. Sarjana sejarah yang ingin meneliti sejarah sosial-politik dan kekuasaan di Indonesia akan sangat terbantu dengan merujuk Negara: the Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Dalam dunia ilmu-ilmu sosial, keempat hasil studi antropologis tersebut menjadi rujukan standar karena memberi kontribusi signifikan terhadap kajian akademis lintas-disiplin ilmu.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, sangat jelas antropologi telah memberi sumbangan penting dan berharga dalam upaya memahami kompleksitas masyarakat, menawarkan analisis atas masalah-masalah sosial, dan mendalami kebudayaan umat manusia dalam konteks waktu dan sejarah yang melingkupinya.

Dengan fokus pada masyarakat dan kebudayaan, antropologi berupaya merekam, menginterpretasi, dan memahami situasi kehidupan keseharian masyarakat yang dikaitkan dengan pola-pola interelasi dengan bidang ekonomi, politik, teknologi, sistem sosial, simbol-simbol dalam bahasa, alam pikiran, bahkan ideologi yang dianut masyarakat bersangkutan. Secara lebih khusus, antropologi berupaya melakukan kajian dan pemahaman atas keragaman kebudayaan umat manusia dan mendalami sistem makna, norma dan nilai, serta tingkah laku yang menjelma dalam tradisi, adat-istiadat, budaya, dan kelembagaan sosial.

Dalam konteks pembangunan nasional di Indonesia, antropologi sesungguhnya dapat memainkan peranan sentral, terutama dalam menjembatani antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Pembangunan sejatinya dimaksudkan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi pembangunan justru acap kali menciptakan kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, marginalisasi, dan deprivasi sosial.

Berbagai konflik sosial yang muncul di masyarakat beberapa tahun terakhir sesungguhnya merupakan ekses semata dari pilihan strategi dan kebijakan pembangunan yang cenderung mengabaikan local knowledge yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dalam hal ini, antropologi dapat memberi saran, masukan, dan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan publik, terutama ketika merumuskan program-program pembangunan agar bisa diimplementasikan di masyarakat dengan tetap menghargai hak-hak sosial dan budaya masyarakat yang merujuk pada local knowledge tersebut. Untuk itu, para ahli antropologi perlu terus-menerus memberi pemahaman bahwa pembangunan bukan hanya masalah ekonomi dan karena itu perencanaan pembangunan semestinya bukan hanya urusan para ekonom semata.

Dalam konteks itulah, Parsudi Suparlan berupaya mengembangkan spesialisasi kajian dalam disiplin ilmu antropologi yang diharapkan bermanfaat bagi pembangunan nasional. Selain antropologi sosial dan antropologi budaya, di Indonesia sekarang telah berkembang kekhususan kajian antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi agama, antropologi pembangunan, antropologi lingkungan, antropologi linguistik, dan banyak lagi.

Sebagai ilmuwan, Parsudi telah mendedikasikan sepenuh kehidupannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menekuni kegiatan ilmiah dan sosial, seperti penelitian, pengajaran, dan pengabdian pada masyarakat. Dengan academic credentials yang hampir sempurna, mungkin tak terlalu berlebihan bila Parsudi disebut sebagai a paragon of teaching, research, and service in Indonesia's academia.

Parsudi jelas sangat berjasa dalam mengukuhkan antropologi sebagai disiplin ilmu dan kajian dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Siapa pun tak mungkin dapat memahami masyarakat dan kebudayaan suatu bangsa tanpa bantuan ilmu antropologi. Dalam konteks demikian, antropolog Indonesia generasi baru harus tampil lebih agresif di pentas nasional sekaligus membuktikan ilmu antropologi dapat memainkan peranan penting dalam pembangunan bangsa untuk mengantarkan masyarakat dan bangsa Indonesia mencapai kemajuan di masa depan.

Selamat jalan Prof Dr Parsudi Suparlan, semoga ilmu pengetahuan dan pengabdian yang telah engkau berikan menjadi amal saleh yang diterima Allah SWT dan memberi syafaat di hari perhitungan.

* Amich Alhumami, Peneliti sosial, Departement of Social Anthropology, Universitas of Sussex, United Kingdom

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 27 November 2007

No comments: