-- AJ Susmana*
PASCAKEDIKTATORAN Orde Baru jatuh, diakui bahwa kehidupan seni dan budaya pun menemukan ruangnya lebih luas, lebih lebar, dan lebih menjanjikan kebebasan untuk berekspresi. Front kebudayaan yang memperjuangkan kebebasan berekspresi bagi para pekerja seni dan budaya tak lagi masif seperti di zaman Orde Baru. Di masa Orde Baru, kaum buruh yang tak memiliki kebebasan mendirikan serikat buruhnya sendiri dapat bertemu dengan para seniman yang tak memperoleh ruang dan panggung ekspresinya. Tak heran bila pencekalan agenda kesenian dan kebudayaan bisa juga menyeret kaum buruh untuk terlibat. Demikian sebaliknya. Fase ini: "memperjuangkan kebebasan berekspresi" dianggap sudah selesai. Ekspresi-ekspresi kebudayaan via kehidupan berkesenian dari berbagai sumber ideologi pun bermunculan; mencari dan menemukan panggung-panggung untuk hak hidupnya. (Televisi, radio, koran, buku, internet, gedung-gedung kesenian maupun panggung-panggung jalanan) yang tak berideologi, hanya caci-maki atau cuap-cuap kebudayaan saja tak dilarang dan tak dipenjarakan. Tak ada yang berhak melarang dan mengontrol. Kontrol justru datang dari gesekan-gesekan antaraliran kebudayaan. Itu pun masih bisa dinegosiasikan, didialogkan dengan level yang lebih maju dari masa Orde Baru yang main gebuk, main larang, main cekal, main tangkap, dan tindakan antidemokrasi lainnya.
Rakyat sendiri bahkan juga telah menemukan kembali kekayaan demokrasi yang menjadi bagian dari kebebasan berekspresi dan telah menggenggamnya di tangannya yang sewaktu-waktu dan setiap saat dapat digunakan untuk membela kepentingannya sendiri, yakni aksi massa. (Seperti juga telah ditulis panjang lebar oleh Max Lane dalam bukunya Bangsa Yang Belum Selesai). Ini adalah langkah maju di bidang kehidupan budaya dan mental rakyat. Setidaknya ia telah menghancurkan budaya bisu akibat dari pemerintahan antidemokrasi Orde Baru. Aspek kemajuan lainnya adalah tumbuhnya kesadaran berorganisasi dan berpartai. Tak hanya rakyat yang tak bermodal tapi juga kalangan seniman, artis, dan selebritis yang biasanya menjauhi kehidupan politik. Di antara para artis bahkan tak lagi tabu turun ke jalan, memimpin demonstrasi, berpanas-panas bersama rakyat dan berorasi memperjuangkan hak. Buku-buku dari berbagai spektrum ideologi juga bisa kita dapatkan dengan lebih mudah. Akses internet untuk memperluas cakrawala kebudayaan atau berekspresi di dalamnya (milis, web, blog, friendster, chatting, >small 2small 0< dan sebagainya) juga dapat dijangkau dengan lebih mudah karena telah meluas sampai kota-kota kecamatan. Gangguan-gangguan untuk ini memang muncul tapi belum menjadi aktivitas yang signifikan. Gairah untuk mendorong kebebasan berekspresi dan demokratisasi masih lebih besar. Untuk itu (berbagai gesekan yang muncul) kita garis bawahi sebagai pertarungan demokratis dan sebisa mungkin diselesaikan melalui saluran-saluran demokratis dengan cara-cara demokratis juga.
Ruang kebudayaan yang luas, lebar, dan bahkan seakan tanpa batas dalam dunia maya internet kini hanya dibedakan orientasinya, keberpihakannya, arahnya, harapan, dan tujuan-tujuannya. Berbeda dengan Orde Baru yang menciptakan kosmologi budaya bisu dan sebagai antitesis adalah kehendak menghancurkannya, ruang kebudayaan kini dituntut lebih berisi dan bermakna dalam kepentingan-kepentingan baru walau esensinya masih sama: memperkuat kapitalisme atau melemahkannya. Kesadaran akan hilangnya aset-aset nasional atau kekayaan bangsa dan dengan mata telanjang bisa dilihat semakin jatuh ke dalam tangan-tangan asing karena proyek neoliberalisme membuat kesadaran budaya nasional dan mandiri tumbuh berhadapan dengan kebudayaan ofensif imperialis. Tak ragu bahkan jatuhnya pengusaha-pengusaha nasional (Hartati Murdaya dalam kasusnya dengan NIKE, misalnya) juga menjadi keresahan bangsa dan semakin meyakinkan bahwa kita memang perlu membangkitkan semangat kemandirian bangsa dan mewujudkan industri nasional yang tangguh.
Karenanya ruang kebudayaan tempat bermainnya para pekerja seni dan budaya di tengah situasi nasional seperti ini seharusnya dapat ditarik lebih luas atau melibatkan diri ke dalam kancah perjuangan rakyat dan nasional yang menuntut kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Adagium lama yang tak klise: rakyat adalah pemilik dan pembangun kebudayaan bisa dibenarkan di sini bila kita ingat juga bagaimana demokrasi yang tumbuh sekarang ini pun hasil dari gerakan rakyat yang menuntut kesejahteraan dan demokratisasi.
Dengan begitu betapa sempit pikiran kita bila ruang kebudayaan hanya kita maknai sebatas tumbuhnya geliat kebudayaan di gedung-gedung atau balai-balai seni budaya atau ruang-ruang kebudayaan di koran-koran minggu dan bila kita tak suka atau sakit hati karena tak ada akses ke sana lalu berusaha menumbuhkan kehidupan budaya yang sebangun dan setipe cuma tentu saja kurang modal. Walau demikian, untuk usaha itu tentu akan ada penghormatan tersendiri atas militansinya. Titik-titik kebudayaan itu sendiri memang muncul walau belum menjadi garis dan poros kebudayaan: setidaknya gairah pekerja seni dan budaya kalangan marjinal itu terus dihidupi dengan caranya sendiri.
Bila kita mau turun ke bawah di kalangan petani dan buruh, betapa kita akan dikejutkan bahwa kesenian petani dan buruh (dalam makna hiburan bahkan) terus hidup dengan caranya sendiri walau untuk itu sering caranya diangggap dekaden dan hanya mengumbar nafsu (seperti gaya goyang erotis Suci, penyanyi dangdut dari Group Sanjaya, Blora, misalnya). Itu pun honor berkeseniannya tak terlalu tinggi, sama seperti para pekerja seni dan budaya lainnya: semisal penulis dan penyair yang berjumlah banyak tapi terus gentayangan seperti "ronin" mengembara dan mengetuk meja-meja redaksi kebudayaan; meminta atau menodong pojok kebudayaannya untuk beristirahat sejenak kalau tak diberi, caci-maki dan umpatan boleh disampaikan untuk membuang kesal. Yang lebih mengerikan bahkan kadang honornya lupa diberikan atau kecilnya honor yang membuat bingung untuk memilih beli buku baru sebagai makanan rohaninya atau beras untuk "cacing-cacing" di perutnya. Sementara itu kita ketahui juga, di kota-kota besar, akan dipahami bagaimana kaum buruh yang beruntung (karena bergaji lebih dari cukup, lihat juga film Nagabonar Jadi 2) menari atau menari seadanya di lantai- lantai diskotek atau menyanyi di ruang-ruang karaoke yang menjamur di kota-kota besar sampai menjelang pagi sekadar mencari oase atau sekadar melepas lelah. Orang boleh menyebutnya eskapisme. Tapi itulah kenyataan budaya yang kita hadapi. Dan itu pun ruang kebudayaan yang disediakan oleh kapitalisme, dengan musik-musiknya, penyanyinya, lampu-lampunya, iramanya, makanannya, minumnya, dan selera estetiknya.
Di manakah ruang kebudayaan? Tak perlu bingung mencari dan menemukannya. Anda bahkan boleh memilih kamar ruangnya sendiri bahkan pojoknya sendiri di ruang kebudayaan yang sudah dilebarkan dan diluaskan oleh gerakan rakyat antikediktatoran Orde Baru. Inilah demokrasi liberal dalam hal tertentu, bahkan Anda dapat bersembunyi dan membangun dunia dan regimnya sendiri. Bila Anda "bunuh diri" di salah satu pojok kamarnya, mungkin juga orang tak peduli.
* AJ Susmana, Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi
Sumber: Kompas, Minggu, 04 November 2007
No comments:
Post a Comment