Ketika Desember 1966 Claudine Salmon tiba di Jakarta bersama suaminya, Prof Denys Lombard, dia tidak merencanakan sejak awal untuk melakukan penelitian mengenai masyarakat dan kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia.
"Saya tidak merencanakannya dari awal. Tetapi, suami saya ditugaskan di Jakarta untuk tiga tahun dan saya belum memiliki pekerjaan. Saya berpikir, apa yang bisa saya kerjakan di Indonesia. Jadi, saya mulai belajar bahasa Indonesia dan juga bahasa Belanda secara pasif. Saya mulai baca buku-buku tentang kelenteng dan datang ke kelenteng. Kelenteng adalah tempat umum, orang datang bukan hanya untuk bersembahyang, tetapi juga untuk saling bertemu dan berbicara dengan siapa saja. Jadi, di sana saya mendapat kesempatan awal untuk mengenal masyarakat Tionghoa di Indonesia sedikit demi sedikit," kenang Claudine saat kami menemuinya Senin (22/10) siang. Prof Denys Lombard ditugaskan menjadi perwakilan Ecole Français d’Extréme Orient di Jakarta, menggantikan Prof C Damais.
Tinggal di Jakarta memperluas bidang kajian Claudine yang semula berfokus pada Tiongkok. Claudine yang dibesarkan di Desa Bruyéres, Pegunungan Vosges, Perancis Timur, mengaku sejak muda sangat tertarik pada kebudayaan Tiongkok.
"Tetapi, orangtua saya kurang setuju. Menurut mereka, belajar mengenai Tiongkok tidak dapat menjamin hidup saya kelak. Ada benarnya karena perhatian orang lebih banyak pada sejarah Eropa. Mereka ingin saya belajar hukum," tutur Claudine yang berbahasa Indonesia dengan sangat baik.
Claudine Salmon akhirnya menyelesaikan studi bahasa Tionghoa di Ecole Nationale des Langues Orientales (ENLO), Paris, dan studi hukum di Faculté de Droit, Universitas Sorbonne, dan kemudian meraih gelar doktor pada tahun 1970. Saat belajar di ENLO itulah, Claudine bertemu Lombard yang belajar di tempat yang sama. Tahun 1963 mereka menikah.
"Terasa sekali saya kehilangan teman bertukar pikiran. Kami belajar bahasa Tionghoa di sekolah yang sama, sama-sama ke Tiongkok, lalu saya ikut Jakarta dan belajar bahasa Indonesia. Jadi, kami banyak bekerja bersama meskipun juga ada perbedaan. Selain belajar mengenai Indonesia, saya juga belajar sedikit mengenai Vietnam dan Tiongkok. Boleh dibilang kaki saya yang satu di Indonesia, satunya lagi di Tiongkok. Sedangkan suami saya lebih banyak meneliti Indonesia," kata Claudine yang tinggal di kawasan Paris 15 dan kerap bersepeda ke kantornya di Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah (CNRS).
Terus menulis
Claudine juga tidak imun terhadap gerakan feminisme. Dia sempat mengikuti aktif gerakan ini pada masa mudanya. Karena itu dia punya kritik pada industri mode—industri besar di Perancis—yang membentuk citra perempuan dari kacamata laki-laki. Uniknya, ketika kecil dia bercita-cita menjadi penjahit. "Penjahit haute couture," katanya diiringi tawa. Haute couture atau adibusana adalah jantung pembentuk citra mode Perancis yang membuat negara ini dianggap sebagai kiblat mode dunia.
Hingga kini Claudine masih rajin menulis karya ilmiah meskipun kebanyakan mengambil sumber sekunder. Bila ada kesempatan dia masih bepergian ke Asia Timur. Kesempatan menerima penghargaan Nabil Award kali ini juga dia manfaatkan untuk berkunjung ke Manado, Sulawesi Utara.
"Sudah lama sekali saya tidak ke sana. Saya ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang," kata dia. (Ninuk M Pambudy/ Maria Hartiningsih)
Sumber: Kompas, Minggu, 04 November 2007
No comments:
Post a Comment