Sunday, November 25, 2007

Sastra: Generasi Penentu

-- Radhar Panca Dahana*

BEBERAPA saat sebelum sebuah panel diskusi antara saya dengan Prof Fuad Hasan yang membicarakan “pengaruh eksistensialisme dalam puisi-puisi Sitor Situmorang”, sang penyelenggara acara, Mohamad Sobary, yang saat itu masih menjabat Direktur Kantor Berita Antara, mengundang kami bertiga ke ruang kerjanya.

Saya datang lebih dulu dan langsung memamah biak. Beberapa menit kemudian, datanglah sang profesor diikuti satu gadis remaja. Obrolan hangat tercipta, hingga sang profesor akhirnya mengeluarkan sebuah “keluhan”, yakni menyesalkan sang cucu—yang dibawanya serta—sangat mengenal tokoh-tokoh sastra dunia, dari Homerus hingga James Joyce, tapi ternyata tidak tahu sama sekali siapa itu Sitor Situmorang

Untuk itu, ia mengajaknya ikut diskusi untuk berkenalan dengan sastrawan terkemuka Indonesia itu. “Ia perlu mengenal kebudayaannya sendiri, sebelum tahu kebudayaan lainnya,” begitu kira-kira tegas sang profesor. Sambil tetap memamah biak dan coba tersenyum, saya mengatakan “lumrah saja”, bila anak zaman sekarang lebih mengenal Salman Rushdie ketimbang Arswendo Atmowiloto karena begitulah kenyataan dunia informasi yang dimilikinya.

Bila dahulu, generasi kami sangat terbatas dalam mengakses informasi, katakanlah dua–tiga buku baru tiap minggu, saat ini seorang remaja bisa mengakses jutaan judul buku hanya dengan satu ketukan tuts keyboard dan satu menit proses researching via internet. Dalam dunia seperti itu, lumrah bila nama James Joyce atau Toni Morisson yang pengarang, berpuluh kali lebih sering muncul ketimbang Sitor bahkan Pramoedya.

Dengan miliaran digit info yang terakses kilat dan kemampuan bahasa Inggris yang memadai, seorang remaja lebih memosisikan diri sebagai warga dunia ketimbang penduduk satu negara saja.Teknik membacanya yang jauh lebih cepat dari ayah apalagi generasi kakeknya—lebih dengan cara memindai ketimbang mengeja data— mendorongnya untuk lebih menetapkan preferensinya pada simbol/nama yang lebih kerap/kuat munculnya.

Saya sungguh tak menyangka bila pertimbangan saya tersebut menyulut debat yang terlalu cepat panas sebelum diskusi sesungguhnya dimulai. Bahkan, hingga sang profesor “terpaksa” menggunakan sentimen senioritas untuk “menundukkan” lawan debatnya. Satu cara yang hampir saja melunturkan respek saya pada tokoh yang sejak awal SMP menjadi acuan utama saya dalam membaca filsafat, terutama lewat bukunya, Berkenalan dengan Eksistensialisme.

Generasi Pos Orde Baru

Tapi tentu saja, saya tak membiarkan diri hanyut dalam emosi. Mengenali reputasi, jasa, dan kontribusi profesor yang belakangan terdengar sakit itu, saya mundur. Perhatian saya justru teralih pada sang cucu. Pada sebarisan remaja atau anak muda yang lahir di dekade 70-an dan 80-an.

Pada mereka yang baru sepuluh tahun belakangan menyadari dampak sosial budaya dari apa yang dilakukan Orde Baru (Orba) sebelum kejatuhannya di 1998. Generasi ini dapat dikatakan secara relatif “bersih”, dalam makna terhindar dari toksinasi atau kontaminasi virus kultural Orba yang mengerdilkan kepribadian. Sebuah kanvas relatif kosong untuk dapat disebut warna-warni masa depan.

Tapi, mereka juga satu generasi yang rapuh dan rentan untuk diombang-ambingkan kemauan dan ketamakan dunia global. Bagaimanapun nasib mereka di masa depan, saat ini kita sebenarnya menjadi saksi lahirnya sebuah generasi dengan potensi dan kemampuan adaptasi yang belum pernah dimiliki generasi-generasi sebelumnya.

Mereka yang berusia di akhir remaja dan likuran ini menampilkan diri dengan berbagai kejutan dan kemampuan fenomenal,tapi dengan sikap yang lebih tawadu, lebih komprehensif, sebagian bahkan lebih prihatin. Mereka muncul sebagai mangkuk kesadaran tentang getir dan nadir nasib kemanusiaannya, sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Mereka adalah tipe sosial baru yang tidak lagi merasa dapat menggenggam sejarah dan tradisi, sebagai sumber kekuatan mereka, juga tidak pada generasi ayah dan kakek mereka. Namun, melulu pada diri mereka sendiri. Keadaan telah mendudukkan diri mereka pada posisi yang sangat independen, walau memang mereka belum mengetahui hendak dibawa ke mana independensi itu, bahkan untuk apa atau kenapa independensi itu ada pada mereka.

Mereka kini seperti omnivora yang tak hentinya mengunyah. Melihat dunia di sekelilingnya yang begitu riuh, carut-marut, bahkan khaotik dengan kelaparan hati dan pikiran tak terpermanai. Mereka ambil semua, masukkan ke mulut,mengunyah dan mencernanya sehingga metabolisme spiritual, intelektual, dan fisikalnya kemudian memproduksi sesuatu, entah itu tenaga atau limbah ekskresi budaya.

Lalu,siapa menyangka bila Anda yang telah memasuki 40 tahun ke atas menjumpai beberapa dari mereka menguasai jauh lebih banyak data, lebih kuat kemampuan analisisnya, lebih jembar komprehensifnya, kadang jauh lebih mengejutkan kesimpulan-kesimpulan atau postulasinya.

Maka, dapatkanlah seorang penyair muda yang merangkum semua sejarah puisi dalam pikiran dan karyanya. Menangkap, merenung, dan mengontemplasi sebuah khasanah global sejak kalangwan kuno, Hamzah Fansuri, hingga TS Elliot atau Derek Walcott. Atau esais yang menjelaskan dengan jernih dan sederhana kesalahan pemahaman kita tentang kapitalisme Adam Smith. Ilmuwan fresh graduate Universitas Islam Negeri yang dengan penuh gairah mempertanyakan semua kitab suci di atas bumi atas proposisi-proposisinya tentang wanita.

Bahkan, bisa saja politikus muda yang senyum-senyum bijaksana mendengar pertikaian hebat antardua kandidat kepala pemerintahan. Terbayangkah Anda, seorang pelajar putri di akhir kelas tiga SMP Jakartanya, melahirkan trilogi novel @ 500-an halaman, berisi renungan filsafat dan ketuhanan sejak era Yunani Purba,bangsa Moor,China kuno, hingga filsafat mutakhir yang berkembang di Paris?

Tanpa satu pun kesalahan ejaan, kutipan, atau kekeliruan pemahaman.Apa yang terjadi pada kita, Anda, wahai orangtua, saat Anda baru saja mengenal nikotin di bibir atau stensilan Valentino, atau satu–dua istilah tentang Galileo dan paleontologi?

Biarkan Terbang

Dalam tantangan hidup mutakhir, yakni seseorang atau sebuah bangsa tak dapat lagi berlindung di balik pagar atau demarkasi politis, geografis, bahkan kulturalini, hanya merekalah yang tidak buntu dan beku pikiran, agama, atau ideologinya yang dapat bertahan.

Hanya mereka yang mampu membebaskan diri kerangkeng sempit nasionalisme, etnisitas, bahkan keketatan demografislah yang berhak hidup di situasi hidup itu di masa depan. Dunia kini bergerak ke arah penyatuan- penyatuan yang bersifat permanen, semua batas-batas nasional dan regional—dengan segala macam perangkat lunaknya—gugur satu persatu.

Kini tiada lagi pembeda dan penghalang, baik secara ekonomi, politis, ideologis maupun agamis di antara Chin Hua di Singapura, Somsak di Thailand, dan Narto di Purworejo, bahkan N’kono di Nairobi untuk mengidentifikasi diri. ASEAN dalam kerangka AFTA tinggal sehitungan jari merealisasi kenyataan yang sudah terjadi di Uni Eropa dan NAFTA itu.

Belahan Asia Barat, Afrika Utara,danAsia Tengah segera menyusul. Apakah kita masih akan memberi pintu, kursi, dan peluang untuk mereka— generasi-generasi—yang masih mempertahankan dunia kuno yang koruptif, manipulatif, dan eksploitatif dalam pikiran,mentalitas,atau perilaku mereka? Akankah negeri dari sebuah bangsa ini membiarkan diri menerima bencana atau petaka peradaban,dengan melalaikan potensi dan kekuatan generasi penentu ini?

Seorang novelis muda kota Malang, dengan rileks menjawab pertanyaan normatif yang saya ajukan, “Apa arti Indonesia bagimu?”dengan menyatakan,“Ia hanya bermakna tempat, koordinat, saya memiliki nomor identitas, KTP! ”Sebagai orang Jawa, baginya “Indonesia” adalah sebuah masalah besar. Sementara untuk mengerti “Jawa” saja, ia—yang berbahasa Jawa sehari-hari—harus sungguh-sungguh belajar mengenai kata itu.

Kesadaran ruang, waktu, dan identifikasi diri semacam ini adalah perkembangan yang jika tidak revolusioner, radikal bagi Indonesia, hanya dalam hitungan satu–dua dekade belakangan dan perlahan ia akan membentuk arus.

Arus besar yang melanda pokok-pokok pohon tua di sisi bantarannya.Menumbangkan dan menyeretnya hingga kemudian hilang di laut. Lalu, mengapa kita tidak membiarkannya lewat? Atau bahkan melapangkan jalan untuknya. Untuk mereka,generasi penentu.(*)

* Radhar Panca Dahana, Esais dan budayawan

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 25 November 2007

No comments: