(Refleksi Ulang Tahun W.S. Rendra ke-72)
-- Achmad Fawaid*
"KEDUDUKAN saudara di negara yang kaya dan kedudukan bangsa saya di Dunia Ketiga, memang tidak menguntungkan bangsa saya. Saudara lebih menguasai pers internasional. Kekuatan pers kami tidak seberapa dibanding dengan kekuatan pers yang berada di pihak saudara. Tetapi hal itu tidak akan menyebabkan imperialisme moral saudara tidak akan dilawan. Dan bersamaan dengan itu, sekali lagi, rasa hormat kami juga sangat besar kepada iktikad baik yang sudah saudara jalankan terhadap rakyat yang lapar di Afrika. Yang saya tentang adalah ketidakadilan pada cara saudara menghukum negara saya. Begini, Bob: What is right is right, what is wrong is wrong, but I love my country."
Itu kutipan pidato Rendra yang disampaikan pada Jumpa Pers di Wisma Seni TIM pada 28 Desember 1985. Saat itu Rendra memang diminta untuk membacakan pidato dalam menanggapi kasus penghakiman Bob Geldof, seorang relawan asal Australia yang memberikan bantuan materil kepada rakyat kelaparan di Afrika, pada para pembajak kaset Indonesia yang sengaja menggandakan rekaman aktivitas Bob dari LIVE AID dengan tuntutan ganti rugi pajak.
Pidato Rendra yang bertajuk Surat Terbuka untuk Bob Geldof itu sebenarnya menggambarkan pembelaannya pada bangsa Indonesia karena telah dilecehkan secara moral oleh Bob. Rendra memang mengakui bahwa perilaku pembajakan kaset adalah suatu kesalahan. Tapi bukan Rendra namanya jika harus berpangku tangan saat ada orang yang sengaja menjadikan pembajakan kaset sebagai alasan untuk merendahkan martabat bangsanya, karena ia adalah penganut nasonalisme sejati.
Bahkan, dengan nada tinggi dan sinis, Rendra menyebut bahwa bangsa Indonesia justru telah menyumbangkan bantuan pada Afrika 150 ribu ton beras, lebih banyak dari apa yang sekadar disumbangkan Bob pada mereka. Rendra juga tidak peduli ancaman Bob yang membujuk Australia untuk memboikot turisme ke Indonesia karena, menurut Rendra, Indonesia toh tidak banyak mendapatkan hasil dari para turis tersebut. "Paling-paling yang sangat dirugikan adalah airlines dan hotel-hotel besar yang dikuasai oleh modal asing di negara saya," kata Rendra.
Begitulah Rendra, penyair, sastrawan, aktor, orator, dan sutradara teater asal Solo. Ia dilahirkan pada hari Kamis, 7 November 1935, sore pukul 17.05 di kampung Jayengan, Surakarta, Jawa Tengah. Nama lengkapnya Willibrodus Surenda Bhawana Rendra dan populer dipanggil W.S. Rendra. W.S.-nya diganti Wahyu Sulaiman oleh teman-temannya setelah ia masuk Islam pada 12 Agustus 1970. Penerima penghargaan Achmad Bakrie Award tahun 2006 bersama Arief Budiman (kategori sosial) dan Iskandar Wahidiyat (kategori kedokteran) tersebut saat ini tengah berdiri tegak dalam kapasitasnya sebagai penyair dengan kritik sosialnya yang pedas dan menukik. Begitu juga semangat Rendra untuk terus menjunjung tinggi emansipasi individu dan masyarakat.
Kepeduliannya pada kondisi sosial-kemanusiaan ini dapat dilihat dari karya-karya Rendra yang berseliweran di jagat kesesastraan Tanah Air. Simak saja karya besar Rendra yang telah diterbitkan, seperti Mempertimbangkan Tradisi (Esai, Gramedia Pustaka Utama, 1983), Memberi Makna pada Hidup yang Fana (Esai, Pabelan Jayakarta, 1999), Agenda Reformasi Seorang Penyair (Orasi Kebudayaan, Rakit, 1998), Deklarasi Agustus (Orasi Kebudayaan bersama Aep Saefullah Fatah, Teten Masduki, dan Anggito Ambimayu, Rakit, 1999), Rakyat Belum Merdeka (Orasi Kebudayaan, Pustaka Firdaus, 2000), Tuyul Anakku (Naskah Drama Anak-Anak, Kepel Press, 2000), Megatruh (Orasi Kebudayaan, Kepel Press, 2001), dan Rendra: Penyair dan Kritik Sosial (Esai, Kepel Press, 2001). Semua karya-karya tersebut nyaris berisi kritik sosial terhadap problematika sosial waktu itu--dan kadang masih relevan hingga sekarang.
Selain orasi, drama, dan esai, Rendra juga menulis puisi. Tentunya, kita dapat membayangkan betapa romansa pembelaan akan emansipasi kemanusiaan begitu kuat dalam setiap puisi-puisi penyair berjuluk Si Burung Merak ini. Tengoklah misalnya dalam puisi "Sajak Sebatang Lisong" (1978), "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!" (1970-an), dan "Potret Pembangunan dalam Puisi" (1980) sarat berisi muatan-muatan kegelisahannya tentang kondisi masyarakat modern yang tengah dilanda pencarian akan identitas diri.
Ironi Kemanusiaan di 'Zaman Rendra'
Rendra bisa dibilang sebagai salah satu--kalau tidak satu-satunya--penyair yang hidup dalam dua dunia berbeda: Barat dan Timur. Sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, Rendra menyelesaikan studinya di tempat kelahirannya (Solo). Ketika duduk di SMA pada 1952, berbagai puisinya telah dimuat dalam Gelanggang Siasat (ketika itu redaktur pelaksananya Rivai Apin). Bahkan, konon puisinya yang berjudul "Balada Atmo Karpo" dan "Paman Doblang" pada saat itu disebut-sebut sebagai puisi yang mampu menandingi balada-balada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca yang diterjemahkan Ramadhan K.H. Pascalulus dari SMA, ia kemudian melanjutkan belajarnya di New York University setelah beberapa tahun kuliah Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Gabungan dunia dan budaya yang berbeda tersebut, ditambah dengan penghayatan pada masalah-masalah sosial, membuat Rendra selalu berada dalam dilema dan paradoksa. Sejak masa muda, di mana Orde Baru masih begitu ambisius menyelesaikan proyeknya yang membabi buta: pembangunanisme, Rendra seringkali harus bertabah lantaran hasil seni dan teaternya dijadikan objek pembredelan rezim. Bengkel Teater yang dibangunnya pada bulan Oktober 1967 tak jarang merepotkan penguasa Orba waktu itu. Hingga pada akhirnya, lantaran kegigihan dalam menyuarakan hak asasi dan emansipasi manusia, Rendra bersama kelompok teaternya dilarang pentas selama tujuh tahun (1978--1985). Bahkan, ia juga pernah dijebloskan ke dalam penjara.
Dalam pertunjukan di TIM selepas dari penjara (1985), tepat saat ia membacakan sajak dan pidato tentang perlawanan pada Bob Geldof itu, Rendra masih berada dalam pengawasan penguasa, karena tetap dianggap sebagai "seniman berbahaya". Walaupun begitu, di mata tentara, Rendra dalam posisi yang "aman". Bukan karena semasa kecil ia bercita-cita jadi jenderal, tapi tentara percaya, sajak-sajak Rendra memperjuangkan akal sehat, kebenaran dan demokrasi (Republika, 13 November 2005).
Begitulah kondisi kemanusiaan yang dirasakan Rendra waktu itu. Mungkin karena ini pula, karya-karyanya selalu lahir dari kegelisahan sejarah bangsa Indonesia. Karya-karya Rendra seperti tidak mau lepas dari beban sejarah Orde Baru yang carut marut dan juga sering ditemukan pada era reformasi saat ini. Sejarah Rendra adalah sejarah emansipasi. Bukan hanya emansipasi masyarakat, tapi juga emansipasi kemanusiaan secara umum.
Buktinya, pada saat malam penganugerahan Bakrie Award (14-8-2006), Rendra yang mendapat kehormatan tersebut justru tidak berleha-leha dengan kesuksesannya sebagai penyair. Ia menjadikan malam itu sebagai kesempatan besar untuk menyuarakan keprihatinannya pada korban bencana Lumpur Lapindo dan mendesak tanggung jawab dari PT Lapindo Brantas, yang kebetulan adalah Keluarga Besar Bakrie sendiri.
Kata Rendra: "Tetap saya yakin bahwa keluarga Bakrie tidak akan berpangku tangan dalam hal ini. Keluarga Bakrie pasti akan mengerahkan segenap usaha untuk bertanggung jawab atas kecerobohan pekerja dan orang-orang di PT Lapindo Brantas. Emansipasi individu yang peduli akan kesetaraan hak hukum, hak sosial, dan hak politik antarsesama manusia harus dengan kesadaran bahwa kekuasaan modal, distribusi, dan energi, tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak dengan kebebasan yang romantis dan cengeng. Sebab, itu akan mengganggu kemaslahatan orang banyak."
Di saat ulang tahunnya yang ke-72 ini, semoga Rendra tetap melahirkan ide-ide besar (seperti dulu). Tak ada salahnya jika publik ingin membaca (lagi) karya-karyanya yang segar dan menggairahkan itu. Selamat ulang tahun, Mas Willy! Semoga selalu sehat dan kreatif.
* Achmad Fawaid, esais, bermukim di Yogyakarta. Akan menerbitkan buku The Spirit of Heteroglossia: Mengenal Mikhail Bakhtin dalam Jagat Kesusastraan Tanah Air (2008).
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 November 2007
No comments:
Post a Comment