Sunday, March 27, 2011

Perempuan dalam Cerita “Anak Durhaka” di Riau

-- Yulita Fitriana

CERITA Malin Kundang dikenal sebagai ikon cerita anak durhaka di Indonesia. Selain cerita tersebut, sebenarnya masih banyak cerita anak durhaka lainnya, seperti cerita “Batu Belah Batu Bertangkup” yang cukup dikenal karena cerita tersebut juga ada di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Aceh, Riau, Kepualuan Riau, Sumatera Selatan, bahkan cerita ini juga ada di Malaysia dan Brunai. Di Riau didapati cerita “Si Lancang”, “Si Umbut Muda”, “Rawang Tekuluak”, “Legenda Pulau Halang”, dan sebagainya.

Ketika hendak meneliti cerita anak durhaka, pikiran pertama yang terlintas adalah melihat cerita ini sebagai pengajaran bagi anak supaya jangan melawan kepada orang tua karena akan diganjar hukuman nantinya. Hal tersebut tentu saja tidak salah. Akan tetapi, di dalam tulisan ini, pembicaraan mengenai cerita anak durhaka ini dilihat dari perspektif lain, yaitu perspektif gender.

Di dalam feminisme, ada dikotomi male vs female yang merujuk pada aspek perbedaan biologis, alamiah, yang berhubungan dengan seks, dan dikotomi masculine vs feminine yang dihubungkan dengan aspek perbedaan psikologis dan kultural oleh masyarakat. Perbedaan male dan female (laki-laki dan perempuan) itu adalah sebuah kodrat yang sudah ditetapkan Tuhan. Hal itu tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Hal tersebut dapat dilihat pada keadaan bahwa perempuan itu mengalami haid, melahirkan, dan menyusui. Sementara secara umum, laki-laki lebih kuat secara fisik dari perempuan.

Namun dikotomi masculine dan feminine (maskulin dan feminim) dibentuk oleh manusia sendiri. Manusia, dalam hal ini masyarakat, membentuk citra tersendiri untuk laki-laki dan perempuan. Sistem patriarki yang kental di dalam masyarakat kita, bahkan masyarakat dunia, menyuburkan pandangan yang diskriminatif ini terhadap perempuan. Dengan demikian, jadilah laki-laki dilekati stempel sebagai orang yang logis, mengandalkan pikiran, pemberani, kuat secara fisik dan mental, tidak cengeng, dan sebagainya. Sebaliknya, perempuan dicap sebagai orang yang tidak logis, mengandalkan perasaan, penakut, cengeng, lemah, dan sebagainya. Tidak sampai di situ, pembedaan berlanjut pada pembagian ruang gerak laki-laki dan perempuan. Laki-laki bebas bergerak di luar rumah, sementara perempuan terkungkung dalam wilayah dapur dan tempat tidur (urusan-urusan domestik). Dominasi pemikiran bahwa perempuan itu makhluk yang lemah, membuat masih banyak masyarakat (tidak hanya laki-laki, bahkan perempuan pun masih banyak yang berpikir demikian) yang memilah-milah pekerjaan laki-laki dengan perempuan sehingga ada pekerjaan yang dianggap cocok untuk perempuan dan ada yang dianggap hanya cocok untuk laki-laki.

Kondisi yang demikian tidak hanya ada di dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan tersebut juga muncul di dalam cerita rakyat, termasuk yang bertema “anak durhaka”.

Bias Gender di dalam Cerita Anak Durhaka

Di dalam cerita mengenai anak durhaka itu terdapat tokoh utama laki-laki, seperti pada cerita “Si Lancang”, “Si Katan”, dan “Batang Tuake”, dan ada yang perempuan seperti pada “Rawang Tekuluak” dan “Si Umbut Muda”. Selain tokoh anak yang durhaka tersebut, ada pula tokoh ibu, dan di dalam cerita “Legenda Pulau Halang” ada juga tokoh bapak.

Tokoh-tokoh anak durhaka tersebut, baik laki-laki, ataupun perempuan mempunyai satu kesamaan, yaitu sifat durhakanya kepada orang tua. Akan tetapi, selain kesamaan tersebut, terdapat perbedaan dalam penggambaran bagi tokoh-tokoh tersebut. Penggambaran tersebut juga terlihat pada tokoh lainnya, yang dikaitkan dengan pencitraan terhadap tokoh perempuan dan laki-laki di dalam cerita tersebut.

Perbedaan Sifat

Di dalam cerita “Si Lancang”, “Legenda Pulau Halang”, tokoh anak durhakanya adalah seorang laki-laki. Sementara di dalam cerita “Rawang Tekuluak” dan “Si Umbut Muda” anak durhakanya diperankan oleh seorang perempuan.

Di dalam cerita yang mempunyai tokoh anak durhaka yang laki-laki, terlihat bahwa tokoh laki-laki yang rajin bekerja. Kesengsaraan hidup membuat mereka bekerja keras sehingga akhirnya berhasil mendapatkan hidup yang lebih baik secara materi. Untuk sukses, laki-laki harus rajin bekerja, harus mempunyai kemampuan atau keahlian. Lebih jauh, dapat ditafsirkan bahwa laki-laki mengandalkan kemampuan otaknya, kepintarannya, untuk mengatasi kesulitan hidupnya sehingga memperoleh keberhasilan.

Sementara tokoh-tokoh anak perempuan yang durhaka digambarkan sebagai tokoh pemalas, yang sukanya hanya berdandan saja. Tampaknya bagi perempuan, keberhasilan atau kesuksesan tidak diukur dari kemampuannya bekerja, tetapi dari kecantikannya. Mungkin, dengan kecantikannya, perempuan diharapkan akan memperoleh laki-laki yang sukses. Dengan demikian, kesuksesan seorang perempuan bergantung pada laki-laki, bukan dari usaha dan kerja keras perempuan tersebut.

Pada sebagian besar cerita yang bertema anak durhaka, ada tokoh ibu yang seorang janda, seperti pada cerita “Si Lancang” dan sebagian besar cerita “Batu Belah Batu Bertangkup”. Hanya sedikit cerita anak durhaka yang memunculkan kedua orang tua yang utuh, seperti pada cerita “Legenda Pulau Halang”. Pada cerita-cerita tersebut, tokoh ibu digambarkan sebagai sosok yang mengutuk si anak sehingga mendapat pembalasan atas kedurhakaannya. Mengapa tokoh ibu, yang diberi “tugas” mengutuk si anak? Mengapa bukan tokoh bapak, walaupun tokoh itu juga ada di dalam cerita?

Tampaknya hal tersebut tidak terlepas dari sifat yang dilekati pada perempuan, yaitu lebih mengandalkan perasaan. Karena mengandalkan perasaan, ketika menghadapi suatu masalah, dalam hal ini, penolakan terhadap eksistensinya sebagai ibu, tokoh ini kehilangan kontrol dan melakukan perbuatan yang “luar biasa”, yaitu mengutuk darah dagingnya sendiri. Hal itu pula yang membuat pada cerita “Batu Belah Batu Bertangkup”, si ibu yang tidak tahan menjadi kepala rumah tangga yang membiayai keluarganya, kemudian bunuh diri, masuk ke dalam batu.

Hal tersebut tidak diberlakukan pada tokoh bapak. Bapak, representasi laki-laki, digambarkan sebagai orang yang lebih mengandalkan rasio, akal sehatnya. Dengan demikian, walaupun ditolak oleh sang anak, dia tidak mengutuk sang anak. Dia lebih bisa mengontrol diri sehingga perbuatan tersebut tidak dilakukannya.

Perbedaan Peran dan Kesempatan

Di dalam cerita-cerita anak durhaka, tokoh laki-laki diperkenankan untuk mengubah nasib dengan pergi dari rumah. Mereka pergi merantau dengan restu orang tuanya. Hal itu terlihat pada cerita “Si Lancang” dan “Legenda Pulau Halang”. Sementara tokoh perempuan seperti pada “Rawang Tekuluak” dan “Si Umbut Muda” tidak pergi merantau. Bahkan ketika mereka harus keluar dari kampung mereka, mereka ditemani oleh ibunya.

Mengapa tidak ada tokoh perempuan yang pergi merantau untuk mengubah nasib, seperti tokoh laki-laki? Dari cerita ini dapat diketahui bahwa kesempatan perempuan untuk mengembangkan diri lebih terbatas dari pada laki-laki. Perempuan memang dipersiapkan bagi tugas-tugas domestik, seperti mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anaknya. Dia tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan diri di luar “tugas dan kewajiban”-nya di dalam rumah tangga. Hal ini menyebabkan tidak ada tokoh perempuan dalam cerita tersebut yang meraih kesuksesan, seperti para tokoh laki-laki.

Di dalam cerita-cerita anak durhaka, seperti “Rawang Tekuluk” dan “Si Umbut Muda”, tokoh perempuannya digambarkan tidak menikah. Ketika tokoh perempuan menyukai seorang laki-laki, dia tidak mendapatkan kesempatan untuk menikah dengan orang tersebut, seperti di dalam cerita Rawang Tekuluk”. Walaupun di kedua cerita tersebut tidak ada pemaksaan atau perjodohan bagi tokoh-tokoh perempuan tersebut, ada kesan tokoh perempuan tidak memperoleh kebebasan ketika hendak memilih pasangan hidupnya.

Simpulan

Cerita yang bertema anak durhaka tidak hanya menyampaikan pesan moral bahwa seorang anak tidak boleh durhaka atau membantah pada orang tuanya, seperti yang selama ini beredar di masyarakat. Cerita-cerita tersebut juga menampilkan adanya perlakuan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan yang bersumber dari pandangan masyarakat yang membedakan perempuan dengan laki-laki disebabkan aspek perbedaan psikologis dan kultural. Perbedaan yang melahirkan konsep maskulin dan feminim ini pulalah yang menyebabkan adanya perbedaan dalam penceritaan tentang anak durhaka yang ditokohi laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sifat yang dilekatkan pada tokoh-tokoh tersebut, juga peran dan kesempatan yang diberikan pada keduanya.

Yulita Fitriana
, mahasiswa pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Bekerja di Balai Bahasa Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Maret 2011

No comments: