Bandar Lampung, Kompas - Masa kritis yang dilewati bangsa Indonesia bukanlah akhir, melainkan justru awal perjalanan besar, yang membutuhkan pekerjaan-pekerjaan besar untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dibutuhkan komitmen dan ketulusan untuk membangun demokrasi. Namun, hal itu bukan perkara mudah mengingat rasa tidak saling percaya masih menyelimuti bangsa Indonesia.
”Saat ini institusi-institusi penopang demokrasi belum sepenuhnya terbentuk. Kalaupun sudah terbentuk, belum sepenuhnya berfungsi optimal. Pekerjaan membangun aturan main, membangun institusi-institusi, dan melakukan konsolidasi demokrasi inilah yang menjadi tugas kita sebagai bangsa sampai kita benar-benar mempunyai praktik demokrasi yang mantap dan pas,” ujar Wakil Presiden Boediono saat membuka seminar ”Apa Golongan Darah Bangsa Indonesia” yang digelar Ikatan Alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Balai Kratun, Bandar Lampung, Lampung, Sabtu (19/3).
Seminar itu juga menghadirkan pembicara mantan Gubernur Lemhannas Muladi, Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Ryaas Rasyid, dan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP. Hadir pula Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji dan Ketua Ikatan Alumni Lemhannas Agum Gumelar.
Menurut Boediono, pada masa konsolidasi demokrasi dibutuhkan kesepahaman, kearifan, visi ke depan, dan komitmen kenegarawanan. Sejarah bangsa-bangsa, termasuk bangsa Indonesia, memperlihatkan bahwa tanpa upaya konsolidasi yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan tanpa komitmen yang tulus untuk membangun demokrasi akan membuat demokrasi gagal.
”Sangat disayangkan apabila energi sosial kita tidak dimanfaatkan untuk konsolidasi dan justru disia-siakan untuk hal-hal yang tidak produktif atau justru merongrong konsolidasi,” kata Boediono.
Akan tetapi, Komaruddin Hidayat mengingatkan, saat ini terjadi rasa saling tidak percaya di masyarakat dan antar-institusi pemerintah. ”Mengapa sekarang banyak komisioner, itu karena lembaga-lembaga (pemerintah) tak saling percaya. Mengapa ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), itu karena kita tak saling percaya,” kata Komaruddin.
Ryaas Rasyid mengatakan, salah satu keberhasilan demokrasi adalah terakomodasinya kelompok minoritas. Hingga tahun 2009, sekitar 50 negara memutuskan tidak lagi menerapkan demokrasi karena demokrasi tidak memberikan solusi terhadap berbagai persoalan.
Bahkan, Gumilar Rusliwa Somantri mengkritik penerapan sistem presidensial dan multipartai karena kedua sistem itu sesungguhnya tidak bisa diberlakukan bersama.
Sofian Effendi mengutip data indeks negara gagal (failed states index) tahun 2010 yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-61 dari 177 negara yang disurvei. ”Tahun lalu Indonesia di peringkat ke-62, tahun ini turun ke 61. Ternyata Indonesia di bawah Zimbabwe yang secara politik-ekonomi kacau,” kata Sofian. (WHY/SSD)
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Maret 2011
No comments:
Post a Comment