Monday, March 14, 2011

Dana RSBI Sebagian Lari ke Luar Negeri

Jakarta, Kompas - Penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional yang awalnya ditujukan untuk ”menahan” dana orang-orang kaya supaya tidak berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke luar negeri pada kenyataannya justru sebaliknya.

Sebagian dana rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang berasal dari negara dan masyarakat justru sebagian lari ke luar negeri.

Ini disebabkan untuk mengejar status sebagai sekolah internasional yang tak kalah mutunya dengan sekolah-sekolah di negara maju, setiap sekolah yang berstatus RSBI harus mengejar sertifikat-sertifikat internasional. Para siswa juga diberi pengalaman untuk berkunjung ke negara-negara lain, terutama ke sekolah mitra (sister school).

Muchlas Suseno, dosen Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, pelaksanaan RSBI justru perlu dikritisi juga dari segi dana yang lari ke luar negeri.

”Ada yang kontradiktif dengan rancangan awal dan pelaksanaan di lapangan,” kata Muchlas, yang juga fasilitator SMA RSBI Tahun 2007-2009.

Untuk mendapatkan satu sertifikat ISO yang terakreditasi internasional, misalnya, dibutuhkan dana sekitar Rp 50 juta. Belum lagi dana-dana kunjungan ke luar negeri, baik atas nama menjalin relasi dengan sekolah mitra, pelatihan guru, hingga study tour siswa ke luar negeri.

Sekolah juga mesti menawarkan sertifikat internasional untuk siswa, salah satunya Cambridge. Untuk ujian satu mata pelajaran, dananya sekitar Rp 1,4 juta.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Satria Dharma mengatakan, penyelenggaraan RSBI pada akhirnya menjadikan sekolah publik menjadi sangat mahal dan hanya untuk kelompok orang kaya. Padahal, dana negara yang tersedot ke RSBI lebih berguna dan bermakna untuk perbaikan sistem pendidikan nasional.

Hywel Coleman, konsultan pendidikan di British Council dan dosen Universitas Leeds, Inggris, mengatakan, terjadi salah penafsiran RSBI yang diartikan sekolah menggunakan pengantar bahasa Inggris dan fasilitas seperti sekolah luar negeri.

”Akhirnya terjadi sekolah yang elitis, tidak berwawasan global dan meninggalkan budaya lokal,” ujar Coleman. (ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 14 Maret 2011

No comments: