Jakarta, Kompas - Impian salah seorang Proklamator, Mohammad Hatta atau Bung Hatta, belum sepenuhnya terwujud dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Impiannya itu, bagi rakyat dan bangsa Indonesia untuk mewujudkan demokrasi dan bangsa yang cerdas.
Putri proklamator Mohammad Hatta, Meutia Hatta, yang juga mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan, menyerahkan buku biografi Bung Hatta, di antaranya kepada Tony Agus Ardie, Daoed Joesoef, Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan Bismar Siregar (dari kiri ke kanan), saat peluncuran buku biografi berjudul Untuk Negeriku di Hotel Santika Premier, Jakarta, Senin (21/3). Buku itu diterbitkan Penerbit Buku Kompas. (KOMPAS/RIZA FATHONI)
Hal ini muncul dalam diskusi peluncuran buku otobiografi Bung Hatta berjudul Untuk Negeriku, Senin (21/3). Hadir dalam acara itu anak-anak Bung Hatta, yaitu Meutia, Halida, dan Gemala Hatta. Selain itu, hadir juga Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Agum Gumelar, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, budayawan Mudji Soetrisno, pengacara Adnan Buyung Nasution, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Fadli Zon.
Meutia Hatta mengatakan, otobiografi tokoh pejuang kemerdekaan selalu penting dibaca untuk memahami sejarah. Judul dari rangkaian tiga buku otobiografi Untuk Negeriku ini dinilai cocok karena sesuai dengan cita-cita Bung Hatta untuk hidup hanya untuk negerinya. ”Makanya, di akhir hidup beliau, wasiatnya untuk dimakamkan di pekuburan rakyat,” kata Meutia.
Menurut Meutia, buku ini berbicara tentang sosok Hatta yang tangguh dan tidak tertundukkan. Meutia berharap generasi muda bisa belajar tentang nilai-nilai itu serta keteladanan Bung Hatta yang berpikir bagaimana mendesain arah dan wujud pembangunan nasional menuju kemandirian, kemajuan, serta kejayaan Indonesia.
Sebanyak tiga pembahas buku, yaitu pengamat ekonomi Islam Anwar Abbas, sejarawan Taufik Abdullah, serta Tasya yang mewakili generasi muda, melihat buku ini dan sosok Hatta dari berbagai perspektif. Anwar melihat Hatta sebagai penganut Islam substantif yang melaksanakan nilai-nilai agamanya dalam kehidupan sehari-hari dengan konsekuen dan konsisten. ”Waktu di Boven Digoel, honor menulisnya ia sumbangkan juga ke teman-temannya yang lebih susah,” kata Anwar.
Sementara Tasya yang mahasiswi mengakui, ia sangat kagum kepada Bung Hatta yang secara personal tidak semenonjol Bung Karno.
Tasya juga mengakui, anak muda kurang peduli pada sejarah. Padahal, dari tokoh seperti Bung Hatta, begitu banyak hal yang bisa dipelajari. Seperti ketika Bung Hatta yang mengambil jalan ”duniawi”, yaitu mempelajari ilmu dagang, padahal diharapkan keluarganya mendalami agama.
Namun, ia juga mengkritisi buku Bung Hatta yang terlalu serius. ”Anak muda butuh package yang lebih bagus. Tak capek kalau dibaca,” katanya.
Taufik Abdullah mengatakan, Bung Hatta muncul karena tulisannya. Ada jejak perkembangan, mulai kolumnis tentang situasi Belanda tempatnya menuntut ilmu, menjadi intelektual tentang bangsa, hingga menjadi ilmuwan. ”Di atas segalanya, Bung Hatta itu ideolog. Ia konsisten untuk membahas ke mana bangsa akan dibawa. Konsisten memikirkan demokrasi,” katanya.
Salah satu titik ketidaksepakatan Bung Hatta dan Bung Karno, berkaitan dengan pernyataan Hatta, bahwa revolusi harus dihentikan. Langkah selanjutnya adalah konsolidasi yang revolusioner. Hatta juga pernah mengkritik demokrasi terpimpin yang dilakukan Bung Karno.
Ia juga menggarisbawahi, saat ini yang dikemukakan hanya citra. Apa yang hendak disampaikan jadi tidak penting. (EDN)
Sumber: Kompas, Selasa, 22 Maret 2011
No comments:
Post a Comment