-- Yulia Sapthiani dan Nur Hidayati
ANAK-ANAK yang berkesulitan belajar dapat tumbuh mandiri dengan pendidikan yang tepat. Masalahnya, mencari sekolah yang tepat untuk mereka bukan hal mudah.
Nina (42) langsung berhenti bekerja ketika anaknya, Vernell (14), didiagnosa mengalami hiperaktif (attention deficit hyperactive disorder/ADHD). Selama belajar di bangku kelas 1 hingga kelas 3 sekolah dasar, Nina turut duduk dalam kelas mendampingi putranya belajar. Nina terus menunggui Vernell di sekolah umum hingga putranya itu menamatkan SD, meskipun sejak kelas 4 ia hanya dibolehkan menunggui di luar kelas.
Nina harus menunggui Vernell karena dia tampak ”berbeda”. Anaknya itu rentan mengalami bullying (kekerasan) di sekolah umum tempat ia belajar.
Nina bukan satu-satunya ibu bekerja yang harus mengakhiri karier agar dapat sepenuhnya mendampingi sang anak yang berkesulitan belajar. Hal yang sama dilakukan Irma, Arini, Lina, dan Marlene. Bagi mereka, mengantar anak-anak mereka yang hiperaktif atau kesulitan konsentrasi ke sekolah umum setiap hari merupakan tugas berat.
”Tiap ke sekolah bawaannya stres karena ada tekanan dari pihak sekolah dan teman-temannya,” ujar Nina.
Di sekolah umum, para ibu ini tidak bisa mengharapkan anak-anak mereka dibimbing secara personal. Guru di situ tentunya harus membagi perhatian dengan cukup banyak anak yang ada dalam suatu kelas. Padahal, anak-anak ini membutuhkan perhatian khusus.
Kekhawatiran tentang pola pengajaran atau sistem pendidikan yang dirasa kurang sesuai di sekolah umum ini, masih ditambah dengan perlakuan anak-anak lain di sekolah, mulai dari ejekan hingga gangguan fisik.
”Dulu, setiap menunggu anak saya di sekolah, saya selalu berpikir, apalagi yang akan dikatakan teman-temannya pada Aninda. Setiap hari dia dikatai anak bodoh oleh teman-temannya,” kata Irma, tentang putrinya Aninda yang konsentrasinya sering terputus.
”Anak saya bahkan pernah diludahi orang,” ujar Arini. Joel (14), putranya yang pintar bermain musik, tergolong hiperaktif. Ia tidak bisa dibujuk mempelajari sesuatu yang tak diminatinya.
Tak jarang, para orangtua yang anaknya mengalami gangguan konsentrasi (attention deficit disorder/ADD) dan hiperaktif harus memindahkan anak mereka dari satu sekolah ke sekolah lain. Sebagian kemudian memindahkan anak mereka ke sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar. Sebagian, bahkan, bekerja sama membangun sendiri sekolah khusus untuk anak-anak berkesulitan belajar.
Mendirikan sekolah
Arini, Irma, dan sejumlah ibu lain yang mendirikan Sekolah Talenta misalnya, memulai sekolah dari obrolan di lapangan parkir SD Pantara. SD Pantara merupakan sekolah untuk anak berkesulitan belajar, tetapi belum menyediakan pendidikan lanjutan setingkat sekolah menengah pertama. Kekhawatiran para ibu ini muncul ketika anak-anak mereka duduk di kelas 5-6.
Dengan modal saweran dari para orangtua ini, Sekolah Talenta pun berdiri pada 2008. Kini sekolah yang mengkhususkan diri menangani anak berkesulitan belajar non-autistik ini sudah memiliki 13 guru, untuk mendampingi 15 murid. Dengan begitu, setiap murid mendapat penanganan individual yang memadai.
Kisah yang melatari berdirinya Sekolah Mandiga juga tak berbeda dengan Talenta. Sekolah yang dikhususkan untuk anak autistik ini didirikan oleh tiga ibu, Adriana Ginanjar, Dyah Puspita, dan Yuniar. Dua di antara mereka, yaitu Adriana dan Dyah, juga memiliki anak autistik.
Di Yogyakarta, perjuangan Muhammad Agus Hanafi (54) untuk memberikan pendidikan yang tepat bagi putranya yang juga penyandang autisme, Muhammad Aulia Fajar Nugraha (kini 24), menjadi ”berkah” pula bagi anak-anak autistik lainnya.
Pada tahun 1995, berbekal informasi dari Kedutaan Inggris, Agus menyewa dua pendidik khusus autistik, yaitu Sigruen dari Jerman dan Lieke dari Belanda. ”Waktu itu, saya harus membayar mereka Rp 27 juta per tahun. Biaya yang sangat mahal untuk saat itu,” kata Agus.
Setelah dua tahun berjalan, Agus menyadari bahwa masih banyak anak penyandang autisme lain yang belum mendapatkan pendidikan khusus seperti anaknya. ”Saya kemudian menyewa rumah di Seturan dan mulai mengumpulkan anak-anak autistik lainnya untuk ikut belajar bersama,” ungkapnya.
Sekolah Luar Biasa Autistik Fajar Nugraha pun kemudian berdiri pada 1997. Kini sekolah yang dibangun Agus Hanafi ini memiliki 13 pengajar untuk mengasuh maksimal 16 anak. (Aloysius B Kurniawan)
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011
No comments:
Post a Comment