-- Aryo Wisanggeni G
GARIS tipis yang ditarik seadanya itu kuat menyosokkan pilar-pilar besar yang berjajar melengkung seperti tepian lingkaran, menyangga atap yang mengalasi puluhan sosok yang berderet memandang ke plaza di bawahnya. Gambaran Lapangan Santo Petrus di Vatikan, dengan Kolonade yang mengelilinginya, terbayang jelas.
Namun, permenungan berbeda menghasilkan perspektif yang berbeda pula. Renungan rohaniwan Mudji Sutrisno SJ menghasilkan sketsa lapangan Santo Petrus yang sama sekali berbeda dari jutaan sketsa atau lukisan Lapangan Santo Petrus lainnya.
Di atas garis tipis yang membentuk bayangan Kolonade, Lapangan Santo Petrus, Mudji membubuh garis-garis tebal yang membentuk bayangan ikan. Dibubuhi usapan jari basahnya, lunturan tinta garis sketsa menjadi gradasi arsiran yang kian memunculkan ”sang ikan”. Di salah satu sudut sketsa itu, sebuah kalimat ditulis tipis seolah tanpa emosi, ”Quo Vadis?”
Lebih dari sekadar melukiskan Ichthus, kata dalam bahasa Yunani (berarti ikan), simbol awal kekristenan, sketsa itu mewakili perjalanan Mudji memperjuangkan pluralisme dan toleransi antarumat beragama.
”Semua bangunan di plaza Santo Petrus saya dekonstruksi sebagai ikan, sebagai refleksi permenungan saya betapa mengerikannya gereja yang membeku dalam lembaga,” ujar Mudji.
Pulang kepada esensi
Permenungan Mudji soal Ichthus dan fenomena agama yang membeku dalam lembaga dengan radikalisasi sebagai ikutannya, juga tampak ketika ia membuat sketsa sejumlah kubah (cupola) bangunan di Vatikan. Suatu lanskap yang realis membentang didominasi ruang kosong diimbuhi sejumlah garis lengkung simbolik, membentuk gambaran ikan, menjadi ekspresi Mudji untuk pulang pada esensi.
”Berada di negeri orang memberi ruang bagi kita untuk diam. Saya memasuki keheningan saat cuti panjang di Vatikan,” lanjut Mudji.
Dunia hening itu mengantarnya merenungi bagaimana agama bisa menjelma menjadi otoritas yang sangat berkuasa untuk mendefinisikan ”yang lain” adalah keliru, atas nama dogma. Agama kehilangan rangkulan welas asihnya, tidak lagi toleran ketika mengukuhi kebenarannya sebagai kebenaran tunggal.
Karya Mudji di masa cuti panjang di Vatikan pada 2009 itu adalah bagian dari 133 sketsa yang dipamerkan di Galeri Cemara 6, Jakarta, 17-31 Maret. Pameran itu didominasi puluhan sketsa hasil permenungannya selama tetirah di Vatikan, selain juga menampilkan sejumlah sketsa di Vancouver, dan puluhan sketsa Angkor Wat, di kuil pagoda Angkor di Kamboja.
Cinta ilahi
Berbeda dengan puluhan sketsa tetirahnya di Vatikan, puluhan sketsa di Angkor Wat ramai dengan goresan dan tarikan garis, menghasilkan warna hitam yang lebih pekat. Ketika sketsa itu diusap oleh tetesan air dari jarinya, lelehan tinta menjadi arsiran pekat yang kian memunculkan aura spiritual kuil Angkor.
Menyalin keelokan Angkor Wat dalam sketsanya membuat Mudji seperti mencecap kembali pengalamannya mengabdi di berbagai desa di pelosok Jawa. Setelah 30 tahun tergulung dalam hiruk-pikuk dunia tampilan yang melelahkan, eksotis tetapi dangkal, perjalanan itu membawanya kembali pada hasrat awalnya, ”semelehing ati ing katresnaning Gusti”, berserah diri ke haribaan cinta Ilahi.
Proses kreatifnya yang hening dan reflektif—banyak sketsa Mudji dibuat dari tarikan satu garis tanpa putus—kerap menyeret kesadarannya untuk semakin dalam memasuki alam karyanya. Banyak orang mengatakan itulah fase ”sampai”, fase di mana seseorang berada di dunia antara.
”Usapan jari basah itu kerap menjadi penanda. Setelah semuanya selesai, harus ada sumber hidup lagi, kembali pada kehidupan,” kata Mudji.
Membuat sketsa dilakukan ketika Mudji tak mampu membuat kata memasuki dunia makna yang lebih subtil. ”Ada saat di mana ungkapan gagasan butuh esai untuk bersuara. Ada pula saat mediumnya adalah puisi padat kata. Jika semua itu pun masih terlalu gaduh, kata meminta ekspresinya dalam garis-garis sketsa.”
Bagi yang mampu hening, sketsa-sketsa Mudji dapat ditangkap lebih banyak dari suara dan esai. Atau sebaliknya, terasa sangat sunyi justru karena begitu gaduh memekakkan hati. Seperti diakui Mudji melalui syair dalam katalog pamerannya.
”Sketsa-sketsaku riuh kadang senyap lalu riuh gaduh lagi lalu sunyi kembali. Bukankah kehidupan juga merupakan kumpulan sketsa hening malam? Pagi cerah dan sore rembang petang menanti malam? ”
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Maret 2011
No comments:
Post a Comment