-- Misbahus Surur
PERJALANAN bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, bukanlah perjalanan yang gampang. Kendati ihwal transformasi bahasa, dari bahasa daerah menuju bahasa kebangsaan, jamaknya menjadi hal yang lumrah. Untuk kasus bahasa Melayu, pilihan kepadanya bukan berdasarkan suatu yang singkat, melainkan melewati proses dan pertimbangan yang cukup panjang dan melelahkan. Beberapa pertimbangan itu seperti; tersebarnya ”ragam” bahasa Melayu ke seantero Nusantara, jauh sebelum bahasa ini dikonversi menjadi bahasa nasional (1928). Aspek lainnya adalah perilaku kebahasaan para nasionalis (elite politik) yang kala itu juga diam-diam mengarah ke sana. Berdasarkan telisik Hoffman (Badri Yatim, 1999) misalnya, dalam lingkup keluarga, para elite itu biasa memakai bahasa daerah masing-masing. Namun dalam ranah sosial-politik, mereka cenderung menggunakan bahasa Belanda. Kendati begitu, ada yang tak masuk telisik ini. Seperti penggunaan bahasa Jawa ngoko O.S. Tjokroaminoto dalam sebuah kongres di Malang tahun 1932. Juga sebuah riwayat penggunaan bahasa Melayu (pidato) Soekarno sewaktu masih duduk di bangku HBS Surabaya. Didorong oleh ketidaksetujuannya pada pidato ketua Studieclub yang berisi anjuran supaya generasi muda menguasai bahasa Belanda. Kala itu, Soekarno malah menganjurkan segenap komponen perkumpulan agar mengembangkan bahasa Melayu.
Terkait penyebarannya, Denys Lombard (2005) dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya, mencatat bahwa bahasa Melayu kuno yang berasal dari pesisir timur Sumatera bagian selatan, ternyata menjadi bahasa perdagangan Kerajaan Sriwijaya. Bahasa ini digunakan di bagian barat Nusantara dan semenanjung tanah Melayu; baik di lingkungan istana, ranah-ranah keagamaan maupun perdagangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam beberapa prasasti yang ditemukan di luar wilayah penutur bahasa Melayu. Di mana enam dari prasasti tersebut–yang salah satunya berada di Jawa-, bertahun antara 792 hingga abad ke-9 Masehi. Sementara A. Teeuw (1994: 251), menulis, sekitar abad 15 terdapat sebuah kamus Daftar China-Melayu serta Daftar Kata Melayu-Italia (1522) yang disusun Pigafetta. Bahkan, menurut catatan Teeuw tersebut, sekitar abad ke-16, seorang Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten memastikan bahasa Melayu di Asia Tenggara tak kurang penting dalam fungsi komunikasi antarbangsa dan suku, dari bahasa Prancis di Eropa Barat.
Pada era kolonial, sebagaimana yang dicatat van Der Putten,—terlepas dari dikotomi-dikotomi kebahasaan yang saat itu diwacanakan serta dipraktekkan kaum kolonial-, beberapa peneliti seperti Von de Wall, Klinkert juga Van Ophuijsen, pernah dikirim pemerintah penjajah ke Riau untuk mencatat bahasa Melayu ke dalam kamus dan tata bahasa (gramatika). Di mana dalam pekerjaan itu, peneliti-peneliti tersebut dibantu cendekiawan pribumi, seperti Haji Ibrahim, Raja Bih, termasuk pujangga kenamaan Riau, Raja Ali Haji. Yang mana bahasa itu selanjutnya ditakok-tambah; diolah; disesuaikan; dicampuri bahasa-bahasa lain, agar ia cocok menerima sekaligus mentransportasikan pengetahuan modern bagi pihak kolonial (Jan van Der Putten, dalam Sweeney, 2007: hlm 28-29).
Sedang tokoh-tokoh yang punya andil dalam memerjuangkan bahasa Melayu, sedikit di antaranya Achmad Djajadiningrat (seorang bupati Serang), yang pernah meminta agar bahasa ini diakui sebagai bahasa dalam persidangan di Volksraad tahun 1918, sebagaimana halnya bahasa Belanda. Lalu, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Di mana pada Kongres Pendidikan Kolonial pertama di Den Haag, sekira tahun 1916, ia pernah menyatakan bahwa bahasa Melayu akan menjadi bahasa perhubungan di seluruh Hindia Belanda (Hoffman, 1995: 547). Kemudian, yang tak boleh dilupakan, adalah andil besar Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Perjuangan STA dalam menentukan arah dan desain bahasa Indonesia (yang merupakan turunan bahasa Melayu), sangatlah penting. Aktivitas dan karier STA di bidang bahasa dan peristilahan di zaman Jepang dan periode awal Republik ini, diakui para peneliti asing dan dalam negeri, sebagai sumbangan yang luar biasa. Terutama tahun 1938 dalam kongres Solo, juga sekira tahun 1942 sampai 1944 (komisi bahasa Indonesia). Bahkan, dalam buku Jerome Samuel, Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosa Kata dan Politik Peristilahan (terj. oleh Dhany Saraswati Wardhany, 2008), dikatakan, Takdir-lah yang dianggap telah mengenalkan kasus bahasa Indonesia ke tingkat Internasional. Semisal melalui publikasi tulisan-tulisannya dalam beberapa majalah mulai 1949, juga publikasi tulisan atas permintaan lembaga PBB, UNESCO, pada 1951.
Dalam beberapa karya sastra, penggunaan bahasa Melayu,--dan lebih jauh lagi kelak tentang gagasan nasionalisme-, bisa dirujuk, antara lain melalui cerita Marco Kartodikromo berjudul Semarang Hitam. Sebuah cerita bersambung dalam surat kabar tahun 1924. Cerita itu menghadirkan tokoh seorang lelaki anonim yang sering diacu sebagai “lelaki muda kita”. Sang tokoh kerap ditempelkan pada lanskap sosial, yang dalam kisah disusun secara hati-hati. Menurut Anderson, tanpa mengonkretkan nama, si tokoh cerita telah sanggup membayang ke benak pembaca. Pada narasi itu, digambarkan seorang laki-laki tengah membaca koran sambil mengawasi pikuk jalanan di luar sana; lanskap sosial jalanan kota; tentang gaya hidup juga tragedi-tragedi harian yang menyertainya. Lalu pada halaman koran, si lelaki menemukan sebuah berita tentang gelandangan yang sakit dan tewas di tepi jalan. Oleh tragedi yang baru saja ia baca, laki-laki tersebut lantas mengritik berbagai ketimpangan sosial di negeri jajahan yang tak seharusnya.
Laki-laki, si tokoh kita ini, kendati dalam cerita hanya representasi seorang individu, seolah punya kekuatan untuk bertaut kepada sosok lelaki muda yang mewakili tubuh kolektif pembaca Indonesia. Tidak saja karena novel itu berbahasa Melayu, melainkan karena struktur kisah; pronomina kita juga tragedi yang sedang dibaca, setidaknya, mampu mewakili keadaan orang-orang di luar cerita, yakni pembaca pribumi (Ben Anderson, Imagined Communities, terj. Omi Intan Naomi, hlm. 45-48).
Begitu pula dengan novel-novel yang searas, semisal Nyai Permana karya Tirto Adhi Soerjo, Studen Hidjo dan Mata Gelap yang nota bene karya lain Marco Kartodikromo, juga Hikajat Kadiroen-nya Semaoen. Sedikit dari novel-novel itu, pada tahap awal, sejatinya telah menempuh sebuah proses menuju ruang pembayangan. Sebuah khayalan akan komunitas, yang mula-mula dibangun dari kesadaran kebahasaan. Yang barangkali teknis tapi cukup penting. Yakni melalui bahasa pribumi yang tercetak dalam novel-novel. Maka, tak heran bila serangkaian novel tadi, dulunya sering kena stigma pemerintah kolonial sebagai bacaan liar, roman picisan dan sebutan buruk yang lain. Entah karena substansi, maupun ekses literal yang ditimbulkan. Karena itu, tersebarnya narasi novel bisa kita asumsikan sebagai upaya menasionalisasikan bahasa Melayu. Selain juga menjadi bibit awal bagi tumbuhnya kesadaran dan nasionalisme.
Demikianlah, bahasa Melayu memang telah lama digunakan di seluruh pelosok Nusantara sebagai bahasa pengantar. Pun orang-orang Eropa, ketika tiba untuk pertama kali di berbagai pulau Nusantara juga menggunakan pengantar bahasa ini. Tak kecuali dalam beberapa karya sastra terbitan awal juga sebagaian tokoh nasionalis kita. Dan bahasa Jawa misalnya, saat itu (1928) tidak dipilih menjadi bahasa nasional, sebenarnya bukan lantaran kapasitasnya yang feodalis dan atau substansinya yang dikotomik. Melainkan hanya karena bahasa ini tidak masyhur dan lebih tidak sederhana dibanding bahasa Melayu. Kesederhanaan seperti apa yang ada pada bahasa Melayu? Samuel (2008: 149) dengan melandaskan pada serangkaian keterangan STA, mencoba menelisik maksud dari kata “sederhana” tersebut. Sederhana di sini, sedikitnya seperti: ketidakberubahan bentuk kata, keteraturan sistem afiks dan kesederhanaan ejaan (struktur suku kata). Barangkali, sebab itulah Muhammad Yamin melihat kemungkinan bahasa Melayu bakal menjadi bahasa persatuan (lingua franca), jauh sebelum digadang-gadang oleh STA.
Misbahus Surur, Mahasiswa S-2 UIN Maliki Malang
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Maret 2011
No comments:
Post a Comment