-- Sukardi Rinakit
SEHUBUNGAN dengan berita di The Age dan The Sydney Morning Herald mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden, seorang wartawan asing bertanya, ”Apakah Anda percaya Presiden Yudhoyono korupsi?” Dengan lugas saya menjawab, ”Tidak! Itu bukan karakter SBY.”
Jawaban itu agak membingungkan jurnalis tersebut. Ia tidak habis mengerti mengapa penulis yang biasanya kritis tidak menghantam Presiden justru ketika kesempatan itu terbuka. Ada salah persepsi di sini. Mengkritik bukanlah untuk menghina, apalagi menjatuhkan, tetapi untuk menjaga bekerjanya proses checks and balances agar pemerintah, terlebih lagi Presiden, tidak terlena sekadar menikmati kebun mawar kekuasaan.
Namun, jika kekuasaan bergerak ke arah kelabu dan semena-mena, perlawanan perlu dikukuhkan. Oleh sebab itu, ketika Sekretaris Kabinet Dipo Alam menghina sejumlah tokoh lintas agama dengan sebutan ”burung gagak pemakan bangkai”, saya sampaikan kepada Buya Ahmad Syafii Maarif sewaktu kami di Solo, Jawa Tengah, ”Jika penistaan terhadap Buya dan tokoh lintas agama diterus-teruskan, saya sendiri yang akan memimpin revolusi!” Mungkin penulis hanya kutu buku, tetapi demikian juga dengan Vaclav Havel yang penyair dan dramawan. Ia sanggup menggerakkan Ceko waktu itu.
Nurani Franky Sahilatua
Mencermati respons agresif pemerintah menyangkut berita bahwa Presiden telah menyalahgunakan kekuasaan, ada kesan kuat bahwa realitas politik saat ini juga ditandai oleh lemahnya koordinasi antarpembantu SBY. Ini bisa dilihat dari banyaknya pembantu Presiden yang memberikan komentar dan sanggahan. Sikap pemerintah tidak keluar dari satu pintu.
Akibatnya, persoalan yang sebenarnya hanya mempunyai magnitude biasa-biasa saja dan bahkan lemah jika diletakkan sebatas gosip akhirnya menjadi ledakan yang kekuatannya setara dengan delapan bom neutron. Padahal, masalah itu sejatinya cukup diselesaikan oleh satu pembantu Presiden yang diberi kewenangan penuh untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai sikap resmi pemerintah.
Reaksi para pembantu Presiden yang gegap gempita sehubungan dengan berita tersebut tanpa disadari telah melukai perasaan publik. Para pejabat itu begitu bersemangat membela Presiden dan keluarganya. Mengapa sikap yang sama tidak mereka tunjukkan ketika saudara-saudara sebangsa dilanda musibah. Tidak ada suara gemuruh membelah langit ketika ibu-ibu menjahit mulutnya karena tanahnya digusur dan ketika terjangan bencana alam melumatkan sebagian anak bangsa.
Juga tidak ada doa nyaring para penguasa untuk rakyat miskin yang diimpit harga pangan yang semakin mahal, sopir-sopir truk yang mengantre di Pelabuhan Merak, petani yang gagal panen, nelayan yang tidak melaut karena bahan bakar mahal dan distribusinya tersendat, serta tenaga kerja wanita yang diperlakukan tidak manusiawi di negeri lain.
Mereka itu, meminjam judul lagu yang baru digubah Franky Sahilatua dua minggu lalu, mungkin dipandang tak lebih dari sekadar ”Anak Tiri Republik” oleh penguasa. Padahal, mereka adalah pemilik sah republik. Pada massa periferal itulah nurani Franky diletakkan (meskipun ia sendiri sedang tergeletak sakit didera kanker sumsum tulang belakang). Perlakuan abai terhadap anak tiri republik sekali lagi menunjukkan lemahnya koordinasi dalam pemerintahan.
Tidak mengherankan, selama ini muncul data kemiskinan yang berbeda-beda, isu koalisi dan reshuffle kabinet yang simpang siur, lambatnya pembangunan infrastruktur, kacaunya jalur logistik, dan lain-lain. Secara hipotesis, kelemahan koordinasi tersebut bersumber pada sikap tidak tegas Presiden dan miskinnya loyalitas partai koalisi.
Apabila Presiden tidak segera melakukan resume power, lemahnya koordinasi antarpembantu Presiden dipastikan akan membuat pemerintahan semakin tidak efektif. Keadaan diperkirakan akan memburuk seiring dengan mendekatnya waktu kontestasi politik tahun 2014.
Masalah serius yang patut diwaspadai apabila koordinasi dalam pemerintahan terus berjalan defektif adalah meluasnya kemiskinan. Rakyat akan semakin terseret pada situasi sulit sehingga pilihannya tinggal pasrah, bunuh diri, atau memberontak.
Jika titik puncak frustrasi publik itu terjadi, sejarah pada akhirnya akan ditentukan oleh kaum pinggiran. Mereka yang selama ini dianggap sebagai anak tiri oleh kekuasaan akan berubah menjadi ”anak sejati revolusi”.
Orang-orang dalam
Untuk menghindari instabilitas politik yang kadang saya sendiri mengharapkannya apabila keadaan sudah tak terelakkan, tak ada pilihan lain bagi Presiden kecuali menata cepat sumber daya politiknya. Waktu berkuasa efektif kini tinggal 2,5 tahun. Tanpa soliditas di pemerintahan, mereka akan limbung jika lain kali diterpa lagi laporan mentah intelijen semacam bocoran WikiLeaks yang meluncur deras ke ranah publik.
Kalau mau jujur, sumber utama dari laporan itu pada umumnya adalah orang-orang dalam sendiri. Banyak pejabat pemerintah jika di luaran secara tertutup sering mengkritik, bahkan mengejek Presiden. Mereka tidak memanggul prinsip ngemong praja (menjaga nama baik) SBY. Jika situasi itu berjalan terus dan rakyat tambah miskin, seperti kata Franky Sahilatua, tak tertutup kemungkinan ”anak tiri republik” akan berubah menjadi ”anak sejati revolusi”.
Sukardi Rinakit, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Sumber: Kompas, Selasa, 15 Maret 2011
No comments:
Post a Comment