-- Bambang Hidayat
ADA saatnya kita mengambil jarak. Karena dari kejauhan, termasuk mendekati peristiwa melalui lensa sejarah, kita dapat membentuk cakrawala pembanding untuk mengejawantahkan peristiwa.
Keuntungan menimbang suatu peristiwa dari kejauhan adalah luluhnya emosi yang digantikan oleh nalar. Sementara sisi sejarah memberi keuntungan tersajinya dokumen asli sehingga bisa membantu untuk mengecambahkan kesadaran.
Dari sejarah kita mengenal pikatan Ratu Wilhelmina (6 Desember 1942) kepada para pemimpin pergerakan nasional untuk menata kembali hubungan ketatanegaraan Hindia Belanda pasca-Perang Dunia II usai.
Lima tahun sebelum pidato Ratu tersebut, Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936) sesumbar, ”Belanda telah memerintah Hindia Belanda selama 300 tahun dan siap memerintah 300 tahun lagi. Setelah itu, barulah bicara nasionalisme Indonesia.”
Ungkapan yang meremehkan harga diri pribumi itu mengobarkan nasionalisme dan memicu berbagai gerakan kebangsaan, termasuk penggunaan kata Indonesia secara sadar. Kata Indonesia mencitrakan kesatuan geografis dan politis pelbagai kelompok dan suku yang mendiami Nusantara.
Telah diketahui bahwa toponimi Indonesia pertama kali dikemukakan oleh Earl dan Logan (medio 1850) dari dua suku kata, indus dan nesos, yang berarti kepulauan di selatan India. Tahun 1920-an toponimi tersebut memperoleh tempat terhormat sebagai identitas diri.
Perjuangan Indonesia menuju bangsa yang merdeka memang berlangsung panjang. Wakil bangsa di Volksraad, misalnya, harus menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang tidak mau mendengar gejolak kebangkitan bangsa. Petisi Soetardjo yang diusulkan ke Volksraad tahun 1936 ditolak tahun 1938. Demikian pula perjuangan Gabungan Politik Indonesia (Gapi) di bawah pimpinan Husni Thamrin yang digagalkan tahun 1939.
Sebelum pecah Perang Dunia II, Raden Wiwoho Poerbohadidjojo, 23 Februari 1940 di ”Volksraad”, lagi-lagi merumuskan keinginan para nasionalis untuk berparlemen, tetapi ditolak Belanda. Maka, rasa antipati rakyat bumiputra makin tumbuh.
Penggantian penjaga
Tanggal 10 Maret 1942 penjaga Nusantara berganti. Jenderal Imamura memegang tampuk penguasa tertinggi di Nusantara. Ia bertindak sebagai gubernur jenderal menggantikan Gubernur Jenderal Belanda Ke-30 Tjarda van Starkenborg-Stachower.
Penguasaan wilayah selatan adalah realisasi doktrin Tanaka (1923) yang memimpikan kemaharajaan Jepang di wilayah selatan yang kaya bahan tambang. Bahkan dalam Instruksi 5 Desember 1941 Jepang menetapkan Jawa sebagai lumbung dalam perang Asia Timur Raya. Namun, perjuangan bersama Indonesia-Nippon lama-lama terbuka kedoknya. Perbedaan kedudukan antara saudara tua dan pribumi seperti bumi dan langit.
Jepang dengan semboyan ”memenangi hati rakyat” awalnya memang menyenangkan bangsa Indonesia. Lagu ”Indonesia Raya” boleh diperdengarkan di tempat umum dan hak dasar berserikat dan berkumpul diberikan. Namun, Jenderal Imamura yang menghargai adat dan kebiasaan bumiputra ternyata dianggap terlalu lunak sehingga ia dipindahkan ke Solomon.
Sejak mendarat di Banten awal Maret 1942, Imamura memang melihat sosiologi dan tabiat penduduk di Jawa yang tidak dapat disamakan dengan Tiongkok, misalnya. Karena itu, dia ingin menerapkan metode pendekatan yang lebih manusiawi mengingat ”keramahtamahan” pribumi Jawa.
Masuklah Indonesia ke periode yang bersemboyan 3A: Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Pada periode ini bergelora pembangunan kebangsaan, tetapi di sisi lain juga merupakan periode pemiskinan rakyat dan negara yang begitu luar biasa.
Jepang mengajarkan cara berparlemen dan bertanah air meski sebenarnya hanya merupakan parlemen ”semu”. Jepang mengajarkan cinta bangsa dan tanah air meski hidup pada era itu sengsara setengah mati.
Inilah yang memicu penggalangan kekuatan rakyat dari hampir seluruh kepulauan Nusantara. Mereka sadar harus mempertahankan keindonesiaan dan memandang ke depan agar tidak dijajah lagi.
Era kemerdekaan
Tatkala peperangan Asia Timur Raya mencapai nadir dan Jepang sudah terancam Sekutu, tahun 1944 PM Koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia di ”kemudian hari”. Pengumuman itu segera diikuti pembentukan Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Soekarno sempat terpeleset dalam euforia ”sehidup semati dengan Nippon” sehingga ia lama dicap sebagai ”antek” Jepang.
Slogan memerdekakan Asia (di bawah kepemimpinan Dai Nippon) adalah pemijahan subur membangun dunia baru. Jepang berhasil menghapus rasa inferior kompleks Asia terhadap Barat, bekal berharga membangun kebangsaan kita. Tidak boleh dilupakan, semangat kemerdekaan itu juga dipengaruhi oleh kebangkitan berbangsa di India, di Semenanjung Indo-Cina, dan kemerdekaan Filipina.
Getar syair pahlawan nasional Filipina, Jose Rizal, menjelang ia dihukum mati, ”Adios, patria adorado” (Selamat tinggal, tanah air yang kukagumi)”, ikut menginspirasi para pendiri bangsa. Syair itu mengajak kita mencintai tanah air dan itulah sebenarnya lem pemersatu kebangsaan kita.
Oleh karena itu, perjalanan panjang Indonesia merdeka yang mengorbankan begitu banyak darah dan air mata janganlah dihancurkan oleh sekelompok kepentingan belaka.
Bambang Hidayat, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Maret 2011
No comments:
Post a Comment