Jakarta, Kompas - Penyalahgunaan dana dari pemerintah pusat, provinsi, dan pungutan orangtua siswa untuk rintisan sekolah bertaraf internasional paling banyak terjadi di jenjang SMA. Sementara di tingkat SD hanya sekitar 25 persen.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Senin (14/3), mengakui dana untuk RSBI tidak seluruhnya digunakan untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar dan kualitas guru, melainkan untuk pembangunan fisik seperti perbaikan ruangan kelas, pembangunan laboratorium, pemasangan mesin pendingin ruangan, dan pagar atau gerbang sekolah.
Untuk itu, hasil evaluasi pemerintah terhadap RSBI itu akan menjadi landasan penyusunan peraturan Menteri Pendidikan Nasional mengenai RSBI yang antara lain akan memperketat penggunaan dana.
Penyalahgunaan penggunaan dana oleh RSBI ini, kata Fasli, menjadi fokus utama evaluasi pemerintah. ”Selain masalah dana, perbaikan juga akan diutamakan bagi tenaga pengajar di RSBI, terutama kualitas kemampuan bahasa Inggris. Kami akan memberi kesempatan menggunakan dua bahasa, tidak hanya bahasa Inggris saja,” ujarnya.
Evaluasi pemerintah terhadap RSBI—dengan sampel 130 sekolah—difokuskan pada tiga hal, yakni tata cara penerimaan murid, pungutan dana dari orangtua, dan sumber daya manusia. Hasil evaluasi dan analisis untuk menyusun kebijakan itu membutuhkan waktu beberapa tahun sehingga untuk sementara tidak akan ada RSBI baru.
”Peraturan Mendiknas akan mengikat 1.300 RSBI yang sudah ada. Keberadaan RSBI tersebut nanti akan ditinjau kembali,” ujarnya.
Tidak substantif
Secara terpisah, Dewan Pembina Ikatan Guru Indonesia Ahmad Rizali mengatakan, evaluasi pemerintah terhadap RSBI tidak akan efektif karena yang dievaluasi hanya tataran implementasi.
”Pemerintah seharusnya menghentikan pelaksanaan RSBI dan melakukan evaluasi konsep atau kajian konseptual RSBI, bukan hanya evaluasi di tataran pelaksanaan,” ujar Ahmad.
Hingga saat ini RSBI konsepnya tidak jelas karena tidak mengacu pada rujukan akademik yang jelas. ”Apa yang mau dievaluasi jika konsepnya saja tidak jelas,” katanya.
Ahmad juga heran dengan kebijakan RSBI yang terkesan dipaksakan meski konsepnya tak jelas. Padahal, di negara lain, seperti Malaysia dan Korea Selatan, sekolah bertaraf internasional dihentikan karena menurunkan kualitas pendidikan.
”Penggunaan dwibahasa menurunkan mutu pendidikan. Akhirnya mereka kembali menggunakan bahasa ibu di sekolah,” ujarnya. (LUK)
Sumber: Kompas, Selasa, 15 Maret 2011
No comments:
Post a Comment