Friday, March 11, 2011

45 Tahun Supersemar

-- Franz Magnis-Suseno SJ

PADA 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.

Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan segera—tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarno—menangkap sekitar 12 menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.

Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.

45 tahun lalu

Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.

Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunisme—sesudah nasional-sosialisme Nazi—adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa menghitung korban perang.

Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakom—persatuan ”revolusioner” Nasionalisme, Agama, dan Komunisme—dipermaklumkan Presiden Soekarno, segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai komunisto-fobi.

Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.

Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.

Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan 30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.

Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.

Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?

Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai ”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan Bali. Gelap dan mengerikan.

Di Jakarta, demonstrasi antikomunis kian menjadi. Namun, kesannya Presiden Soekarno lama-kelamaan berhasil merebut kembali inisiatif. Pada Februari dibentuk Kabinet 100 Menteri. Jenderal AH Nasution harapan kami tak lagi termasuk. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) malah dilarang. Semua itu berakhir pada 11 Maret 1966 itu.

Tiga tahap

Melihat kembali, sebaiknya kita membedakan tiga tahap. Yang pertama adalah kejadian 1 Oktober 1965 dan buntut langsung. Saya tak akan masuk ke dalam spekulasi tentang siapa dalang G30S. Yang jelas, pada hari itu, pagi-pagi, enam jenderal tinggi Angkatan Darat dan ajudan Kapten Pierre Tendean diculik dan dibunuh.

Gerakan itu di Jakarta sudah dipatahkan pada malam hari yang sama dan berakhir sesudah benteng-bentengnya di Solo dan Yogyakarta menyerah. Untuk mematahkan PKI secara definitif, sebenarnya cukup kalau PKI, yang tak memperlihatkan kemampuan melawan, dilarang dengan—barangkali—para kader inti ditahan dulu serta semua yang betul-betul terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta dibawa ke pengadilan. PKI pasti tidak akan bisa bangkit lagi.

Namun, larangan tak turun. Pada pertengahan Oktober 1965 mulai tahap kedua, tahap paling mengerikan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pembersihan dilakukan RPKAD, tak ada pembunuhan dari pihak nonmiliter. Pembunuhan dalam jumlah yang betul-betul di luar segala imajinasi terjadi di Jawa Timur dan Bali, tetapi juga misalnya di Flores dan melibatkan masyarakat nonmiliter. Setidaknya 500.000 orang terbunuh. Ini satu dari lima genosida di dunia pada bagian kedua abad ke-20!

Siapa bertanggung jawab? Soeharto-kah yang memerintahkannya? Apakah dibiarkan berlangsung tanpa ada perintah apa pun? Andai kata PKI langsung dilarang, apakah pembunuhan mengerikan itu barangkali tidak terjadi? Tak ada jawaban. Tak ada jawaban juga mengapa bangsa Indonesia terlibat dalam sesuatu yang sedemikian tak manusiawi!

Namun, tak ada keraguan sedikit pun bahwa Soeharto dan jenderal pembantunya bertanggung jawab 100 persen atas kejahatan tahap ketiga: penangkapan jutaan orang (Sudomo pernah menyebut angka 1,9 juta orang) sebagai ”terlibat” ketika hanya satu hal pasti bahwa mereka tak terlibat dalam arti apa pun.

Secara sistematis dan birokratis jutaan saudara dan saudara sebangsa dikeluarkan dari komunitas solidaritas bangsa, dihancurkan nama baiknya, dirusak keluarga dan perekonomiannya, banyak yang disiksa, perempuan diperkosa, difitnah, dirampas kebebasannya. Mereka adalah yang dianggap ”terlibat”, anak dan cucu mereka, serta mereka yang ”tidak bersih lingkungan”.

Yang golongan C, meski cukup cepat dilepaskan tetap terkena stigmatisasi, ada tanda di KTP. Pekerjaan tertentu tertutup bagi mereka, mereka harus secara teratur lapor, anak-anak mereka susah masuk sekolah. Puluhan ribu orang dari kategori B, meski tak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hukum, dianggap rada penting dan ditahan dalam kamp-kamp khusus, termasuk di Pulau Buru. Sisa sebanyak puluhan ribu baru dilepaskan sekitar tahun 1979 atas desakan Presiden AS Jimmy Carter.

Tak jelas mengapa kejahatan itu dilakukan. Sampai hari ini tak ada pengakuan terhadapnya. Cukup memusingkan mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tak pernah menunjukkan tanda terkejut berhadapan dengan kekejaman dan kejahatan sedemikian banyak warga sebangsa. Soe- harto dan kawan-kawannya membawa dosa itu ke kubur mereka. Namun, mereka hanya dapat melakukannya karena merasa mendapat dukungan. Itulah yang sulit dimengerti.

Lalu apa? Bangsa lain pun ada yang mempunyai noda-noda dalam sejarahnya, misalnya bangsa Jerman. Barangkali situasi waktu itu memang dilematis.

Minimal sekarang, 45 tahun kemudian, kita seharusnya berani berhenti berbohong, berani mengakui mereka yang sampai sekarang tak mau diakui sebagai korban. Seharusnya kita bertekad bahwa kita tak akan pernah lagi mengizinkan sekelompok orang dikucilkan dari solidaritas bangsa, dibiarkan menjadi obyek kebencian, kekerasan, dan barangkali pembunuhan hanya karena berbeda kepercayaan atau keyakinan politiknya.

Franz Magnis-Suseno SJ, Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Sumber: Kompas, Jumat, 11 Maret 2011

No comments: