KEKALAHAN main dadu dengan wangsa Kurawa bagi Pandawa sungguh amat menyakitkan. Selain negara Amarta lepas, status Pandawa pun melorot tanpa kehormatan. Mereka nyaris jadi budak Kurawa. Lebih menyakitkan lagi, Dewi Drupadi diperlakukan tak senonoh, hendak ditelanjangi. Pandawa pun akhirnya terusir dari Istana dan harus menjalani pembuangan selama 12 tahun.
Begawan Ciptaning. Menampilkan satria Pandawa yang tengah bertapa di Gunung Indrakila digoda oleh tujuh bidadari cantik. (KOMPAS/NINOK LEKSONO)
Dalam pengembaraan inilah, atas nasihat Semar, Arjuna— bertekad ingin menebus kembali harga diri Pandawa dengan kemenangan dalam Baratayudha kelak—disuruh bertapa di Gunung Indrakila. Selama bertapa, Arjuna mendapat godaan tak main-main. Para dewa turun menawarkan pangkat dan harta serta janji bisa memutarbalikkan keadaan, yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Lalu, tahu Arjuna pemuja wanita cantik, Arjuna—selama bertapa menggunakan nama Begawan Ciptaning atau Begawan Mintaraga—digoda tujuh bidadari paling cantik di Kayangan. Namun, Arjuna bergeming dan oleh para dewa dinyatakan lulus ujian. Ia pun dihadiahi panah sakti Pasopati, yang diserahkan langsung oleh Batara Indra.
Akan tetapi, untuk kehormatan itu, Arjuna harus menghadapi raja raksasa Niwatakawaca dari Kerajaan Imanimantaka yang menginginkan Dewi Supraba sebagai istrinya. Arjuna menyanggupi, dengan bantuan Dewi Supraba yang diminta untuk mencari tahu rahasia kesaktian sang raja raksasa.
Lakon Ciptaning termasuk salah satu yang paling populer dari kisah pewayangan Kakawin ”Arjunawiwaha” yang dianggit oleh Empu Kanwa semasa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042) di Kahuripan.
Diminta oleh dewi pujaan, Prabu Niwatakawaca ini pun luluh dan mengatakan bahwa rahasia kesaktiannya ada di pangkal lidahnya. Saat bertarung, Arjuna sering berpura-pura kalah, dan hal itu membuat Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Namun, pada saat itulah Arjuna meluncurkan panah saktinya ke mulut lawannya, membuat Niwatakawaca rubuh kehilangan nyawa.
Penyucian diri
Lakon Ciptaning, Minggu (20/3), dipentaskan oleh Drama Wayang Swargaloka di bawah pimpinan Suryandoro di Teater Wayang Indonesia (Gedung Pewayangan Kautaman) TMII, Jakarta. Lakon yang naskahnya ditulis oleh Irwan Riyadi, yang sekaligus menjadi sutradara, ini menampilkan penari yang juga kuat dalam menampilkan drama, seperti halnya Dewi Sulastri yang memerankan Dewi Drupadi.
Semula, setelah kalah dalam permainan dadu, Arjuna bermaksud melabrak Kurawa dan merebut kembali Amarta dan memulihkan kehormatan saudara-saudaranya. Tetapi Semar menilai itu tidak ada gunanya, dan malah menasihatinya agar ia menyucikan diri. Dalam konteks itulah nama Begawan Mintaraga berarti, karena ’minta’ berarti ’pemisahan’ dan ’raga’ (tubuh). Sementara ”Ciptaning”—seperti disebut Ensiklopedi Wayang—berasal dari ’ciptahening’ yang berarti ’kebersihan jiwa’.
Jiwa yang terpisah dari raga, atau jiwa bersih seperti diungkapkan kata ciptaning, terbukti unggul dari godaan. Padahal, ketujuh bidadari yang diturunkan para dewa—Supraba, Wilutama, Warsiki, Surendra, Gagarmayang, Tunjungbiru, dan Lengleng Mulat—justru unggul dalam kecantikan dan kepandaian merayu.
Selain mendapat ujian berahi, Arjuna juga diuji kepandaian oleh Batara Indra yang menyamar sebagai Resi Padya. Di sini pun pertapa muda Arjuna lulus. Ia juga lulus ketika Goa Mintaraga yang jadi tempat pertapaan di Gunung Indrakila (yang berarti ’tempat suci yang kemilau’) diobrak-abrik oleh raksasa kepercayaan Niwatakawaca, yakni Mamangmurka. Ujian langsung bahkan datang dari Batara Guru sendiri, yang menyamar sebagai ksatria Kirata.
Ujian demi ujian di atas sengaja diberikan justru untuk memperlihatkan sisi-sisi kelemahan manusia, baik dalam kekuasaan, syahwat, maupun kepandaian. Bukan hanya di masa lalu, ujian seperti yang dialami oleh Arjuna di Goa Mintaraga juga dialami secara abadi oleh manusia hingga zaman sekarang.
Lakon Ciptaning menyampaikan pesan jelas, yaitu bahwa pencapaian satu tujuan luhur hanya bisa terjadi jika seseorang dapat melewati berbagai macam godaan yang memang menjadi kelemahan dirinya.
Pergelaran Swargaloka yang disampaikan dalam bahasa Indonesia sekitar 90 menit ini memberikan dimensi baru dalam upaya pelestarian wayang. Selain disaksikan oleh pencinta wayang, tontonan ini juga menarik minat generasi muda yang sering menganggap wayang sudah jadi seni antik. (ninok leksono)
Sumber: Kompas, Jumat, 25 Maret 2011
No comments:
Post a Comment