Sunday, March 27, 2011

[Buku] Akomodasi Pajak dan Zakat

-- Deddy Arsya

• Judul: Pajak Itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat
• Penulis: Masdar Farid Mas’udi
• Penerbit: Mizan
• Cetakan: I, Agustus 2010
• Tebal: xxxviii + 236 halaman
• ISBN: 978-979-433-397-6

NEGARA bergantung pada pajak. Pajak menjadi salah satu pemasukan paling penting bagi sebuah negara. Bagaimana seandainya pajak dihapuskan? Tentu, sudah dapat dipastikan, negara tidak akan berjalan dengan baik.

Tidak saja negara modern, dalam pemerintahan kuno sekalipun, pajak (dalam tipologinya yang lain) menjadi pilar yang menopang pembangunan dan keberlangsungan kekuasaan. Namun, di negara seperti Indonesia, yang bukan negara Islam secara legal-formal, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam, persoalan perpajakan menjadi dilematis dan mengandung ambivalensi. Di satu sisi, Islam mewajibkan zakat kepada penganutnya. Namun, di sisi lain, sebagai warga negara, juga dituntut untuk membayar pajak.

Di negara yang mayoritas muslim ini, pajak dan zakat dibedakan. Jika pajak untuk negara, maka zakat berada dalam wilayah agama. Kewajiban negara dan kewajiban agama dipisahkan. Akibatnya, seorang muslim di Indonesia harus menunaikan kedua-duanya sekaligus.

Lalu, bagaimana harus mendudukkan ambivalensi ini? Dapatkah, misalnya, orang yang telah membayar pajak tidak lagi wajib menunaikan zakat? Atau, mungkinkah kewajiban membayar pajak dapat menggantikan kewajiban membayar zakat? Dapatkah pajak dinilai sebagai zakat?

Keselarasan prinsip

Di tengah gelombang ketidakpercayaan terhadap dunia perpajakan, terutama dipicu oleh beberapa kasus pajak yang marak belakangan ini, publikasi Pajak Itu Zakat mungkin patut dibaca sebagai bahan pertimbangan.

Buku ini hendak mendudukkan kembali konstruksi hukum zakat dalam realitas masyarakat Islam kontemporer, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Mula-mula, buku ini menguraikan bagaimana Islam hadir sebagai agama yang berkeadilan sosial dan yang tidak sebatas ajaran-ajaran ritualistik. Islam mengakomodasikan keduanya. Islam, misalnya, mewajibkan menunaikan shalat (sebagai ibadah ritual). Perintah itu senantiasa diikuti oleh kewajiban membayarkan zakat (sebagai ibadah yang berafiliasi kepada kehidupan sosial).

Namun, dalam perjalanan sejarah, pemahaman tentang zakat terdistorsi. Ada pemahaman tentang zakat yang telah keliru diterapkan di tengah-tengah masyarakat muslim selama hampir 13 abad. Setidak-tidaknya, setelah periode Khulafarasyidin berakhir, zakat hanya menjadi aspek ibadah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Dogma-dogma para ahli hukum Islam (fukaha) telah melemparkan zakat hanya semata dimaknai secara asosial, formalitas yang ahistoris dan dogmatis.

Oleh sebab itu, pada masa negara-negara modern Islam, khususnya di Indonesia, posisi zakat seakan-akan terpisah dari negara. Zakat tetap dipahami sebagai persoalan agama semata, yang baku dan beku. Pemahaman tentang zakat, dengan kata lain, tidak berubah. Kalaupun terlihat penyegaran atas pemahaman itu, menurut buku ini, hanya bersifat tambal sulam belaka.

Seharusnya, pajak dan zakat dapat diakomodasikan karena konsep dasar pajak maupun zakat sama-sama untuk kebaikan bersama. Dalam buku ini diuraikan bagaimana konsep pajak berevolusi dalam lintasan sejarah. Awalnya pajak sebagai upeti untuk raja (ini berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan kuno), lalu pajak sebagai imbal jasa dengan penguasa, dan akhirnya pajak dimaknai sebagai sedekah untuk kemaslahatan rakyat sebuah negara. Konsep pajak yang terakhir ini, sesungguhnya, selaras dengan prinsip dasar zakat.

Keselarasan prinsip-prinsip dasar antara pajak dan zakat ini menjadi acuan bagaimana menjadikan pajak sebagai zakat atau sebaliknya. Buku ini menawarkan beberapa prinsip sederhana: pertama, kepada wajib pajak cukup dengan berniat zakat ketika membayar pajak, maka pajak yang dibayarkan sudah menjadi zakat. Oleh karena itu, wajib pajak telah berhak mendapatkan pahala berzakat.

Kedua, kepada pejabat dan aparat negara anggaplah diri sebagai ‘amil. Kelolalah uang pajak dengan penuh ketakwaan kepada Allah selaku Pemiliknya, sebagaimana layaknya mengelola zakat. Dan, ketiga, kepada semua pihak, langsung maupun wakilnya, awasilah setiap rupiah dari uang pajak itu agar benar-benar dibelanjakan untuk kemaslahatan segenap rakyat, terutama yang lemah.

Perspektif kemanusiaan

Penulis buku ini adalah seorang cendekiawan Nahdlatul Ulama, Masdar Farid Mas’udi, yang dikenal sebagai penganjur pandangan Islam Emansipatoris (Taharruri). Ini adalah sebuah pandangan yang melihat ajaran Islam dalam perspektif kemanusiaan. Bagi Masdar, dicatatkan dalam buku ini, pemahaman yang sahih tentang Islam ”tidak cukup hanya dilihat dari kesesuaian formal dengan bunyi teks, tetapi sekaligus dari efektivitasnya untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemartabatan manusia”.

Dekonstruksi atas hukum fikih konvensional tentang zakat yang dilakukan penulis bertolak dari perspektif di atas. Memang, usaha Masdar berpotensi menuai kritik. Gagasan-gagasan merombak hukum-hukum zakat dalam fikih konvensional yang telah bertahan dan menjadi baku selama berabad-abad dalam sejarah dunia Islam itu pasti belum akan dapat diterima begitu saja.

Namun, setiap zaman tentu punya permasalahannya sendiri-sendiri. Usaha kontekstualisasi hukum normatif pun sudah selayaknya terus-menerus dilakukan. Ini dimaksudkan agar kesesuaian antara yang normatif dan yang transformatif tercapai. Masyarakat Islam dewasa ini, misalnya, telah dihadapkan pada problematika sosial yang lebih kompleks daripada masyarakat Muslim ratusan tahun silam. Tekanan dan kebutuhan untuk mencari solusi atas problematika itu juga menuntut untuk menjadikan zakat lebih berafiliasi bagi penghancuran eskalasi kemiskinan yang paling mendesak. Tentu saja, mengingat zakat memiliki potensi ekonomi bagi bangsa Indonesia. Biar sejarah yang membuktikan.

Deddy Arsya
, Alumnus Sejarah Islam, IAIN Imam Bonjol; Sedang Melanjutkan Studi Pascasarjana Ilmu Sejarah di Universitas Andalas Padang

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Maret 2011

No comments: