Sunday, March 13, 2011

Gaya Penceritaan “Matias Akankari” dan “Armageddon”

-- Agus Sri Danardana

1. Pendahuluan
Konon, nilai sebuah karya sastra ditentukan oleh dua hal: isi dan bentuk. Isi berhubungan dengan apa yang disampaikan, sedangkan bentuk berhubungan dengan bagaimana menyampaikannya. Meskipun keberadaan isi dan bentuk ibarat dua sisi keping mata uang, dalam penilaian karya sastra (terutama puisi), bentuk sering mendapat perhatian yang lebih daripada isi. Dalam lomba penulisan karya sastra, misalnya, karena isi atau apa yang (harus) disampaikan sudah ditentukan oleh panitia (setidaknya melalui rumusan tema yang telah ditetapkan), biasanya penilaian akan lebih difokuskan pada bentuk.

“Matias Akankari” dan “Armageddon” adalah dua cerita pendek, masing-masing karya Gerson Poyk dan Danarto (dimuat dalam Rosidi, 1977:200-205 dan 451-462), yang memiliki bentuk berbeda. Perbedaan bentuk yang paling menonjol pada kedua cerpen itu terdapat pada gaya penceritaannya. Gerson menggunakan gaya penceritaan konvensional: cara bercerita yang sudah umum dikenal, sedangkan Danarto menggunakan gaya penceritaan yang inkonvensional: cara bercerita yang khusus, aneh, dan mengejutkan karena pengarang melakukan penyimpangan-penyimpangan. Oleh banyak orang, cerpen-cerpen Danarto dianggap sebagai karya nonrealis (lihat Tjitrosubono, dkk. 1985:94 dan Prihatmi, 1989:27-32). Pertanyaannya sekarang adalah apakah dengan demikian dapat dikatakan bahwa cerita yang konvensional secara otomatis lebih rendah mutunya daripada cerita yang inkonvensional? Atau sebaliknya, yang inkonvensional lebih rendah mutunya daripada yang konvensional? Tulisan ini, yang akan melihat gaya penceritaan dalam “Matias Akankari” dan “Armageddon”, akan mencoba menjawab pertanyaan itu.

2. “Matias Akankari” karya Gerson Poyk
Jika diamati sungguh-sungguh, cerpen “Matias Akankari” ini hampir seluruhnya disampaikan dengan narasi, sangat sedikit yang disampaikan dengan dialog. Dari sedikit dialog itu tidak satu pun dialog yang dilakukan oleh Matias Akankari (tokoh utama), kecuali dialog dengan bahasa isyarat. Cara penceritaan seperti itu (dalam cerpen ini) tentu saja bukan tanpa alasan. Secara tersurat, Matias adalah orang dari pedalaman (hutan) Irian Jaya yang buta bahasa Indonesia dan dibawa oleh parasutis ke Jakarta. Sebagai orang yang buta bahasa Indonesia, sudah selayaknya jika Matias tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang Jakarta. Secara tersirat, Matias adalah semacam simbol/lambang keterbelakangan (keprimitifan). Sebagai konsekuensi logisnya, orang primitif akan mengalami gangguan komunikasi dengan orang modern, seperti yang dialami oleh Matias Akankari.

Untuk memperkuat ceritanya, Gerson banyak menggunakan ironi. Saking banyaknya ironi, bahkan dapat dikatakan bahwa cerpen “Matias Akankari” dibangun dari ironi-ironi. Sebagaimana layaknya majas (figure of speech) lainnya yang dapat digunakan untuk mengonkretkan dan menghidupkan karyanya (lihat Moeliono, 1989:175), ironi-ironi itu rupanya sengaja digunakan Gerson Poyk untuk memperlihatkan kekontrasan-kekontrasan yang ingin dibangunnya. Bagaimana tidak? Pada kalimat pertamanya saja, ironi itu sudah muncul: Matias Akankari dibawa dari hutan rimba Irian Jaya oleh seorang parasutis. Agar kekontrasan antara Matias dan parasutis tampak jelas, ironi (dengan penggunaan kata dibawa, yang berarti Matias dianggap sebagai benda mati) digunakan. Yang menarik di sini adalah penggunaan beberapa ironi sekaligus untuk satu kekontrasan. Di samping ironi dengan penggunaan kata dibawa, terdapat ironi lain (yang menggunakan bentuk bahasa lain) seperti berikut ini.

(a) Celakanya ia tidak bisa berbahasa Indonesia, tetapi ia—Matias—merupakan guide yang sangat bisa dipercaya, yang menyelamatkan parasutis itu dari marabahaya, dan ….
(b) Tidak seperti orang-orang dari Jakarta lainnya yang bertugas di Irian Jaya, pulang menenteng TV, kulkas, dan segala barang-barang mewah peninggalan Belanda, parasutis itu membawa sahabatnya Matias, sahabat dalam duka, sahabat yang tak pernah ia lupa.
(c) Tetapi Matias ini, lebih dari barang lux. Makannya sampai tiga piring sehingga dalam sehari saja sudah sembilan piring yang masuk ke perutnya. …. Mana gajinya cukup untuk memberi makan “barang lux” ini?

Masih dalam kerangka pengontrasan Matias dan parasutis, ironi lain tetap dibangun. Sungguh ironis jika Matias yang tidak dapat berbahasa Indonesia itu dijadikan guide yang sangat bisa dipercaya. Sungguh ironis jika Matias disejajarkan dengan TV, kulkas, dan segala barang-barang mewah peninggalan Belanda. Sungguh ironis jika Matias justru dianggap melebihi barang lux oleh parasu-tis.

Ironi juga digunakan untuk mengontraskan keterpasungan dan kebebasan; kepedulian dan kemasabodohan; serta keprimitifan dan kemodernan. Bukankah sebuah ironi jika seorang Irian Jaya (Matias) merasa terpasung justru di bawah Patung Pembebasan Irian Jaya? Bukankah sebuah ironi jika orang seprimitif Matias memiliki kepedulian sosial yang tinggi daripada orang-orang Jakarta yang konon menganggap dirinya lebih modern? Dan, bukankah sebuah ironi jika orang-orang modern (khususnya high class di Jakarta) memiliki peradaban yang sama dengan orang-orang primitif di Irian Jaya: sama-sama pakai cawat?

Di samping ironi, dalam cerpen ini juga banyak digunakan perbandingan-perbandingan, baik simile (perbandingan eksplisit), metafora (perbandingan implisit) maupun penginsanan. Sekadar contoh dapat disebut beberapa perbandingan berikut.

(a) “Saya ini sudah payah berjalan kaki keliling kota sehingga sol sepatu saya sudah kayak lidah biawak! Saya ini seorang sarjana, tetapi belum mendapat pekerjaan.”
(b) Laki-laki itu hanya mendengar bunyi-bunyi dan matanya hanya melihat jalannya sepatu baru yang menuju kakinya.
(c) Ia berada di tengah hutan lampu, batang-batang tubuh manusia, hutan roda becak dan mobil, hutan bunyi, pendeknya hutan huru-hara yang tidak setenang dan seramah seperti rimba. Terapung-apunglah ia berjalan sendirian.

Baik contoh (a) yang menggunakan simile, contoh (b) yang menggunakan penginsanan, maupun contoh (c) yang menggunakan metafora sama-sama dimanfaatkan untuk memberi “gambar hidup” sehingga kekontrasan yang ingin ditampilkan dapat ditangkap dengan jelas. Pada contoh (a) yang dikontraskan adalah sepatu Matias yang bagus dengan sepatu sarjana yang sudah kayak lidah biawak; pada contoh (b) yang dikontraskan adalah kepedulian (rasa belas-kasih) Matias dengan kemasabodohan sarjana; serta pada contoh (a) yang dikontraskan adalah (kota) Jakarta dan (hutan) Irian Jaya. Semuanya itu digunakan Gerson Poyk untuk memperkuat ide besarnya: gambaran masyarakat yang berperadaban primitif dan masyarakat yang berperadaban modern.

Di samping ironi dan perbandingan, untuk memberi gambaran yang jelas dan untuk menimbulkan suasana yang khusus kepada pembaca atas kekontrasan yang ditampilkannya, cerpen karya Gerson Poyk ini juga banyak menggunakan citraan (imagery). Menurut Altenbernd (melalui Pradopo, 1987:79—80), citraan ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Setiap gambar pikiran disebut citra (image).

Ada dua jenis citraan yang menonjol digunakan dalam cerpen ini. Kedua jenis citraan itu adalah citraan penglihatan (visual imagery) dan citraan pendengaran (auditory imagery). Beberapa contoh (kutipan) berikut memperlihatkan hal itu.
(a) Matanya menjadi kaget dengan semua cemerlang neon dan lampu-lampu kota.
(b) Matanya berkedip-kedip, kepalanya ditolehkan ke kanan-kiri dan sebentar, seolah-olah dipluntirnya ke belakang bilamana pemandangan yang menarik tercecer ditinggal pergi oleh mobil yang berlari kencang.
(c) Jantungnya berdebar-debar. … mulutnya tidak bisa berbunyi. Hanya matanya yang merah-merah dan kulitnya yang hitam berputar-putar di antara batang-batang tubuh manusia, mencari sahabatnya. …. dan sesampainya di luar jantungnya berbunyi: Byar! Byar! Byar!
(d) Seorang laki-laki muda menenteng map, berjalan terapung-apung dari jauh.
(e) Melihat ada orang yang serupa bentuknya dengan dia tidak tanggung-tanggung Matias melompat dan melekat ke buntut mobil itu.

Demikianlah, Gerson Poyk telah berhasil dengan baik menyajikan kekontrasan-kekontrasan dengan berbagai gaya. Kekontrasan yang di awal dan di akhir cerita dikemas dalam bentuk ironi ini dapat menumbuhkan keyakinan bahwa melalui cerpennya ini Gerson Poyk memang ingin berteriak, “Ironis jika orang-orang yang mengaku modern kalah beradab dengan orang-orang yang dianggap primitif. Ironis jika orang-orang yang mengaku kaya kalah berderma dengan orang-orang yang dianggap miskin. Ironis jika …”

3. “Armegeddon” karya Danarto
Pada mulanya, konon Armageddon adalah nama suatu tempat perang besar antarbangsa sebelum hari pengadilan. Kata itu kemudian bermakna perang besar atau pembunuhan. Menurut Brewer (melalui Tjitrosubono, 1985:80), Armageddon terletak di gunung-gunung tandus dekat Megido, yang sekarang bernama Leyyun, kira-kira 87 km sebelah utara Yerusalem.

Terlepas dari benar-tidaknya pendapat Brewer di atas, Danarto menggambarkan latar cerpen ini sebagai berikut.

Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu. Belalang mencuat mengorek sayapnya, ilalang pucat karena panasNya. Dataran tandus dataran batu, dataran rumput, dataran ilalang. Belalang bertengger di batu-batu. Batu diremas-remasNya menjadi debu. Dan debu diterbangkan angin pudar ke segala penjuru. Batu-batu. Dataran tandus penuh batu-batu. Batu-batu besar. Besar sekali. Berbongkah-bongkah. Persegi. Di sana-sini tumbuh rumput-rumput. Jarang sekali. Rumput pun susah hidup di sini. Angin berembus kencang sekali, panas menyengat kulit. Udara pengap menyesakkan paru-paru. Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut dan terpental-pental diterbangkan angin, menumbuk bongkahan batu, terkapar dan dilarikan angin lagi, jauh lagi, menumbuk bongkahan batu-batu lagi, terkapar tungang-langang, kusut-masai, hinga sampailah ia pada suatu lekukan batu yang menganga lebar, karena digerogoti angin sepanjang masa…

Membaca kutipan di atas (terutama bagian awal), yang menjadi pembuka cerpen ini, di samping mendapatkan gambaran latar yang berkesan tandus dan mengerikan (seperti yang dinyatakan Brewer di atas), kita juga diingatkan pada bentuk puisi lama Indonesia: pantun. Meskipun tidak berima akhir a b a b, irama pantun yang terdiri atas 4-5 kata dalam setiap barisnya itu dapat kita temukan pada dua kalimat Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus ak kenal waktu. Belalang mencuat mencuat mengorek sayapnya, ilalang pucat karena panasNya.

Kepuitisan cerpen “Armageddon” juga terlihat pada pengggunaan kalimat-kalimat pendek yang kadang-kadang hanya terdiri atas satu kata. Di samping itu, dominannya bunyi d dan b serta rima akhir us dan u, seperti yang tampak pada kata tandus, lurus, batu, debu, dan waktu, mampu memunculkan suasana yang berat, keras, dan kaku. Bahkan, di bagian akhir cerpen ini kita pun dapat menemukan dua buah sajak: yang pertama berhubungan dengan lukisan perasaan bekakrakan yang merasa puas sehabis meminum darah anak perempuan yang dibunuh ibunya; sedang yang kedua (yang sekaligus mengakhiri cerpen ini) berhubungan dengan penyesalan ibu yang menyaksikan Boneka, kekasihnya, bersetubuh dengan seorang gadis lain. Berikut ini adalah kutipan kedua sajak tersebut.

(1) Semburan cahaya darah.
Langi darah
udara darah
dataran ttandus darah
batu-batu darah
rumput-rumput darah
bulan sepotong semangka gemetar dibalut darah.

(2) Bulan sepotong semangka meleleh
Langit meleleh
semburat cahaya meleleh
udara meleleh
dataran tandus meleleh
batu-batu meleleh
rumput-rumput meleleh

Dilihat dari segi pengaluran, sebenarnya “Armageddon” tidak beralur lurus. Namun, karena Danarto menciptakan tokoh Bekakrakan (yang memiliki kemampuan “sihir”: mampu menggelar peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam sebuah tontonan seperti pertunjukan sandiwara serta mampu melakukan pekerjaan tak masuk akal lainnya), pembaca tidak merasakan adanya pengulangan penceritaan sehingga terkesan lurus dan datar. Pengulangan peristiwa kepergian si gadis dengan pacar ibunya selama lima hari lima malam, misalnya, dengan memanfaatkan Bekakrakan, Danarto menggelar kembali adegan cumbu-rayu si gadis dengan Boneka (pacar ibunya) tidak dengan pola narasi dengan teknik backtracking seperti fiksi lain umumnya.

Hal lain yang menarik dari cerpen Danarto ini adalah adanya dua bentuk penuturan: dialog dan narasi yang dimanfaatkan secara maksimal. Dialog dan narasi itu hadir secara bergantian sehingga kisah yang ditampilkan tidak terkesan monoton, tetapi terasa variatif dan segar. Dialog (percakapan) digunakan untuk memberikan kesan realistis dan sungguh-sungguh serta memberi penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan dengan narasi.

4. Penutup
Demikianlah, ternyata gaya penceritaan sangat penting dalam penulisan kreatif. Gaya penceritaan tidak hanya dapat memperjelas penyampaian isi serta mendukung bentuk cerita, tetapi juga memunculkan keasyikan sehingga akan sangat membantu pembaca dalam memahami sebuah cerita.

Dengan kepiawan dan gayanya masing-masing, Gerson Poyk dan Danarto berhasil menyajikan cerpen yang sangat bermutu. Dengan gaya bercerita naratif, Gerson telah menyajikan sebuah cerpen berjudul “Matias Akankari” yang sangat menarik. Sementara itu, dengan susunan asonansi, aliterasi, dan perulangan-perulangan yang rapi teratur, Danarto telah menyuguhi kita sebuah cerpen berjudul “Armageddon” yang sangat puitik. n

Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau dan Pemimpin Redaksi Jurnal Bahasa dan Sastra Madah. Tinggal di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 13 Maret 2011

No comments: