-- Vien Dimyati
Dia melukis di atas novel. Suklu juga suka membaca dan mengoleksi buku. Seniman yang juga dosen ini ingin membuat museum yang menyimpan semua karya-karyanya.
Dengan menggenggam arang hitam dan membawa buku novel tebal, pria berkemeja coklat dan jeans belel itu terlihat seperti orang biasa. Mungkin jika orang yang melihat namun tidak mengenalnya akan menyangka dia hanya orang biasa yang berpakaian lusuh. Tapi siapa sangka I Wayan Sujana atau pria yang akrab disapa Suklu ini, namanya telah tercatat di ranah seni rupa baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tidak heran jika perupa kelahiran Klungkung, Bali, 6 Februari 1967 ini tidak begitu memperhatikan penampilannya. Ia selalu berpenampilan apa adanya.
Saat itu kebetulan, ia menjadi salah satu pembicara dalam perhelatan Bali Act 2013, di Bentara Budaya, Denpasar, Bali. Di hadapan mahasiswa dengan gaya yang tidak biasa ia mampu mengalihkan perhatian seisi ruangan tersebut dengan aksinya menggores arang hitam pekat di tiap lembaran kertas novel menjadi sebuah lukisan.
Dosen Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini termasuk perupa yang suka membaca dan mengoleksi buku. Bahkan, menurut Suklu, dirumahnya berjejer rak-rak buku yang di kemudian hari katanya ia ingin sekali membuat museum khusus menyimpan semua karya-karyanya. Suklu terkenal sebagai perupa yang berbeda dengan perupa lainnya. Biasanya kebanyakan seniman selalu menuangkan ide-idenya di atas kanvas. Berbeda dengan Suklu, sudah hampir 10 tahun belakangan ini ia lebih senang melukis di atas novel (Drawing on Novel).
“Saya senang melukis di atas media yang memiliki sejarah. Novel memiliki sejarah. Karena sudah dibaca sama pemiliknya kemudian saya menggambar di novel tersebut. Tidak hanya novel, media lainnya seperti drum, barang-barang dapur yang terbuat dari besi, ketika dikaryakan bisa jadi karya seni. Benda-benda ini punya sejarah, karena telah terpakai,‘ kata Suklu.
Namun demikian, pria yang telah memiliki empat orang anak ini, dalam menggambar di novel, ia tidak pernah terpengaruh dengan isi novel. Bahkan, gambar tersebut bercerita tentang hal lain dan bertentangan dengan isi novel. “Maka itu, lebih baik menggambar di novel yang bahasanya tidak kita mengerti. Pikiran tidak terpengaruh oleh isi novel. Saya bukan seorang illustrator makanya saya tidak akan membaca isinya,‘ kata Suklu yang bercerita sambil menggambar di novel.
Dan tanpa disadarinya gambar tersebut nampak seperti wanita. “Contohnya seperti gambar saya ini. Kita lagi asik ngobrol tiba-tiba jadi gambar perempuan. Karena yang saya ajak bicara perempuan. Jadi alam bawah sadar yang menggerakkan tangan saya,‘ kata Suklu sambil memperlihatkan gambarnya.
Suklu memang tipe seniman yang selalu gelisah dengan ide-ide kreatif dan inovatif. Misalnya, pada tahun 2009, dia menjadi salah seorang penggagas kegiatan “Apa Ini, Apa Itu‘, festival yang mewadahi berbagai bentuk seni. Kegiatan yang melibatkan seniman dari dalam dan luar negeri itu digelar di sekitar studionya yang luas dan asri dan di pantai Lepang yang menghampar tak jauh dari rumahnya.
Tidak Dikomersialkan
Bagi kebanyakan seniman, biasanya berkarya untuk dikomersialkan, selain untuk menuangkan ide-idenya. Namun bagi Suklu, novel-novel yang pernah ia gambar tidak akan ia komersialkan. Karena ia ingin menyimpan karya-karyanya tersebut dengan baik. Hingga suatu saat impiannya membuat museum untuk menyimpan karya-karyanya ini dapat tercapai. “Saya ingin membuat museum sendiri. Museum tersebut hanya berisi koleksi karya-karya saya,‘ katanya.
Menurut Suklu, ia ingin karya-karyanya menjadi karya yang autentik. Jika ada orang yang tertarik ingin membeli karyanya, mereka hanya boleh memfoto dan di-copy. “Ini karya ekspresif dan tidak dapat diulang lagi. Kalau mereka mau di foto saja dan silahkan dicetak. Semua karya-karya yang sudah saya buat semua saya hafal,‘ kata pria yang memiliki koleksi novel hingga ribuan ini.
Memang ia bukan seniman yang biasa, Suklu tidak ingin mentok sebagai perupa yang menuangkan idenya di novel saja. Kecintaannya akan seni juga ditunjukkan sejak 2011, Suklu juga mengembangkan Komunitas Batubelah yang diasuhnya menjadi BatuBelah Art Space (BBAS). Suklu merangkul beberapa seniman dan budayawan untuk ikut mengonsep visi dan misi serta menggodok program-program andalan BBAS. Pergerakan utama BBAS adalah pengembangan laboratorium seni yang berbasiskan pada konsep, riset, dan eksperimen multikultural (tradisional, modern dan kontemporer), terutama untuk seni dan budaya Bali.
Dalam setiap kegiatan kesenian itu, Suklu selalu melibatkan warga lokal menjadi relawan. Seperti, ikut membantu seniman pada saat berproses dan membuat seni instalasi. Secara langsung, Suklu membiasakan warga lokal mengapresiasi kesenian kontemporer, sesuatu yang mungkin asing dan aneh bagi pandangan mereka.
Lakoni Hidup dengan Seni
Pada tahun 1987, Suklu menamatkan pendidikannya di SMSR Denpasar. Awal ia mendapatkan pencerahan adalah ketika ia pernah menghadiri diskusi budaya di Art Centre yang membahas ketokohan Ida Pedanda Made Sidemen. Hal yang paling mengesankan Suklu dari diskusi itu adalah pemaparan laku kehidupan Ida Pedanda Made Sidemen yang sangat meditatif. Diskusi itu menjadi titik awal pencerahan bagi Suklu. “Dari diskusi itu saya berkeyakinan, bahwa proses berkesenian merupakan salah satu bentuk meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Yang terpenting prosesnya, bukan hasil akhir,‘ kata Suklu.
Berpijak dari keyakinan itulah, Suklu melakoni jalan hidup berkeseniannya dan melahirkan karya-karyanya. Pada masa-masa 1987 itu pula Suklu menetap di Ubud dan menekuni seni lukis tradisi, terutama gaya Ubud. Selama dua setengah tahun dia nyantrik di rumah Ketut Lier. Selain sebagai pelukis tradisi Ubud yang pernah bergabung dalam Pita Maha, Ketut Lier juga dikenal sebagai balian dan pernah ikut main film “Eat Pray Love‘ (2010) yang dibintangi Julia Robert. Dari Ketut Lier, Suklu banyak menyerap teknik dan filosofi seni lukis tradisi Ubud.
Pada tahun 1992, Suklu melanjutkan pendidikan seni lukisnya di STSI Denpasar, hingga tamat tahun 1997. Suklu termasuk angkatan pertama di jurusan seni lukis STSI Denpasar. Di bangku akademis itu, talenta Suklu semakin diasah, baik secara teknik maupun wawasan tentang seni rupa modern dan kontemporer. Hingga kini, Suklu mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya.
“Di bangku kuliah saya tidak hanya menyerap teknik seni lukis modern, namun juga wawasan dan pengetahuan seni rupa modern melalui diskusi dan mengikuti mata kuliah kajian dan kritik seni,‘ kata Suklu.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 November 2013
Dia melukis di atas novel. Suklu juga suka membaca dan mengoleksi buku. Seniman yang juga dosen ini ingin membuat museum yang menyimpan semua karya-karyanya.
Dengan menggenggam arang hitam dan membawa buku novel tebal, pria berkemeja coklat dan jeans belel itu terlihat seperti orang biasa. Mungkin jika orang yang melihat namun tidak mengenalnya akan menyangka dia hanya orang biasa yang berpakaian lusuh. Tapi siapa sangka I Wayan Sujana atau pria yang akrab disapa Suklu ini, namanya telah tercatat di ranah seni rupa baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tidak heran jika perupa kelahiran Klungkung, Bali, 6 Februari 1967 ini tidak begitu memperhatikan penampilannya. Ia selalu berpenampilan apa adanya.
Saat itu kebetulan, ia menjadi salah satu pembicara dalam perhelatan Bali Act 2013, di Bentara Budaya, Denpasar, Bali. Di hadapan mahasiswa dengan gaya yang tidak biasa ia mampu mengalihkan perhatian seisi ruangan tersebut dengan aksinya menggores arang hitam pekat di tiap lembaran kertas novel menjadi sebuah lukisan.
Dosen Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini termasuk perupa yang suka membaca dan mengoleksi buku. Bahkan, menurut Suklu, dirumahnya berjejer rak-rak buku yang di kemudian hari katanya ia ingin sekali membuat museum khusus menyimpan semua karya-karyanya. Suklu terkenal sebagai perupa yang berbeda dengan perupa lainnya. Biasanya kebanyakan seniman selalu menuangkan ide-idenya di atas kanvas. Berbeda dengan Suklu, sudah hampir 10 tahun belakangan ini ia lebih senang melukis di atas novel (Drawing on Novel).
“Saya senang melukis di atas media yang memiliki sejarah. Novel memiliki sejarah. Karena sudah dibaca sama pemiliknya kemudian saya menggambar di novel tersebut. Tidak hanya novel, media lainnya seperti drum, barang-barang dapur yang terbuat dari besi, ketika dikaryakan bisa jadi karya seni. Benda-benda ini punya sejarah, karena telah terpakai,‘ kata Suklu.
Namun demikian, pria yang telah memiliki empat orang anak ini, dalam menggambar di novel, ia tidak pernah terpengaruh dengan isi novel. Bahkan, gambar tersebut bercerita tentang hal lain dan bertentangan dengan isi novel. “Maka itu, lebih baik menggambar di novel yang bahasanya tidak kita mengerti. Pikiran tidak terpengaruh oleh isi novel. Saya bukan seorang illustrator makanya saya tidak akan membaca isinya,‘ kata Suklu yang bercerita sambil menggambar di novel.
Dan tanpa disadarinya gambar tersebut nampak seperti wanita. “Contohnya seperti gambar saya ini. Kita lagi asik ngobrol tiba-tiba jadi gambar perempuan. Karena yang saya ajak bicara perempuan. Jadi alam bawah sadar yang menggerakkan tangan saya,‘ kata Suklu sambil memperlihatkan gambarnya.
Suklu memang tipe seniman yang selalu gelisah dengan ide-ide kreatif dan inovatif. Misalnya, pada tahun 2009, dia menjadi salah seorang penggagas kegiatan “Apa Ini, Apa Itu‘, festival yang mewadahi berbagai bentuk seni. Kegiatan yang melibatkan seniman dari dalam dan luar negeri itu digelar di sekitar studionya yang luas dan asri dan di pantai Lepang yang menghampar tak jauh dari rumahnya.
Tidak Dikomersialkan
Bagi kebanyakan seniman, biasanya berkarya untuk dikomersialkan, selain untuk menuangkan ide-idenya. Namun bagi Suklu, novel-novel yang pernah ia gambar tidak akan ia komersialkan. Karena ia ingin menyimpan karya-karyanya tersebut dengan baik. Hingga suatu saat impiannya membuat museum untuk menyimpan karya-karyanya ini dapat tercapai. “Saya ingin membuat museum sendiri. Museum tersebut hanya berisi koleksi karya-karya saya,‘ katanya.
Menurut Suklu, ia ingin karya-karyanya menjadi karya yang autentik. Jika ada orang yang tertarik ingin membeli karyanya, mereka hanya boleh memfoto dan di-copy. “Ini karya ekspresif dan tidak dapat diulang lagi. Kalau mereka mau di foto saja dan silahkan dicetak. Semua karya-karya yang sudah saya buat semua saya hafal,‘ kata pria yang memiliki koleksi novel hingga ribuan ini.
Memang ia bukan seniman yang biasa, Suklu tidak ingin mentok sebagai perupa yang menuangkan idenya di novel saja. Kecintaannya akan seni juga ditunjukkan sejak 2011, Suklu juga mengembangkan Komunitas Batubelah yang diasuhnya menjadi BatuBelah Art Space (BBAS). Suklu merangkul beberapa seniman dan budayawan untuk ikut mengonsep visi dan misi serta menggodok program-program andalan BBAS. Pergerakan utama BBAS adalah pengembangan laboratorium seni yang berbasiskan pada konsep, riset, dan eksperimen multikultural (tradisional, modern dan kontemporer), terutama untuk seni dan budaya Bali.
Dalam setiap kegiatan kesenian itu, Suklu selalu melibatkan warga lokal menjadi relawan. Seperti, ikut membantu seniman pada saat berproses dan membuat seni instalasi. Secara langsung, Suklu membiasakan warga lokal mengapresiasi kesenian kontemporer, sesuatu yang mungkin asing dan aneh bagi pandangan mereka.
Lakoni Hidup dengan Seni
Pada tahun 1987, Suklu menamatkan pendidikannya di SMSR Denpasar. Awal ia mendapatkan pencerahan adalah ketika ia pernah menghadiri diskusi budaya di Art Centre yang membahas ketokohan Ida Pedanda Made Sidemen. Hal yang paling mengesankan Suklu dari diskusi itu adalah pemaparan laku kehidupan Ida Pedanda Made Sidemen yang sangat meditatif. Diskusi itu menjadi titik awal pencerahan bagi Suklu. “Dari diskusi itu saya berkeyakinan, bahwa proses berkesenian merupakan salah satu bentuk meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Yang terpenting prosesnya, bukan hasil akhir,‘ kata Suklu.
Berpijak dari keyakinan itulah, Suklu melakoni jalan hidup berkeseniannya dan melahirkan karya-karyanya. Pada masa-masa 1987 itu pula Suklu menetap di Ubud dan menekuni seni lukis tradisi, terutama gaya Ubud. Selama dua setengah tahun dia nyantrik di rumah Ketut Lier. Selain sebagai pelukis tradisi Ubud yang pernah bergabung dalam Pita Maha, Ketut Lier juga dikenal sebagai balian dan pernah ikut main film “Eat Pray Love‘ (2010) yang dibintangi Julia Robert. Dari Ketut Lier, Suklu banyak menyerap teknik dan filosofi seni lukis tradisi Ubud.
Pada tahun 1992, Suklu melanjutkan pendidikan seni lukisnya di STSI Denpasar, hingga tamat tahun 1997. Suklu termasuk angkatan pertama di jurusan seni lukis STSI Denpasar. Di bangku akademis itu, talenta Suklu semakin diasah, baik secara teknik maupun wawasan tentang seni rupa modern dan kontemporer. Hingga kini, Suklu mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya.
“Di bangku kuliah saya tidak hanya menyerap teknik seni lukis modern, namun juga wawasan dan pengetahuan seni rupa modern melalui diskusi dan mengikuti mata kuliah kajian dan kritik seni,‘ kata Suklu.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 November 2013
No comments:
Post a Comment