PERISTIWA 13 Mei 1999 di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, membuka penggalan cerita buku setebal 289 halaman yang berjudul Daun Putri Malu, karya Magdalena Sitorus. Di lokasi itu, seorang aktivis perempuan bernama Lia berdiri dengan lantang sambil meneriakkan, “Para pelaku kekerasan harus diadili dan negara wajib meminta maaf secara terbuka,†kata Lia dengan toa menempel di mulut.
Pengalaman pertama Lia berdemonstrasi rupanya menggoreskan pengalaman buruk. Tagor, kawan aktivisnya, tertembak timah panas milik tentara. Adapun Lia nyaris tertangkap oleh segerombolan pria berseragam loreng hijau. Meski nyaris meregang nyawa, pengalamannya di Bundara HI menyeret Lia, tokoh utama dalam buku ini, ke dalam dunia aktivis. Ia rela meninggalkan zona nyamannya sebagai sekretaris sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang perminyakÂan, untuk mengikuti kata hatinya menjadi seorang aktivis di sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Seraya (Solidaritas untuk Perempuan dan Anak Teraniaya dalam Rumah Tangga).
Magdalena banyak mengisahkan paradoks dalam dunia aktivis. Misalnya soal Lia. Magdalena menggambarkan sosok ibu dua anak itu sebagai perempuan yang mendewakan kejujuran sebagai pedangnya. Apa pun situasinya, kejujuran merupakan pangÂlima tertinggi, begitu prinsip Lia. Kejujuran itu ia tularkan ke lingkungan keluarga dan rekan kerjanya, termasuk juga kepada Parmin, sang pembantu. Daun putri malu memang punya makna tersendiri bagi Magdalena ketika ia kecil. Ia meyakini, menggenggam daun itu mampu memberikan keberanian untuk mengungkap kejujuran.
Kisah paradoks yang dimaksud dalam buku ini ialah ketika Magdalena sedikit menguliti topeng kehidupan para aktivis secara halus. Ratna, sang ketua Yayasan Seraya, digambarkan sebagai perempuan paruh baya yang menyukai barang-barang mahal, seperti tas Louis Vuitton dan lebih memilih pesawat kelas bisnis kala bepergian.
Ada juga Anggie, sahabatnya kala duduk di sekolah dasar, yang memilih tas dari merek terkenal lainnya. Para aktivis itu tak jarang bergumul dalam diskusi soal pekerjaan ataupun kehidupan pribadi, ditemani muffin dan secangkir coffee latte panas di sebuah kedai kopi asal Amerika Serikat. Entah disengaja atau tidak, Magdalena kerap menampilkan paradoks seperti ini.
Perang ideologi
Ada juga kritik Magdalena kepada LSM yang memang roda organisasinya banyak bergantung kepada pendanaan dari luar negeri. Namun, ketergantungan itu, menurut kacamata Magdalena, menjadi tak sehat karena mengakibatkan hubungan antara donatur dan LSM menjadi tak sehat. Organisasi nirlaba tersebut kerap ‘memanipulasi’ situasi agar donatur tetap mengucurkan bantuan mereka. Ada perang ideologis dan rasional.
Lewat sosok Lia, Magdalena ingin mengingatkan bahwa berjalan di dunia aktivis ialah suatu pengabdian yang mengedepankan hati. Bukan sebagai ajang mencari ketenaran, apalagi bergelimang harta.
Sebagai aktivis, Magdalena juga menyematkan petuah kepada para pegiat di jalan ini. Ia mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam bukanya, Bumi Manusia, ‘Adil sejak dalam pikiran’. Lewat sosok Anggi, Magdalena mengkritik perempuan aktivis yang kadang tak menyadari bahwa mereka juga sering melakukan keÂkerasan kepada perempuan lainnya. Kadang, musuh utama perempuan ialah kaum mereka sendiri. Hal itu tecermin di dalam sosok Anggi yang menjalin asmara dengan pria beristri. “Meski tak menyakiti secara fisik, itu termasuk kekerasan psikis. Karena perselingkuhan itu adalah tindak kekerasan terhadap si istri atau anak-anak dari si lelaki atau perempuan tersebut. Mereka terluka,†kata Lia dalam satu dialog kepada Anggi.
Magdalena juga menekankan pentingnya keluarga sebagai tempat tumbuh dan kembang seorang anak secara psikologis. Daun Putri Malu adalah novel semifiksi yang berangkat dari pengalaman hidup sang penulis.
Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini, selain gurih untuk dinikmati, juga dapat dijadikan bacaan wajib bagi para aktivis. (Pol/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013
Pengalaman pertama Lia berdemonstrasi rupanya menggoreskan pengalaman buruk. Tagor, kawan aktivisnya, tertembak timah panas milik tentara. Adapun Lia nyaris tertangkap oleh segerombolan pria berseragam loreng hijau. Meski nyaris meregang nyawa, pengalamannya di Bundara HI menyeret Lia, tokoh utama dalam buku ini, ke dalam dunia aktivis. Ia rela meninggalkan zona nyamannya sebagai sekretaris sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang perminyakÂan, untuk mengikuti kata hatinya menjadi seorang aktivis di sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Seraya (Solidaritas untuk Perempuan dan Anak Teraniaya dalam Rumah Tangga).
Magdalena banyak mengisahkan paradoks dalam dunia aktivis. Misalnya soal Lia. Magdalena menggambarkan sosok ibu dua anak itu sebagai perempuan yang mendewakan kejujuran sebagai pedangnya. Apa pun situasinya, kejujuran merupakan pangÂlima tertinggi, begitu prinsip Lia. Kejujuran itu ia tularkan ke lingkungan keluarga dan rekan kerjanya, termasuk juga kepada Parmin, sang pembantu. Daun putri malu memang punya makna tersendiri bagi Magdalena ketika ia kecil. Ia meyakini, menggenggam daun itu mampu memberikan keberanian untuk mengungkap kejujuran.
Kisah paradoks yang dimaksud dalam buku ini ialah ketika Magdalena sedikit menguliti topeng kehidupan para aktivis secara halus. Ratna, sang ketua Yayasan Seraya, digambarkan sebagai perempuan paruh baya yang menyukai barang-barang mahal, seperti tas Louis Vuitton dan lebih memilih pesawat kelas bisnis kala bepergian.
Ada juga Anggie, sahabatnya kala duduk di sekolah dasar, yang memilih tas dari merek terkenal lainnya. Para aktivis itu tak jarang bergumul dalam diskusi soal pekerjaan ataupun kehidupan pribadi, ditemani muffin dan secangkir coffee latte panas di sebuah kedai kopi asal Amerika Serikat. Entah disengaja atau tidak, Magdalena kerap menampilkan paradoks seperti ini.
Perang ideologi
Ada juga kritik Magdalena kepada LSM yang memang roda organisasinya banyak bergantung kepada pendanaan dari luar negeri. Namun, ketergantungan itu, menurut kacamata Magdalena, menjadi tak sehat karena mengakibatkan hubungan antara donatur dan LSM menjadi tak sehat. Organisasi nirlaba tersebut kerap ‘memanipulasi’ situasi agar donatur tetap mengucurkan bantuan mereka. Ada perang ideologis dan rasional.
Lewat sosok Lia, Magdalena ingin mengingatkan bahwa berjalan di dunia aktivis ialah suatu pengabdian yang mengedepankan hati. Bukan sebagai ajang mencari ketenaran, apalagi bergelimang harta.
Sebagai aktivis, Magdalena juga menyematkan petuah kepada para pegiat di jalan ini. Ia mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam bukanya, Bumi Manusia, ‘Adil sejak dalam pikiran’. Lewat sosok Anggi, Magdalena mengkritik perempuan aktivis yang kadang tak menyadari bahwa mereka juga sering melakukan keÂkerasan kepada perempuan lainnya. Kadang, musuh utama perempuan ialah kaum mereka sendiri. Hal itu tecermin di dalam sosok Anggi yang menjalin asmara dengan pria beristri. “Meski tak menyakiti secara fisik, itu termasuk kekerasan psikis. Karena perselingkuhan itu adalah tindak kekerasan terhadap si istri atau anak-anak dari si lelaki atau perempuan tersebut. Mereka terluka,†kata Lia dalam satu dialog kepada Anggi.
Magdalena juga menekankan pentingnya keluarga sebagai tempat tumbuh dan kembang seorang anak secara psikologis. Daun Putri Malu adalah novel semifiksi yang berangkat dari pengalaman hidup sang penulis.
Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini, selain gurih untuk dinikmati, juga dapat dijadikan bacaan wajib bagi para aktivis. (Pol/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013
No comments:
Post a Comment