Sunday, November 17, 2013

[Jendela Buku] Memetakan Karya dan Mengenal Kota

-- Iwan Kurniawan

DUA penari perempuan langsing dengan kepala tertutup kain putih hingga baju dan rok melangkah perlahan. Mereka mulai menggerakkan tubuh secara perlahan. Salah satunya terlihat masuk ke sebuah ember yang di dalamnya terdapat cairan biru.

MERIAHNYA JAKARTA BIENNALE 2013: Pengunjung melihat pameran Jakarta
Biennale 2013 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (9/11). Pameran
Jakarta Biennale 2013 yang 15 tahun yang merpakan perhelatan seni rupa
kontemporer berskala International yang di selenggarakan dua tahun
tersebut akan berlangsung dari tangga 9-30 November. MI/ANGGA YUNIAR
Tak lama berselang, perempuan-perempuan lainnya pun melakukan gerakan serupa. Mereka berpegangan seraya mendapatkan tuntunan menuju ke ember tersebut. Sebuah seni performance yang menarik perhatian.

Karya berjudul Sweet Dream Sweet itu merupakan karya Melati Suryodarmo yang dipamerkan dalam bentuk video dan instalasi pada Jakarta Biennale Ke-15 yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini.

Ada yang menarik karena Melati mencoba menghadirkan pribadi-pri­badi yang surut perannya. Gejala melawan individualisme dalam kehidupan mo­dern ini seolah tersiasati dalam gerakan yang seragam. “Keragaman menjadi sesuatu yang perlahan asing,” ujarnya menanggapi karya tersebut.

Ide itulah yang kemudian ia wujudkan bersama 30 perempuan untuk mendukung performa Sweet Dream Sweet. Tiap-tiap penari berpasangan. Mereka melakukan berbagai gerakan tanpa melepas tautan tangan mereka sedetik pun. Mereka melakukan koreografi secara berulang-ulang. Menggambarkan tentang sebuah perjalanan yang kembali ke titik asalnya.

Pada karya tersebut, perempuan asal Surakarta, Jawa Tengah, itu memadukan koreografi, video, dan instalasi berupa ember bercairan biru. Semua tertata rapi sehingga membuat instalasi video itu memiliki nilai tinggi. Terutama perenungan atas kehidupan individu yang dipatahkan lewat konsep Melati.

Jakarta Biennale berlangsung pada 9-30 November, dengan menghadirkan puluhan seniman dari berbagai negara. Para seniman yang berpartisipasi di antaranya Babi Badalov (Azerbaijan/Prancis), Etienne Turpin (Kanada), Fintan Magee (Australia), Françoise Huguier (Prancis), Icaro Zorbar (Kolombia), Jimmy Ogonga (Kenya), Khaled Jarrar (Palestina), dan Kunst Republik (Jerman).

Lalu, ada Mixrice (Korea Selatan), Nguyen Trinh Thi (Vietnam), dan Sebastian Diaz Morales (Argentina). Untuk lokal, di antaranya Abdulrahman Saleh, Agan Harahap, Anton Ismael, Awan Simatupang, Enrico Halim, Guntur Wibowo, Julia Sarisetiati, dan Moelyono.

Tema tahun ini ialah Siasat. Puluhan seniman dari berbagai negara menghadirkan tema yang lekat dengan kehidupan kota. Para peserta, baik individu maupun kelompok, berkarya lewat metode kolaborasi, partisipasi, intervensi di ruang publik, kerja bersama komunitas, dan respons tematik dengan subjek dan ruang tertentu.

Badalov, misalnya, menghadirkan karya berjudul Jakarta Diary. Ia melihat persoalan di Jakarta selama seminggu dan dituangkan lewat mural. Dalam sebuah gambar, misalnya, terlihat seorang kelaki yang mulutnya ditutup dengan sebuah ‘tangan besi’. Di atasnya tertulis ‘Have you seen this boy?’.

Tentu saja pengalaman sebagai seorang imigran kelahiran Azerbaijan pada 1959 dan kini menetap di Prancis, ia punya pengalaman atas perjalanan hidupnya. Karya-karya muralnya sering kali berupa kolose dari gambar-gambar buatannya, yang menunjukan karya visual yang puitis tentang sebuah pemberontakan batin.

Seniman lainnya, Jarrar, mengha-dirkan The Soldier, berupa dokumentasi video performa selama 60 detik. Dalam karya tersebut terdapat seorang pria berpakaian tentara. Namun, tidak tercantum pangkat atau atribut di bahu sang tentara.

Tak hanya itu, di Indonesia pun sempat terjadi era otoriter (Orde Baru) sehingga tentara membabi buta melawan kaum sipil. Sebut saja pada saat integra­si Papua pada 1960-an atau separasi Timor Leste pada akhir 1990-an.

Karya-karya yang dipamerkan pada Jakarta Biennale menunjukkan ada sebuah penafsiran atas kehidupan kota. Para seniman berlatar belakang pendidikan desain hingga seni rupa menunjukkan kelas sebagai seniman yang merepresentasikan negara-negara mereka masing-masing.

Dari sejarahnya, Biennale bermula dengan nama Pameran Seni Lukis Indonesia pada 1974. Momen itulah yang digunakan sebagai asal muasal hajatan dua tahunan itu. Sejak 2009, Jakarta Biennale tidak hanya menampilkan karya di ruang tertutup, tapi juga sudah di ruang terbuka.

"Ada proyek seni dan intervensi artistik di ruang kota," tutur kurator Ade Darmawan.

Terlepas dari kehadiran puluhan seniman dari luar negeri di acara Jakarta Biennale, ada kelompok seniman yang menggelar pameran tandingan. Beberapa seniman yang mengatas namakan seniman Institut Kesenian Jakarta berpameran lewat IKJ Binal. Karya-karya mereka dipajang di bawah pohon beringin yang berada di dekat ruang bawah tanah Teater Jakarta. Sebuah "perlawanan" atas Jakarta Biennale. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 November 2013

No comments: