PERJUANGAN tokoh Katrin Hupla yang diperankan aktor anyar Ina Kaka dalam pementasan Teater Koma patut mendapatkan pujian. Dia mampu berakting secara gesit memerankan tokoh perempuan muda yang bisu itu.
Terlepas dari kemampuan itu, ada beberapa catatan saya selama tiga kali menyaksikan pementasan lakon Ibu yang digelar 1-17 November ini. Tentu saja, ada yang menarik bila dilihat dari tokoh Katrin.
Lewat produksi ke-131 Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ibu selalu dipenuhi penonton. Memang, tak mengherankan, Teater Koma punya pangsa tersendiri.
Selama tiga kali menyaksikan secara berbeda, yaitu pada geladi resik Kamis (31/10), Minggu (3/11), dan Selasa (5/11) memang cukup membuat kita memahami tentang alur dan plot.
Racikan sutradara Norbertus Riantiarno cukup membuat terkeÂsima. Pada tokoh Katrin misalnya, ada yang menarik karena di tengah kebisuan ia seakan berbicara sendiri. Memang semua orang tak memahami cara berpikirnya. Hanya, Ibu Brani atau Anna Pirling yang diperankan Sari P Madjid mampu berkomunikasi secara baik dengan anaknya.
Perihal tokoh perempuan bisu yang ditulis Brecht memang sudah menjadi perbincangan menarik setiap lakon itu dipentaskan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Belanda, Amerika, atau Afrika Selatan.
“Kisah dalam lakon ini masih releÂvan dengan kondisi sekarang. Ini yang menjadi pegangan untuk kami mementaskannya dengan konsep masa kini,†ujar Nano (Media Indonesia, 2/11)
Kondisi sekarang yang Nano utarakan memang terasa. Terutama pada sebuah upaya untuk meruwat negara lewat pentas tersebut. Sebagai seorang anak Cirebon, tentu saja Nano sedikit memasukkan unsur budaya lokal. Terutama, tradisi Jawa yang kental dengan ‘meruwat’ negeri.
“Boneka Katrin dan kereta yang digantung di depan pintu, masuk gedung pementasan. Ini menarik karena Nano seakan memasukkan budaya Cirebon. Saya melihat Nano mau meruwat negara,†ujar pemeÂrhati sekaligus peneliti teater, Arthur S Nalar, dalam diskusi di sela-sela pementasan, pekan ini.
Sepanjang pementasan, tokoh-tokoh selalu meneguk minuman. Itulah yang menjadi ciri khas dari naskah yang ditulis Brecht. Mampu menembus semua suku bangsa lewat lakon yang menggambarkan peperangan itu, yakni 1624 –1636.
Di luar negeri, misalnya, sutradara Udi Ben Moshe juga mementaskan lakon karya Brecht itu di Cameri Theater, pada 29 Oktober.
Tentu saja, ini menjadi penting karena karya yang mendunia itu telah menjadi sebuah studi dan telaah ilmiah.
Bisu yang tak bisu
Tokoh Katrin memang tak bisa bicara. Akan tetapi, ia bisa memahami semua persoalan yang terjadi selama perang berkecamuk. Ada beberapa hal yang ingin ia utarakan, tetapi terkadang membuat orang malah menganggapnya dungu.
Saat kakak, Fejos (Muhammad Bagya), saat membawa kota uang, misalnya, membuat para pasukan Matahari Putih menaruh curiga sehingga mau mengambil isi kota uang itu. Pada saat itulah, Katrin mencoba melerai Fejos untuk tak ke kota karena pasukan akan mengambil kotak itu.
Sayang, Fejos tak memahami bahasa adiknya sehingga nyawa menjadi taruhannya.
Begitu pula saat melakukan pembicaraan dengan Pendeta (Budi Ros) atau Domba Si Koki (Supartono JW). Ia sangat memahami. Namun, tak bisa berbicara kepada orang-orang. Ia hanya menggunakan bahasa isyarat. Lagi-lagi, hanya ibunya yang mampu memahami secara benar.
Nano mampu bertindak sebagai homoadaptator, seorang yang mampu mengadaptasi secara sempurna. Sayang, proses blocking satu adegan dengan adegan lainnya terkadang kurang rapi dan masih terlihat bolong. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 November 2013
Terlepas dari kemampuan itu, ada beberapa catatan saya selama tiga kali menyaksikan pementasan lakon Ibu yang digelar 1-17 November ini. Tentu saja, ada yang menarik bila dilihat dari tokoh Katrin.
Lewat produksi ke-131 Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ibu selalu dipenuhi penonton. Memang, tak mengherankan, Teater Koma punya pangsa tersendiri.
Selama tiga kali menyaksikan secara berbeda, yaitu pada geladi resik Kamis (31/10), Minggu (3/11), dan Selasa (5/11) memang cukup membuat kita memahami tentang alur dan plot.
Racikan sutradara Norbertus Riantiarno cukup membuat terkeÂsima. Pada tokoh Katrin misalnya, ada yang menarik karena di tengah kebisuan ia seakan berbicara sendiri. Memang semua orang tak memahami cara berpikirnya. Hanya, Ibu Brani atau Anna Pirling yang diperankan Sari P Madjid mampu berkomunikasi secara baik dengan anaknya.
Perihal tokoh perempuan bisu yang ditulis Brecht memang sudah menjadi perbincangan menarik setiap lakon itu dipentaskan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Belanda, Amerika, atau Afrika Selatan.
“Kisah dalam lakon ini masih releÂvan dengan kondisi sekarang. Ini yang menjadi pegangan untuk kami mementaskannya dengan konsep masa kini,†ujar Nano (Media Indonesia, 2/11)
Kondisi sekarang yang Nano utarakan memang terasa. Terutama pada sebuah upaya untuk meruwat negara lewat pentas tersebut. Sebagai seorang anak Cirebon, tentu saja Nano sedikit memasukkan unsur budaya lokal. Terutama, tradisi Jawa yang kental dengan ‘meruwat’ negeri.
“Boneka Katrin dan kereta yang digantung di depan pintu, masuk gedung pementasan. Ini menarik karena Nano seakan memasukkan budaya Cirebon. Saya melihat Nano mau meruwat negara,†ujar pemeÂrhati sekaligus peneliti teater, Arthur S Nalar, dalam diskusi di sela-sela pementasan, pekan ini.
Sepanjang pementasan, tokoh-tokoh selalu meneguk minuman. Itulah yang menjadi ciri khas dari naskah yang ditulis Brecht. Mampu menembus semua suku bangsa lewat lakon yang menggambarkan peperangan itu, yakni 1624 –1636.
Di luar negeri, misalnya, sutradara Udi Ben Moshe juga mementaskan lakon karya Brecht itu di Cameri Theater, pada 29 Oktober.
Tentu saja, ini menjadi penting karena karya yang mendunia itu telah menjadi sebuah studi dan telaah ilmiah.
Bisu yang tak bisu
Tokoh Katrin memang tak bisa bicara. Akan tetapi, ia bisa memahami semua persoalan yang terjadi selama perang berkecamuk. Ada beberapa hal yang ingin ia utarakan, tetapi terkadang membuat orang malah menganggapnya dungu.
Saat kakak, Fejos (Muhammad Bagya), saat membawa kota uang, misalnya, membuat para pasukan Matahari Putih menaruh curiga sehingga mau mengambil isi kota uang itu. Pada saat itulah, Katrin mencoba melerai Fejos untuk tak ke kota karena pasukan akan mengambil kotak itu.
Sayang, Fejos tak memahami bahasa adiknya sehingga nyawa menjadi taruhannya.
Begitu pula saat melakukan pembicaraan dengan Pendeta (Budi Ros) atau Domba Si Koki (Supartono JW). Ia sangat memahami. Namun, tak bisa berbicara kepada orang-orang. Ia hanya menggunakan bahasa isyarat. Lagi-lagi, hanya ibunya yang mampu memahami secara benar.
Nano mampu bertindak sebagai homoadaptator, seorang yang mampu mengadaptasi secara sempurna. Sayang, proses blocking satu adegan dengan adegan lainnya terkadang kurang rapi dan masih terlihat bolong. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 November 2013
No comments:
Post a Comment