-- Syahar Banu
ADA banyak alasan seseorang layak dibuatkan sebuah biografi. Misalnya, jika orang tersebut tokoh yang dikenang oleh sejarah karena jasanya untuk dunia dan orang terkenal yang sedang naik daun. Ada juga biografi tokoh politik yang berisi janji politik untuk menarik simpati masyarakat menjelang pemilu.
Ahmad Sahroni tidak terkenal. Sampul buku yang menampilkan wajah Roni--panggilan akrab Sahroni--tidak memberikan informasi memadai tentang mengapa kita perlu membaca biografinya. Sepintas, ia memang terlalu muda untuk dibuatkan biografi. Umurnya baru 36. Ia juga bukan tokoh yang sering muncul di media. Apalagi subjudul yang ditampilkan di buku ini ialah 'Anak Priok Meraih Mimpi'. Seolah buku ini berisi kata-kata motivasi hasil dari tumpukan penderitaan masa lalu tokohnya. Namun, asumsi-asumsi itulah yang barangkali akan membuat kita tergerak membaca buku ini.
Cerita diawali dengan penjelasan tentang situasi politik di masa pemilu Orde Baru. Kemudian kita diajak untuk mengingat kembali penggusuran 100 ribu kepala keluarga di Priok. Saat itu, Hernawati--Ibu Roni--tidak begitu menyadari bahwa perubahan situasi politik akan membuat kondisi ekonominya berubah drastis. Apalagi setelah pemerintah Orde Baru menerbitkan Inpres No 4 Tahun 1985 tentang Ketatalaksanaan Pengawasan Impor dan Ekspor. Keluarga Roni yang awalnya cukup berada, dengan dua rumah makan padang yang cukup laris, perlahan bangkrut.
Kedua orangtua Roni yang bercerai membuat Roni berada di bawah asuhan Ibunya. Kemudian sang ibu menikah lagi. Mereka sekeluarga tinggal di rumah sederhana yang berada di sebuah gang sempit. Kesibukan sang ibu berjualan nasi membuat Roni diasuh oleh neneknya yang menanamkan sikap rajin dan pantang menyerah. Didikan nenek memberinya perlindungan diri untuk tidak mengikuti arah pergaulan bebas ala anak muda Priok.
Juga ada pamannya, Budi Soleh. Di bawah asuhan pamannya itulah Roni mendapat pelajaran tentang pelajaran agama sebagai bekal hidup dan kedisiplinan waktu, terutama dalam hal ibadah. Roni kecil pernah tidak naik kelas dan mendapat nilai merah dalam pelajaran matematika. Ia bahkan sempat tidak kuat dengan didikan keras pamannya. Ia pun memutuskan untuk 'memberontak' dan 'mengungsi' ke rumah pamannya yang lain, Ferry Irianto.
Hobi mengutak-atik kendaraan bermotor membuatnya memiliki teman-teman yang memiliki hobi balapan motor. Saat itu balapan motor memang sedang tren di awal 1990-an, tepatnya saat Roni masih berada di bangku SMP. Saat SMA, ia yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja menjadi ketua OSIS dan bahkan membuat sekolahnya memperoleh berbagai penghargaan dari pemerintah. Saat SMA itulah Roni menumpang di rumah sahabatnya, Imam. Di sana ia dianggap sebagai anak sendiri. Kakak Imam yang menjadi bos pertamanya. Ia memulai karier pertamanya sebagai sopir mobil pribadi, dengan bayaran Rp5.000 sehari. Walaupun gajinya kecil, Roni dengan senang hati melakukan pekerjaan itu karena ia menjadi bisa menyetir.
Utak-atik otomotif membawanya ke pergaulan tingkat atas. Ia bergabung dengan Family Escudo Club (FEC) dan jadi satu-satunya anggota yang tidak punya mobil. Pergaulannya dengan FEC turut melecut semangatnya untuk dapat memperoleh kehidupan lebih baik.
Fenty Effendy memang mengajak kita untuk memandang sebuah keterbatasan dari sudut pandang optimisme. Namun, optimisme di sini bukan berarti lantas bertabur kata-kata motivasi. Nasihat sederhana seperti jangan melalaikan salat, jangan tergerus pergaulan yang tidak baik, dan jangan pernah lupa kepada orang miskin, cukup menjadi bekal Roni untuk tetap menjadi anak baik-baik.
Kisah Roni tampaknya hendak mengajarkan kepada kita bahwa bergaul dengan kalangan atas tidak lantas membuat kita ikut arus. Kelas atas memang sering kali identik dengan hura-hura dan berbagai gaya dunia gemerlap sebagai simbol eksistensi dalam pergaulan. Ia juga mengajarkan pada kita bahwa kesuksesan itu tidak memandang dari keturunan siapa dan dengan kondisi keluarga seperti apa seseorang berasal. (M-2)
Syahar Banu, mahasiswa falsafah dan agama Universitas Paramadina Jakarta
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 November 2013
ADA banyak alasan seseorang layak dibuatkan sebuah biografi. Misalnya, jika orang tersebut tokoh yang dikenang oleh sejarah karena jasanya untuk dunia dan orang terkenal yang sedang naik daun. Ada juga biografi tokoh politik yang berisi janji politik untuk menarik simpati masyarakat menjelang pemilu.
Ahmad Sahroni tidak terkenal. Sampul buku yang menampilkan wajah Roni--panggilan akrab Sahroni--tidak memberikan informasi memadai tentang mengapa kita perlu membaca biografinya. Sepintas, ia memang terlalu muda untuk dibuatkan biografi. Umurnya baru 36. Ia juga bukan tokoh yang sering muncul di media. Apalagi subjudul yang ditampilkan di buku ini ialah 'Anak Priok Meraih Mimpi'. Seolah buku ini berisi kata-kata motivasi hasil dari tumpukan penderitaan masa lalu tokohnya. Namun, asumsi-asumsi itulah yang barangkali akan membuat kita tergerak membaca buku ini.
Cerita diawali dengan penjelasan tentang situasi politik di masa pemilu Orde Baru. Kemudian kita diajak untuk mengingat kembali penggusuran 100 ribu kepala keluarga di Priok. Saat itu, Hernawati--Ibu Roni--tidak begitu menyadari bahwa perubahan situasi politik akan membuat kondisi ekonominya berubah drastis. Apalagi setelah pemerintah Orde Baru menerbitkan Inpres No 4 Tahun 1985 tentang Ketatalaksanaan Pengawasan Impor dan Ekspor. Keluarga Roni yang awalnya cukup berada, dengan dua rumah makan padang yang cukup laris, perlahan bangkrut.
Kedua orangtua Roni yang bercerai membuat Roni berada di bawah asuhan Ibunya. Kemudian sang ibu menikah lagi. Mereka sekeluarga tinggal di rumah sederhana yang berada di sebuah gang sempit. Kesibukan sang ibu berjualan nasi membuat Roni diasuh oleh neneknya yang menanamkan sikap rajin dan pantang menyerah. Didikan nenek memberinya perlindungan diri untuk tidak mengikuti arah pergaulan bebas ala anak muda Priok.
Juga ada pamannya, Budi Soleh. Di bawah asuhan pamannya itulah Roni mendapat pelajaran tentang pelajaran agama sebagai bekal hidup dan kedisiplinan waktu, terutama dalam hal ibadah. Roni kecil pernah tidak naik kelas dan mendapat nilai merah dalam pelajaran matematika. Ia bahkan sempat tidak kuat dengan didikan keras pamannya. Ia pun memutuskan untuk 'memberontak' dan 'mengungsi' ke rumah pamannya yang lain, Ferry Irianto.
Hobi mengutak-atik kendaraan bermotor membuatnya memiliki teman-teman yang memiliki hobi balapan motor. Saat itu balapan motor memang sedang tren di awal 1990-an, tepatnya saat Roni masih berada di bangku SMP. Saat SMA, ia yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja menjadi ketua OSIS dan bahkan membuat sekolahnya memperoleh berbagai penghargaan dari pemerintah. Saat SMA itulah Roni menumpang di rumah sahabatnya, Imam. Di sana ia dianggap sebagai anak sendiri. Kakak Imam yang menjadi bos pertamanya. Ia memulai karier pertamanya sebagai sopir mobil pribadi, dengan bayaran Rp5.000 sehari. Walaupun gajinya kecil, Roni dengan senang hati melakukan pekerjaan itu karena ia menjadi bisa menyetir.
Utak-atik otomotif membawanya ke pergaulan tingkat atas. Ia bergabung dengan Family Escudo Club (FEC) dan jadi satu-satunya anggota yang tidak punya mobil. Pergaulannya dengan FEC turut melecut semangatnya untuk dapat memperoleh kehidupan lebih baik.
Fenty Effendy memang mengajak kita untuk memandang sebuah keterbatasan dari sudut pandang optimisme. Namun, optimisme di sini bukan berarti lantas bertabur kata-kata motivasi. Nasihat sederhana seperti jangan melalaikan salat, jangan tergerus pergaulan yang tidak baik, dan jangan pernah lupa kepada orang miskin, cukup menjadi bekal Roni untuk tetap menjadi anak baik-baik.
Kisah Roni tampaknya hendak mengajarkan kepada kita bahwa bergaul dengan kalangan atas tidak lantas membuat kita ikut arus. Kelas atas memang sering kali identik dengan hura-hura dan berbagai gaya dunia gemerlap sebagai simbol eksistensi dalam pergaulan. Ia juga mengajarkan pada kita bahwa kesuksesan itu tidak memandang dari keturunan siapa dan dengan kondisi keluarga seperti apa seseorang berasal. (M-2)
Syahar Banu, mahasiswa falsafah dan agama Universitas Paramadina Jakarta
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment