-- Arie MP Tamba
KALAU Anda berada di antara 800-an orang pendengar Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta yang disampaikan Karlina Supelli pada 11 November 2013 malam, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemungkinan besar Anda termasuk yang ”tercekam” oleh paparan Karlina tentang rusaknya hutan Kalimantan.
Dari hampir 90 % Pulau Kalimantan yang terlihat hijau pada 1930-an, kini diperkirakan tersisa tak lebih dari 20 %. Semuanya telah berubah jadi tanah kerontang, kubangan luas dan kosong, serta bukit-bukit keroak dan mati. Karena kehidupan di atasnya, berupa rimbunan pohon yang dihibahkan alam selama puluhan bahkan ratusan tahun telah ”ditebangi” secara resmi melalui Hak Penebangan Hutan dan penambang, maupun dijarah secara gelap oleh pembalak hutan. Maka raib pulalah berbagai ilmu pengetahuan dan budaya suku Dayak Benuaq, salah satu suku penghuni di pulau terbesar Indonesia itu, yang selama ini hidup ”menyatu” dengan hutan lebat di sekitar mereka.
Apa yang disampaikan Karlina, menegaskan lagi apa yang diperihatinkan novelis asal Kalimantan, Korrie Layun Rampan tiga dekade lalu. Melalui novelnya Upacara (1978), Korrie melakukan ”perlawanan” budaya terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang masa itu menjadikan Kalimantan sekadar ”lahan”.
Seperti digambarkan Edward Said dalam Culture and Imperialism (1993), bahwa peperangan utama dalam imperialisme adalah merebut tanah. Siapa yang memiliki tanah, siapa yang berhak menetap dan menggarap, mempertahankan, merebut, dan merencanakan masa depan semuanya direnungkan, digugat, dan bahkan untuk suatu masa ditetapkan oleh narasi. Banyak di antaranya, disampaikan melalui novel.
Dengan Upacara, Korrie menggarisbawahi pandangan Said. Teks Upacara adalah narasi yang disusun menyosokkan eksistensi dunia suku yang diperjuangkan keberadaannya oleh Korrie. Keterangan atas berbagai penanda yang beroperasional di tengah suku Benuaq yang mendiami daerah sepanjang Sungai Mahakam, Sungai Kadang Pahu dan Sungai Nyawatan di Kalimantan, itulah sebagian yang tertulis pada halaman-halaman novel Upacara.
Di antaranya: Anan la Lumut = Perjalanan ke Sorga. Menurut kepercayaan suku Benuaq, surga itu di Gunung Lumut sebuah gunung yang terletak antara perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, yang dalam novel Upacara jadi bab terindah, tentang dunia surealis yang dialami si tokoh utama. Lalu, Lamin = rumah panjang suku Dayak (dalam cerita Upacara adalah suku Benuaq). Kemudian, Tonoy = dewa tanah; ngayau = memotong kepala; Kewangkey = upacara penguburan tulang-tulang manusia; Pelulung = upacara perkawinan, dll.
Penanda khas Benuaq ini, mengikuti logika Said di atas, adalah sebuah upaya kreatif Korrie menghadirkan keberadaan Benuaq dengan kosmologinya yang unik, di tengah keumuman narasi pembangunan yang hadir di Indonesia pada masa itu (1970-an), yang didominasi berbagai narasi ”luar” Kalimantan, seperti Jawa atau Sumatera.
Kekhasan kosmologi dikisahkan dalam Belahan Satu, dengan judul Anan La Lumut (hlm 19-39), yang tersuguh sebagai cerita realis-surealistis. “Telah kutunjukkan kepada orang asing itu bahwa kita punya tuhan,” kata Paman Jomoq. “Sekali dengan gagak. Sekali dengan punai. Sekali dengan rangkong. Orang asing itu mengangguk-angguk kagum.” (hlm 51)
Dikisahkan pula tentang peristiwa pemanggilan tuhan oleh Paman Jomoq, di hadapan orang-orang sekampung dan juga seorang antropolog asing, Tuan Smith. Berlangsunglah dialog yang intens tentang keberadaan tuhan antara Paman Jomoq dan Tuan Smith.
“Jadi ada tuhan tertinggi?”
“Yang tertinggi Letala. Sang Pencipta.”
“Bawahannya?”
“Banyak sekali. Mereka semua disebutkan dalam balian, diberi sesaji sesuai urutan dan kedudukannya.”
“Kalau misalnya tuhan-tuhan bawahan berontak kepada tuhan maha tinggi?”
“Nah, manusia selalu mengidealisir pikiran-pikiran naf. Kita sering menyamakan naluri tuhan dengan sahwat manusia. Di Swarga tak pernah terjadi kudeta, karena tuhan tak punya naluri sahwat!”
“Swarga? Apakah itu?”
“Rumah keabadian.” Paman Jomoq menatap orang asing itu dalam-dalam. Mereka saling berpandangan. Orang asing itu mengangguk-angguk. (hlm 53)
Upacara pun hadir utuh sebagai strategi literer penubuhan suku, yang memiliki wacana khas tentang apa saja. Hingga, dengan tegas keasingan jadi gangguan, seperti halnya hadirnya para peneliti dengan obsesi ilmiah yang kerap mereduksi kosmologi suku jadi sekadar data antropologis. Dengan sebuah struktur sikap dan acuan di baliknya, yang memungkinkan para peneliti hadir sebagai subyek Eropa, sebuah dunia modern, berhadapan dengan budaya primitif, lalu mengambil surplus dengan menolak setiap otonomi yang sejajar di luar keeropaan.
Sama halnya dengan para pengusaha hutan. Mereka mengambil keuntungan sekaligus menolak kehadiran penduduk asli sebagai otonomi yang memiliki hak hidup yang sama. Hal ini menyebabkan penderitaan bagi penduduk asli, yang kaum wanitanya dikawini lalu ditinggalkan, hutan-hutannya ditebangi serta dibakar dan ditinggalkan. Hingga, kehidupan ladang berpindah yang menyatukan penduduk dengan hutan selama ratusan tahun, beralih jadi gaya “perkotaan” yang justru memisahkan penduduk dari hutan, yang kini dimaknai sebagai lahan yang harus dikuras.
Maka, ”perlawanan” sastra yang dilakukan Korrie juga diniatkan menyuarakan penolakan terhadap sistem kehidupan dari luar, yang mendatangi suku Benuaq sebagai sistem yang menghisap, merusak, dan menghancurkan. Hingga, ketika Korrie dengan detail menjabarkan bentuk kehidupan, struktur masyarakat, bangunan arsitektur, perangkat upacara, dan berbagai cara hidup masyarakat Benuaq yang menyatu dengan hutan dan musim adalah semacam peringatan keras akan terancam punahnya sebuah cara hidup (baca: budaya) yang ”sempurna”. Peringatan yang kembali dikumandangkan oleh Karlina Supelli malam itu. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013
KALAU Anda berada di antara 800-an orang pendengar Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta yang disampaikan Karlina Supelli pada 11 November 2013 malam, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemungkinan besar Anda termasuk yang ”tercekam” oleh paparan Karlina tentang rusaknya hutan Kalimantan.
Dari hampir 90 % Pulau Kalimantan yang terlihat hijau pada 1930-an, kini diperkirakan tersisa tak lebih dari 20 %. Semuanya telah berubah jadi tanah kerontang, kubangan luas dan kosong, serta bukit-bukit keroak dan mati. Karena kehidupan di atasnya, berupa rimbunan pohon yang dihibahkan alam selama puluhan bahkan ratusan tahun telah ”ditebangi” secara resmi melalui Hak Penebangan Hutan dan penambang, maupun dijarah secara gelap oleh pembalak hutan. Maka raib pulalah berbagai ilmu pengetahuan dan budaya suku Dayak Benuaq, salah satu suku penghuni di pulau terbesar Indonesia itu, yang selama ini hidup ”menyatu” dengan hutan lebat di sekitar mereka.
Apa yang disampaikan Karlina, menegaskan lagi apa yang diperihatinkan novelis asal Kalimantan, Korrie Layun Rampan tiga dekade lalu. Melalui novelnya Upacara (1978), Korrie melakukan ”perlawanan” budaya terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang masa itu menjadikan Kalimantan sekadar ”lahan”.
Seperti digambarkan Edward Said dalam Culture and Imperialism (1993), bahwa peperangan utama dalam imperialisme adalah merebut tanah. Siapa yang memiliki tanah, siapa yang berhak menetap dan menggarap, mempertahankan, merebut, dan merencanakan masa depan semuanya direnungkan, digugat, dan bahkan untuk suatu masa ditetapkan oleh narasi. Banyak di antaranya, disampaikan melalui novel.
Dengan Upacara, Korrie menggarisbawahi pandangan Said. Teks Upacara adalah narasi yang disusun menyosokkan eksistensi dunia suku yang diperjuangkan keberadaannya oleh Korrie. Keterangan atas berbagai penanda yang beroperasional di tengah suku Benuaq yang mendiami daerah sepanjang Sungai Mahakam, Sungai Kadang Pahu dan Sungai Nyawatan di Kalimantan, itulah sebagian yang tertulis pada halaman-halaman novel Upacara.
Di antaranya: Anan la Lumut = Perjalanan ke Sorga. Menurut kepercayaan suku Benuaq, surga itu di Gunung Lumut sebuah gunung yang terletak antara perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, yang dalam novel Upacara jadi bab terindah, tentang dunia surealis yang dialami si tokoh utama. Lalu, Lamin = rumah panjang suku Dayak (dalam cerita Upacara adalah suku Benuaq). Kemudian, Tonoy = dewa tanah; ngayau = memotong kepala; Kewangkey = upacara penguburan tulang-tulang manusia; Pelulung = upacara perkawinan, dll.
Penanda khas Benuaq ini, mengikuti logika Said di atas, adalah sebuah upaya kreatif Korrie menghadirkan keberadaan Benuaq dengan kosmologinya yang unik, di tengah keumuman narasi pembangunan yang hadir di Indonesia pada masa itu (1970-an), yang didominasi berbagai narasi ”luar” Kalimantan, seperti Jawa atau Sumatera.
Kekhasan kosmologi dikisahkan dalam Belahan Satu, dengan judul Anan La Lumut (hlm 19-39), yang tersuguh sebagai cerita realis-surealistis. “Telah kutunjukkan kepada orang asing itu bahwa kita punya tuhan,” kata Paman Jomoq. “Sekali dengan gagak. Sekali dengan punai. Sekali dengan rangkong. Orang asing itu mengangguk-angguk kagum.” (hlm 51)
Dikisahkan pula tentang peristiwa pemanggilan tuhan oleh Paman Jomoq, di hadapan orang-orang sekampung dan juga seorang antropolog asing, Tuan Smith. Berlangsunglah dialog yang intens tentang keberadaan tuhan antara Paman Jomoq dan Tuan Smith.
“Jadi ada tuhan tertinggi?”
“Yang tertinggi Letala. Sang Pencipta.”
“Bawahannya?”
“Banyak sekali. Mereka semua disebutkan dalam balian, diberi sesaji sesuai urutan dan kedudukannya.”
“Kalau misalnya tuhan-tuhan bawahan berontak kepada tuhan maha tinggi?”
“Nah, manusia selalu mengidealisir pikiran-pikiran naf. Kita sering menyamakan naluri tuhan dengan sahwat manusia. Di Swarga tak pernah terjadi kudeta, karena tuhan tak punya naluri sahwat!”
“Swarga? Apakah itu?”
“Rumah keabadian.” Paman Jomoq menatap orang asing itu dalam-dalam. Mereka saling berpandangan. Orang asing itu mengangguk-angguk. (hlm 53)
Upacara pun hadir utuh sebagai strategi literer penubuhan suku, yang memiliki wacana khas tentang apa saja. Hingga, dengan tegas keasingan jadi gangguan, seperti halnya hadirnya para peneliti dengan obsesi ilmiah yang kerap mereduksi kosmologi suku jadi sekadar data antropologis. Dengan sebuah struktur sikap dan acuan di baliknya, yang memungkinkan para peneliti hadir sebagai subyek Eropa, sebuah dunia modern, berhadapan dengan budaya primitif, lalu mengambil surplus dengan menolak setiap otonomi yang sejajar di luar keeropaan.
Sama halnya dengan para pengusaha hutan. Mereka mengambil keuntungan sekaligus menolak kehadiran penduduk asli sebagai otonomi yang memiliki hak hidup yang sama. Hal ini menyebabkan penderitaan bagi penduduk asli, yang kaum wanitanya dikawini lalu ditinggalkan, hutan-hutannya ditebangi serta dibakar dan ditinggalkan. Hingga, kehidupan ladang berpindah yang menyatukan penduduk dengan hutan selama ratusan tahun, beralih jadi gaya “perkotaan” yang justru memisahkan penduduk dari hutan, yang kini dimaknai sebagai lahan yang harus dikuras.
Maka, ”perlawanan” sastra yang dilakukan Korrie juga diniatkan menyuarakan penolakan terhadap sistem kehidupan dari luar, yang mendatangi suku Benuaq sebagai sistem yang menghisap, merusak, dan menghancurkan. Hingga, ketika Korrie dengan detail menjabarkan bentuk kehidupan, struktur masyarakat, bangunan arsitektur, perangkat upacara, dan berbagai cara hidup masyarakat Benuaq yang menyatu dengan hutan dan musim adalah semacam peringatan keras akan terancam punahnya sebuah cara hidup (baca: budaya) yang ”sempurna”. Peringatan yang kembali dikumandangkan oleh Karlina Supelli malam itu. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment