WAJAH Munadia, 15, tampak ceria kala mengikuti workshop Kompetisi Komik Indonesia 2013 di Surakarta, Jawa Tengah, dua pekan lalu. Ia merupakan satu dari 30 peserta acara untuk mempertajam pengetahuan dasar tentang cerita bergambar yang mulai digandrungi para remaja seusianya sekarang ini.
Dia aktif menunjukkan beberapa gambar yang baru separuh ia kerjakan. Sesekali ia menyodorkan kepada puluhan teman lain untuk didiskusikan. Bagi siswi di Sekolah Menengah Atas 1 Surakarta itu, komik menjadi penyaluran bakat menggambarnya.
"Saya menyenangi manga (komik Jepang). Cerita dan gambarnya berbeda-beda dan lucu. Ada yang untuk anak-anak hingga remaja sehingga betah dibaca," ujarnya seusai mengikuti workshop, siang itu.
Dari corak dan desain karya, Munadia terpengaruh oleh gaya manga shojo (ditujukan untuk perempuan) dan shonen (ditujukan untuk laki-laki). "Banyak film animasi. Namun, komik merupakan bahasa visual yang lebih menarik, lo," ungkap dara yang berencana mengambil jurusan animasi di Singapura itu, kelak.
Jumbadi, 44, ayah Munadia, pun sangat mendukung minat anaknya. Ia setia menunggu di luar ruangan gedung workshop sambil membaca komik superhero produksi Amerika Serikat.
Komik lokal sudah memiliki kualitas, baik gambar maupun cerita. Banyak komikus yang menyajikan lewat story telling yang cukup kuat. Pada era 1980-an hingga 2000-an, pembaca komik mengalami kemunduran. Namun, ada upaya dari berbagai komunitas untuk mengangkat kembali geliat komik lokal. "Pada era 60-70-an, komikus bak selebritas. Ini waktunya berjaya lagi," papar dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Darsono Soni Kartika.
Geliat kebangkitan komik lokal pun juga diakui komikus Beng Rahadian. Menurutnya, banyak komikus muda cenderung mengangkat tema keindonesiaan. Mereka menghadirkan tokoh superhero lokal dengan desain sendiri. Sudah saatnya komik Indonesia galib kembali. (Iwa/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013
Dia aktif menunjukkan beberapa gambar yang baru separuh ia kerjakan. Sesekali ia menyodorkan kepada puluhan teman lain untuk didiskusikan. Bagi siswi di Sekolah Menengah Atas 1 Surakarta itu, komik menjadi penyaluran bakat menggambarnya.
"Saya menyenangi manga (komik Jepang). Cerita dan gambarnya berbeda-beda dan lucu. Ada yang untuk anak-anak hingga remaja sehingga betah dibaca," ujarnya seusai mengikuti workshop, siang itu.
Dari corak dan desain karya, Munadia terpengaruh oleh gaya manga shojo (ditujukan untuk perempuan) dan shonen (ditujukan untuk laki-laki). "Banyak film animasi. Namun, komik merupakan bahasa visual yang lebih menarik, lo," ungkap dara yang berencana mengambil jurusan animasi di Singapura itu, kelak.
Jumbadi, 44, ayah Munadia, pun sangat mendukung minat anaknya. Ia setia menunggu di luar ruangan gedung workshop sambil membaca komik superhero produksi Amerika Serikat.
Komik lokal sudah memiliki kualitas, baik gambar maupun cerita. Banyak komikus yang menyajikan lewat story telling yang cukup kuat. Pada era 1980-an hingga 2000-an, pembaca komik mengalami kemunduran. Namun, ada upaya dari berbagai komunitas untuk mengangkat kembali geliat komik lokal. "Pada era 60-70-an, komikus bak selebritas. Ini waktunya berjaya lagi," papar dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Darsono Soni Kartika.
Geliat kebangkitan komik lokal pun juga diakui komikus Beng Rahadian. Menurutnya, banyak komikus muda cenderung mengangkat tema keindonesiaan. Mereka menghadirkan tokoh superhero lokal dengan desain sendiri. Sudah saatnya komik Indonesia galib kembali. (Iwa/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013
No comments:
Post a Comment