Sunday, November 03, 2013

[Tifa] Menafsir Anomali Kota

LANGIT membiru dan sinar matahari memecah bayangan. Empat pria suku Badui (Luar) melangkah melewati jalur penyeberangan jalan. Mereka seakan menunjukkan bahwa orang perdusunan pun sangat memahami rambu berlalu-lintas.

Para pengelana itu terus berjalan menyusuri kota yang penuh dengan fatamorgana. Masing-masing menyelempangkan tas putih di bahu. Seakan ada beberapa barang yang hendak mereka tawarkan ke setiap orang yang dijumpai di kota.

Latar belakang hutan beton semakin menambah keangkuhan kota. Begitu pula dengan para pengendara yang semrawut mengendarai kendaraan mereka. Menjadi sebuah ironi yang terjadi di Jakarta.

Gambaran itu terlihat jelas dalam karya Atet Dwi Pramadia, 26, berjudul Badui Urban yang dipajang pada Pameran Fotografi Kota untuk Semua di Parkir Timur, Senayan, Jakarta, 24-27 Oktober lalu.

Lewat pameran yang diadakan dalam rangka peringatan Hari Habitat Dunia 2013 itu, ada 30 karya yang menggambarkan tentang kota dan isinya. Berbagai sudut pandang yang mengedepankan seni, arsitektur, dan budaya diracik secara bermakna.

Kejelian Atet dalam menangkap momen orang Badui di zebra crossing mengundang decak kagum. Hal itu menunjukkan bahwa para pengelana merupakan orang-orang yang masih memegang teguh budaya leluhur.

Lewat pameran tersebut, karya Badui Urban menjadi karya yang mampu meraih juara ketiga pada ajang tersebut. Dewan juri yang terdiri dari para pewarta foto senior Hariyanto, Yori Antar, dan Sugeng Sentausa menilai karya Atet laik karena mencerminkan kota dan isinya.

Selain karya Atet, yang kini bekerja sebagai kontributor foto Media Indonesia, ada pula karya Zabur Karuru (pewarta foto Antara) berjudul Manfaatkan Atap Gedung. Karya tersebut menjadi jawara pertama karena mengangkat sisi lain dari kegunaan sebuah gedung.

Tengok saja ada 10 lelaki yang sedang bermain sepak bola di atas gedung tinggi. Hal itu seakan menunjukkan bahwa betapa mirisnya lahan bagi warga untuk berolahraga. Sementara itu, karya Taufan Wijaya (pewarta foto Tribun) berjudul Dinding Kota menyabet juara kedua.

Kendati pameran tersebut menyajikan karya-karya yang dilombakan, ada benang merah yang menjadi keprihatinan atas perkembangan kota yang tidak seimbang dengan penyediaan fasilitas berolahraga hingga aktivitas sosial bagi warganya.

Anomali

Karya-karya para nomine terbaik lain juga dipamerkan. Semuanya menggambarkan tentang kota yang cukup beragam. Ada yang mengabadikan banjir, persoalan lahan untuk bermain, hingga sampah yang menumpuk di waduk.

Pewarta foto Media Indonesia Usman Iskandar, misalnya, lewat karya berjudul Anomali Kota mencoba mengingatkan para pengembang untuk memperhatikan lingkungan dan alam di sekitar pembangunan apartemen.

Dalam karya Paimo--sapaan akrab Usman--terlihat warga yang baru pulang dari pasar sedang melewati genangan banjir selutut. Latar belakang iklan pembangunan sebuah apartemen bertuliskan ‘Great Time, Great Dream, dan Great Investment’ menjadi tidak selaras dengan kondisi lingkungan.

Paimo juga menghadirkan karya Mural Kota Jakarta. Ia jeli dalam menangkap karya-karya ‘pelukis jalanan’ yang tersebar di bawah jembatan layang di sudut-sudut Ibu Kota. Tentu saja lewat kejelian itulah ayah satu anak tersebut hadir dengan persoalan kemanusiaannya.

Pewarta foto media massa lainnya yang juga ikut dalam pameran tersebut di antaranya Yoma Times Suryadi, Rommy Pujianto, Eko Siswanto Toyudho, Jhony Hutapea, Syamsul Ilyas, Arie Basuki, dan Amrullah Paembonan.

Lewat kejelian memotret kota dan isinya, pameran tersebut seakan ingin mengingatkan kita akan kota yang perlu mendapatkan perhatian khusus, menjadikan kota yang ideal sebagai permukiman masyarakat.

“Melalui media visual foto diharapkan potret permasalahan kota melahirkan berbagai respons guna menginspirasi warga untuk berpartisipasi dalam penanganan permasalahan,” papar Imam S Ernawi, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum RI.

Sebagai karya yang memiliki nilai seni dan fotografi, sayang sekali pameran tersebut hanya digelar beberapa hari saja. Sejatinya, tahun mendatang pameran serupa perlu dihajat di pusat kesenian dan kebudayaan sehingga lebih banyak pengunjung yang datang untuk melihat karya-karya terbaik pewarta foto Indonesia itu. (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013

No comments: