-- Susi Vivin Astutim
DEWAN Kesenian Riau (DKR) membangkitkan kembali kegiatan yang memberikan penghargaan kepada seniman, khususnya seniman yang bergerak dalam dunia gerak atau tari, setelah sekian tahun lamanya kegiatan ini hampir dilupakan oleh masyarakat seniman di Riau.
Pada Oktober 2013 lalu DKR menyelenggarakan dua kegiatan seni tari. Kedua kegiatan ini berbentuk dalam perlombaan dan pelatihan atau workshop tari. Perlombaan tari ini akrab disebut dengan Pingat Kejohanan Tari, yaitu penghargaan bagi yang juara. Bentuk perlombaan tari adalah karya kreativitas kontemporer, yang merupakan representasi dan manifestasi dari seniman-seniman yang menggeluti dunia gerak atau tari. Kegiatan lainnya adalah pelatihan atau workshop tari. Pelatihan ini memberikan atau pengayaan ilmu tari, bagaimana menciptakan sebuah karya tari kontemporer. Pelatihan juga menekankan pada calon-calon koreografer belajar menyusun atau menciptakan sebuah komposisi tari sehingga dapat divisualkan dalam bentuk koreografi kotemporer.
Kegiatan ini secara simultan diadakan pada hari dan tanggal yang sama, namun waktu dan tempat yang berbeda, 25-26 Oktober 2013. Pingat Kejohanan Tari diselenggarakan di gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus Tintin, sedangkan Worshop Tari, diselenggarakan di gedung DKR. Kegiatan ini melibatkan kabupaten/kota se-Riau yang merupakan utusan dan kabupaten atau kelompok secara mandiri.
Workshop Tari dilaksanakan pada 25 Oktober 2013, dari pagi hingga sore hari. Kegiatan ini menghadirkan Hartati, narasumber dari IKJ Jakarta, dan Faisal Amri, seorang seniman tari dari Kepulauan Riau. Juga SPN Iwan Irawan Permadi, seniman tari senior Riau.
Apresiasi terhadap workshop ini luar biasa, dilihat dari jumlah peserta yang hampir mencapai 200 orang, yang terdiri dari seniman, mahasiswa seni, guru-guru kesenian, dari utusan dari sanggar-sanggar. Apresiasi itu juga terlihat dari antusiasme mereka mengikuti workshop. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peserta workshop banyak berkisar tentang perbedaan-perbedaan antara tari tradisi, tari kreasi, tari modern, dan tari kotemporer.
Pingat Kejohanan Tari 2013, yang diselenggarakan DKR pada 26-27 Oktober 2013, bertempat di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru. Menurut Ketua Panitia M Nasir Penyalai, peserta pada tahun ini mengalami kenaikan yang luar biasa, dibandingkan dengan peserta Pingat Kejohanan Tari pada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya peserta hanya diikuti tujuh atau delapan peserta, maka pada tahun 2013 ini, dua kali lipatnya, yaitu lima belas peserta dari utusan Dewan Kesenian Daerah dan tambahan dari sanggar-sanggar di Pekanbaru. Dikarenakan kegiatan ini dilaksanakan selama dua malam, maka peserta terbagi menjadi dua, yaitu tujuh peserta menampilkan karyanya pada malam pertama, sedangkan karya-karya tari yang lainnya, sebanyak delapan dipertunjukan pada malam kedua.
Kegiatan ini, juga mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat Pekanbaru pada khususnya, terlihat banyaknya penonton yang memenuhi tempat duduk gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus Tintin. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa malam pertama kegiatan ini, ditampilkan tujuh peserta dari berbagai utusan daerah dan tuan rumah Pekanbaru.
Tari Kontemporer
Karya tari kotemporer merupakan sebuah karya yang memerlukan proses. Tari kotemporer bukan sekedar menarikan di atas panggung, melainkan karya tari yang memiliki konsep, gagasan, dan diperlukan adanya kemampuan menghargai detail teknik dan kualitas gerak, adanya hubungan antarkomponen, dan yang terpenting adalah struktur koreografisnya.
Margaret NH Doubler, mengungkapkan bahwa tari kotemporer merupakan sebuah istilah tari yang berupa aktivitas sosial dan individu. Penata tari atau penari yang membawakannya secara bebas menginterprestasikan pengalaman yang ada, dan mampu untuk menuangkan pandangan dan pengalamannya pada sebuah garapan tari dengan ‘gaya’ sendiri tetapi mempunyai simbol dan makna, dan mampu disampaikan terhadap penonton. Materi atau bahan yang diungkapkan dapat diangkat dan dikembangkan dari yang masih bersumber dan berpijak pada materi-materi tradisional maupun yang sudah terlepas sama sekali.
Dalam hal ini konteks pengkaryaan tari kotemporer, lebih menekankan pada koreografernya, yaitu gaya individu. Gaya individu atau koreografer di Indonesia tidaklah banyak, seperti gaya Bagong Kusudiarjo, dan gaya Sardono. Mengapa seperti itu? Bahwa tari kotemporer merupakan karya yang tidak mudah. Koreografer dapat merepresentasikan dan manifestasikan garapannya tanpa ada persamaan dengan gerak-gerak yang lainnya. Ini tidak mudah, dan dapat dikatakan sangat susah, butuh waktu dan proses yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun untuk menemukan sebuah gaya, ciri, atau identitas dalam gerak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sal Murgiyanto, karya tari kotemporer adalah menolak konvensi atau tradisi yang ada. Artinya, koreografer harus dapat keluar dari konvensi tersebut. Pertanyaannya; mampu tidak sang koreografer melakukannya?
Persoalannya, dalam konteks ini, Pingat Kejohanan Tari adalah ajang perlombaan yang memiliki konvensi-konvensi yang harus ditaati oleh para koreografer. Wujud dari garapan yang disajikan haruslah sebuah karya tari kotemporer yang masih berpijak pada seni tradisi Melayu. Koreografer dapat mengembangkan seluas-luasnya tetapi roh atau esensi tradisi Melayu masih dapat dirasakan oleh koreografer maupun penontonnya.
Sebenarnya dalam perlombaan, peserta seharusnya mentaati role atau peraturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara. Artinya, apabila dalam penyajian karya tersebut tidak memenuhi dari salah satu syarat dari aturan yang telah ditetapkan, maka karya tersebut harus diskualifikasi. Misalnya, banyak ditemukan karya-karya yang disajikan tidak memenuhi syarat waktu atau kurangnya durasi pertunjukan, yang seharusnya 10-15 menit. Semestinya panitia mengadakan persiapan khusus untuk mengatasi hal-hal seperti ini. Misalnya, calon peserta mengirimkan hasil rekaman/video karya tari, dan panitia menyeleksi diantara video-video tersebut memenuhi kriteria aturan. Relevansi dari tahap penyeleksian ini, adalah menghindari karya-karya tari yang kurang atau belum layak untuk ditampilkan dalam ajang skala provinsi. Boleh dikatakan ajang perlombaan dalam skala Provinsi merupakan sebuah event yang prestisius yang perlu pertimbangan, kesiapan, dan kematangan dari sang koreografer. Sebenarnya ini juga menghindari cara kerja atau bengkel dari masing-masing koreografer yang sifatnya instan, dan mentaati kedisiplinan yang tinggi dalam berproses kreatif. Suatu hal yang tidak mudah dalam berkarya, dibutuhkan proses kreatif dari gagasan yang berkembang menjadi utuh.
Para peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, secara keseluruhan masih harus banyak memahami tari kotemporer itu bagaimana. Tari kotemporer bukan sekadar bergerak di atas panggung, tetapi juga memerlukan kemampuan menghargai detail akan teknik, dan kualitas gerak, dapat menghubungkan komponen-komponen atau unsur dalam tari, dan yang terpenting dapat mewujudkan struktur koreografisnya. Artinya, subject metter, form, dan content menjadi suatu organisai atau satu kesatuan atau komposisi yang utuh dari unsur-unsur pendukung karya, (Dwi Marianto, 2002:17, lihat juga, Dharsono, 2007:31-33)
Pada konsep, ide atau gagasan, hampir secara keseluruhan peserta mengangkat dari keadaan sosial masyarakat. Gagasan apa saja bisa kita representasikan dan manifestasikan ke dalam karya tari. Namun, kembali ke tari kotemporer, jika gagasan yang diangkat adalah keadaan sosial atau sesuatu yang benar-benar aktual, berarti konsep tersebut orisinil. Karya tersebut ditampilkan dalam kondisi masyarakat masih memperbincangkannya atau topik pembicaraan (carrent issu), dan sepanjang belum ada koreografer lainnya membuat atau mengangkat dengan topik yang sama. Sebaliknya, konsep yang dikaryakan adalah keadaan sosial dan menjadi aktivitasnya sehari-hari bukanlah orisinil lagi. Saya tekankan kembali, bahwa ini adalah penilaian orisinilitas dalam gagasannya saja. Artinya, gagasan boleh sama, namun dalam bentuknya berbeda, maka inipun dapat dikatakan orisinil dalam wujud atau bentuk karya. Tepatnya, obyek materinya sama, tetapi obyek formalnya berbeda.
Mengenai gerak-gerak yang disajikan, secara keseluruhan tidak ada kebaruan dalam gerak. Gerak-gerak yang sama, tidak ada inovasi dalam gerak, dan lebih kepada imitatif atau meniru, hanya kepandaian atau ketrampilan koreografer dalam menyusun atau merangkai gerak dengan pengolahan komposisi, sehingga menjadi kemasan garapan baru. Secara keseluruhan peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, belum menampilkan esensi atau roh dari gerak tari tradisi Melayu. Gerak tari tradisi hanya sebagai tempelan dalam garapan tarinya, tanpa dikembangkan seluas-luasnya tetapi masih mewujudkan esensi tradisinya.
Membicarakan tentang teknologi, peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, sama sekali tidak bersentuhan dengan kecanggihan teknologi. Sepanjang lima tahun terakhir ini, di Pekanbaru belum ditemukan koreografer yang memadukan teknologi yang canggih seperti di Jakarta, dan Surakarta. Karya-karya besar telah lahir dengan perpaduan teknologi. Mungkin keterbatasan dana, atau tidak adanya sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan kecanggihan-kecanggihan teknologi. Teknologi adalah juga bagian dari kemasan kontemporer. n
Susi Vivin Astutim, akademisi dan praktisi tari Riau. Saat ini menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan bermastautin di Kota Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 November 2013
DEWAN Kesenian Riau (DKR) membangkitkan kembali kegiatan yang memberikan penghargaan kepada seniman, khususnya seniman yang bergerak dalam dunia gerak atau tari, setelah sekian tahun lamanya kegiatan ini hampir dilupakan oleh masyarakat seniman di Riau.
Pada Oktober 2013 lalu DKR menyelenggarakan dua kegiatan seni tari. Kedua kegiatan ini berbentuk dalam perlombaan dan pelatihan atau workshop tari. Perlombaan tari ini akrab disebut dengan Pingat Kejohanan Tari, yaitu penghargaan bagi yang juara. Bentuk perlombaan tari adalah karya kreativitas kontemporer, yang merupakan representasi dan manifestasi dari seniman-seniman yang menggeluti dunia gerak atau tari. Kegiatan lainnya adalah pelatihan atau workshop tari. Pelatihan ini memberikan atau pengayaan ilmu tari, bagaimana menciptakan sebuah karya tari kontemporer. Pelatihan juga menekankan pada calon-calon koreografer belajar menyusun atau menciptakan sebuah komposisi tari sehingga dapat divisualkan dalam bentuk koreografi kotemporer.
Kegiatan ini secara simultan diadakan pada hari dan tanggal yang sama, namun waktu dan tempat yang berbeda, 25-26 Oktober 2013. Pingat Kejohanan Tari diselenggarakan di gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus Tintin, sedangkan Worshop Tari, diselenggarakan di gedung DKR. Kegiatan ini melibatkan kabupaten/kota se-Riau yang merupakan utusan dan kabupaten atau kelompok secara mandiri.
Workshop Tari dilaksanakan pada 25 Oktober 2013, dari pagi hingga sore hari. Kegiatan ini menghadirkan Hartati, narasumber dari IKJ Jakarta, dan Faisal Amri, seorang seniman tari dari Kepulauan Riau. Juga SPN Iwan Irawan Permadi, seniman tari senior Riau.
Apresiasi terhadap workshop ini luar biasa, dilihat dari jumlah peserta yang hampir mencapai 200 orang, yang terdiri dari seniman, mahasiswa seni, guru-guru kesenian, dari utusan dari sanggar-sanggar. Apresiasi itu juga terlihat dari antusiasme mereka mengikuti workshop. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peserta workshop banyak berkisar tentang perbedaan-perbedaan antara tari tradisi, tari kreasi, tari modern, dan tari kotemporer.
Pingat Kejohanan Tari 2013, yang diselenggarakan DKR pada 26-27 Oktober 2013, bertempat di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru. Menurut Ketua Panitia M Nasir Penyalai, peserta pada tahun ini mengalami kenaikan yang luar biasa, dibandingkan dengan peserta Pingat Kejohanan Tari pada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya peserta hanya diikuti tujuh atau delapan peserta, maka pada tahun 2013 ini, dua kali lipatnya, yaitu lima belas peserta dari utusan Dewan Kesenian Daerah dan tambahan dari sanggar-sanggar di Pekanbaru. Dikarenakan kegiatan ini dilaksanakan selama dua malam, maka peserta terbagi menjadi dua, yaitu tujuh peserta menampilkan karyanya pada malam pertama, sedangkan karya-karya tari yang lainnya, sebanyak delapan dipertunjukan pada malam kedua.
Kegiatan ini, juga mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat Pekanbaru pada khususnya, terlihat banyaknya penonton yang memenuhi tempat duduk gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus Tintin. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa malam pertama kegiatan ini, ditampilkan tujuh peserta dari berbagai utusan daerah dan tuan rumah Pekanbaru.
Tari Kontemporer
Karya tari kotemporer merupakan sebuah karya yang memerlukan proses. Tari kotemporer bukan sekedar menarikan di atas panggung, melainkan karya tari yang memiliki konsep, gagasan, dan diperlukan adanya kemampuan menghargai detail teknik dan kualitas gerak, adanya hubungan antarkomponen, dan yang terpenting adalah struktur koreografisnya.
Margaret NH Doubler, mengungkapkan bahwa tari kotemporer merupakan sebuah istilah tari yang berupa aktivitas sosial dan individu. Penata tari atau penari yang membawakannya secara bebas menginterprestasikan pengalaman yang ada, dan mampu untuk menuangkan pandangan dan pengalamannya pada sebuah garapan tari dengan ‘gaya’ sendiri tetapi mempunyai simbol dan makna, dan mampu disampaikan terhadap penonton. Materi atau bahan yang diungkapkan dapat diangkat dan dikembangkan dari yang masih bersumber dan berpijak pada materi-materi tradisional maupun yang sudah terlepas sama sekali.
Dalam hal ini konteks pengkaryaan tari kotemporer, lebih menekankan pada koreografernya, yaitu gaya individu. Gaya individu atau koreografer di Indonesia tidaklah banyak, seperti gaya Bagong Kusudiarjo, dan gaya Sardono. Mengapa seperti itu? Bahwa tari kotemporer merupakan karya yang tidak mudah. Koreografer dapat merepresentasikan dan manifestasikan garapannya tanpa ada persamaan dengan gerak-gerak yang lainnya. Ini tidak mudah, dan dapat dikatakan sangat susah, butuh waktu dan proses yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun untuk menemukan sebuah gaya, ciri, atau identitas dalam gerak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sal Murgiyanto, karya tari kotemporer adalah menolak konvensi atau tradisi yang ada. Artinya, koreografer harus dapat keluar dari konvensi tersebut. Pertanyaannya; mampu tidak sang koreografer melakukannya?
Persoalannya, dalam konteks ini, Pingat Kejohanan Tari adalah ajang perlombaan yang memiliki konvensi-konvensi yang harus ditaati oleh para koreografer. Wujud dari garapan yang disajikan haruslah sebuah karya tari kotemporer yang masih berpijak pada seni tradisi Melayu. Koreografer dapat mengembangkan seluas-luasnya tetapi roh atau esensi tradisi Melayu masih dapat dirasakan oleh koreografer maupun penontonnya.
Sebenarnya dalam perlombaan, peserta seharusnya mentaati role atau peraturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara. Artinya, apabila dalam penyajian karya tersebut tidak memenuhi dari salah satu syarat dari aturan yang telah ditetapkan, maka karya tersebut harus diskualifikasi. Misalnya, banyak ditemukan karya-karya yang disajikan tidak memenuhi syarat waktu atau kurangnya durasi pertunjukan, yang seharusnya 10-15 menit. Semestinya panitia mengadakan persiapan khusus untuk mengatasi hal-hal seperti ini. Misalnya, calon peserta mengirimkan hasil rekaman/video karya tari, dan panitia menyeleksi diantara video-video tersebut memenuhi kriteria aturan. Relevansi dari tahap penyeleksian ini, adalah menghindari karya-karya tari yang kurang atau belum layak untuk ditampilkan dalam ajang skala provinsi. Boleh dikatakan ajang perlombaan dalam skala Provinsi merupakan sebuah event yang prestisius yang perlu pertimbangan, kesiapan, dan kematangan dari sang koreografer. Sebenarnya ini juga menghindari cara kerja atau bengkel dari masing-masing koreografer yang sifatnya instan, dan mentaati kedisiplinan yang tinggi dalam berproses kreatif. Suatu hal yang tidak mudah dalam berkarya, dibutuhkan proses kreatif dari gagasan yang berkembang menjadi utuh.
Para peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, secara keseluruhan masih harus banyak memahami tari kotemporer itu bagaimana. Tari kotemporer bukan sekadar bergerak di atas panggung, tetapi juga memerlukan kemampuan menghargai detail akan teknik, dan kualitas gerak, dapat menghubungkan komponen-komponen atau unsur dalam tari, dan yang terpenting dapat mewujudkan struktur koreografisnya. Artinya, subject metter, form, dan content menjadi suatu organisai atau satu kesatuan atau komposisi yang utuh dari unsur-unsur pendukung karya, (Dwi Marianto, 2002:17, lihat juga, Dharsono, 2007:31-33)
Pada konsep, ide atau gagasan, hampir secara keseluruhan peserta mengangkat dari keadaan sosial masyarakat. Gagasan apa saja bisa kita representasikan dan manifestasikan ke dalam karya tari. Namun, kembali ke tari kotemporer, jika gagasan yang diangkat adalah keadaan sosial atau sesuatu yang benar-benar aktual, berarti konsep tersebut orisinil. Karya tersebut ditampilkan dalam kondisi masyarakat masih memperbincangkannya atau topik pembicaraan (carrent issu), dan sepanjang belum ada koreografer lainnya membuat atau mengangkat dengan topik yang sama. Sebaliknya, konsep yang dikaryakan adalah keadaan sosial dan menjadi aktivitasnya sehari-hari bukanlah orisinil lagi. Saya tekankan kembali, bahwa ini adalah penilaian orisinilitas dalam gagasannya saja. Artinya, gagasan boleh sama, namun dalam bentuknya berbeda, maka inipun dapat dikatakan orisinil dalam wujud atau bentuk karya. Tepatnya, obyek materinya sama, tetapi obyek formalnya berbeda.
Mengenai gerak-gerak yang disajikan, secara keseluruhan tidak ada kebaruan dalam gerak. Gerak-gerak yang sama, tidak ada inovasi dalam gerak, dan lebih kepada imitatif atau meniru, hanya kepandaian atau ketrampilan koreografer dalam menyusun atau merangkai gerak dengan pengolahan komposisi, sehingga menjadi kemasan garapan baru. Secara keseluruhan peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, belum menampilkan esensi atau roh dari gerak tari tradisi Melayu. Gerak tari tradisi hanya sebagai tempelan dalam garapan tarinya, tanpa dikembangkan seluas-luasnya tetapi masih mewujudkan esensi tradisinya.
Membicarakan tentang teknologi, peserta Pingat Kejohanan Tari 2013, sama sekali tidak bersentuhan dengan kecanggihan teknologi. Sepanjang lima tahun terakhir ini, di Pekanbaru belum ditemukan koreografer yang memadukan teknologi yang canggih seperti di Jakarta, dan Surakarta. Karya-karya besar telah lahir dengan perpaduan teknologi. Mungkin keterbatasan dana, atau tidak adanya sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan kecanggihan-kecanggihan teknologi. Teknologi adalah juga bagian dari kemasan kontemporer. n
Susi Vivin Astutim, akademisi dan praktisi tari Riau. Saat ini menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan bermastautin di Kota Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 November 2013
No comments:
Post a Comment