Sunday, November 24, 2013

[Tifa] Retrospeksi Wahyoe Wijaya

-- Iwan Kurniawan

SAAT mendengar nama Wahyoe Wijaya (1950-2012) dalam jagat raya seni rupa Indonesia, kita tidak perlu lagi meragukan kualitas karyanya. Berbagai gaya lukis dan bentuk yang dibuatnya dengan pendekatan eksperimental hingga pemahaman akan kemanusiaan itu sendiri begitu kuat.

Meski sudah setahun pergi ke pangkuan Sang Khalik, toh Wahyoe masih diperbincangkan dan dikenang sebagai salah satu seniman hebat yang pernah dimiliki Indonesia. Tentu saja, ada kenangan manis bagi setiap orang yang pernah berkenalan dengannya.

Pada pembukaan pameran retrospektif bertajuk Born as an Artist di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pertengahan pekan ini, cukup banyak rekan, sahabat, dan penggemarnya yang hadir. Mereka, antara lain, Eros Djarot, Didi Petet, dan Slamet Rahardjo.

Para sahabat sekadar melihat koleksi Wahyoe yang selama ini berada di Studio Puri Naga, Legian, Bali, yang tentu saja merupakan milik keluarganya. Sebagian besar karya terpajang rapi di tembok dan beberapa lainnya--berupa instalasi--sengaja digeletakkan di lantai sehingga pengunjung bisa ikut merasakan ‘gaib’ yang Wahyoe buat semasa hidup.

Pameran tunggal di TIM merupakan kedua kalinya. Pertama bertajuk Realitas dihajat pada 1984. Pameran tunggal Wahyoe yang terakhir bertajuk Menembus Waktu digelar di Danes Art Veranda, Denpasar, Bali, pada 2005. Maklum, dia menghabiskan masa tuanya di Pulau Dewata hingga menghembuskan napas terakhir pada 22 Juli 2012.

Bila diperhatikan secara dekat, pameran tunggal mengenang Wahyoe itu memang berbeda dengan pemeran tunggal umumnya. Wahyoe seakan hadir malam itu di tengah-tengah kerumunan ratusan pengunjung, tetapi bukan tubuh (lichaam).

Beberapa karya lukis Wahyoe begitu lekat lewat teknik collage. Teknik itu sering dipakai ketika kuas dan warna tak sanggup menampung luapan ekspresi yang ingin divisualkan dengan memotong kendala waktu sekaligus mengeluarkan karakter material dan makna.

“Ia sering menggunakan barang-barang bekas yang dikumpulkan dan ditransformasikan menjadi satu elemen ungkap di karya lukisnya,” ujar kurator Merwan Yusuf menanggapi teknik dan gaya Wahyoe semasa hidup.

Teknik dan eksperimen itu terlihat jelas pada karya Batu (81x123 cm, 1998). Wahyoe menangkap tragedi 1998 yang menjadi sebuah pergolakan sosial dan politik. Ia mengabadikannya lewat karya tersebut.

Karya ekspresif itu menghadirkan batu, kaca, dan corak bunga yang diramu menjadi satu padu di atas kanvas. “Batu sebagai simbol massa yang melempar toko atau gedung hingga hancur. Kaca-kaca itulah sebagai lambang kehancuran,” jelas pria berambut plontos dan berkacamata itu.

Menafsir kematian

Ada puluhan karya yang dipamerkan pada 19-29 November. Semua menunjukkan proses kreatif Wahyoe saat dia bepergian ke luar negeri seperti Inggris dan Belanda hingga memutuskan untuk tinggal di Bali.

Amsterdam (1976) menjadi sebuah karya yang dibuat di Belanda. Dia menghadirkan deburan air laut yang seakan menyatu dengan sebuah pohon. Sementara itu, ada sebuah cawan kaca yang terletak di atas bola sehingga tampak menyatu.

Begitu pula saat dia melihat proses agama dan budaya Hindu Bali sehingga terabadikan lewat karya Ngaben (65x63, 1989). Tradisi Pulau Dewata dia masukkan sebagai sebuah lambang atas simbol identitas keindonesiaanya.

Terlepas dari karya-karya yang dipajang, ada sebuah karya yang dia buat setahun sebelum ajal datang menjemputnya. Itu terlihat lewat karya Ride with the Best or Die Like the Road (141x95 cm).

Semasa hidup, Wahyoe memang suka mengendarai moge (motor gede). Pengalaman itulah yang tergambar secara impresif. Dia menghadirkan simbol mesin motor yang terbakar, sedangkan ada tengkorak dan tangan-tangan yang seakan meminta pertolongan.

Terlepas dari interpretasi yang kita lihat lewat karya itu, Wahyoe ialah penunggang moge yang setia. Dia begitu senang dan menikmati hobi selain melukis.

Wahyoe terlahir sebagai seorang seniman sebagaimana tema pameran yang diusung untuk mengenang kembali sosoknya. Dia sudah pergi membalut kesendirian abadi, sebagaimana tertuang lewat karya Solitude dan The Shorrow INRI. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013

  

No comments: