Sunday, November 03, 2013

[Jeda] Tetap Usung Nasionalisme

-- Iwan Kurniawan

Dari masa ke masa, komik selalu diburu pembaca. Keberadaan komunitas pun menjadi sarana komikus untuk bertemu dan berdiskusi tentang perkembangannya tanpa meninggalkan unsur nasionalisme.

PULUHAN kertas dengan desain gambar berbeda tampak berserak di atas meja. Mujiyono Sutarno, pendiri Komunitas Komik ISI Surakarta (Komis), sibuk memilah bagian-bagian gambar yang selesai ia kerjakan.

Seekor burung yang menyerupai garuda pun terpatri dengan sayap melebar. Desainnya cukup khas sehingga tampak seperti lambang Pancasila. “Ini komik tentang Pancasila, lo. Sudah mau diterbitkan secara indie,” ujar Mujiyono di Surakarta, Jawa Tengah, dua pekan lalu.

Di basecamp yang berada di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu ia bersama 12 anggota membuat komik dengan mengusung nilai-nilai keindonesiaan. Tak mengherankan jika mereka ingin mengekspos pahlawan super lokal dengan versi berbeda.

Lewat Komis, mereka melakukan sosialisasi di beberapa sekolah yang ada di Surakarta dan sekitarnya. Tak hanya itu, untuk merangsang anak-anak muda, Mujiyono sudah membuat kompilasi komik lokal.

Ada First Stape (2008), Dua Dunia (2009), Segitiga (2004), dan Kompilasi Empat Penjuru (2012). “Sekarang banyak komikus yang fokus kepada tema nasional(isme). Saya mengusung Pancasila dalam kompilasi terbaru karena memang unik,” jelasnya, santai.

Keberadaan tokoh superhero cukup banyak di Indonesia. Bila di Amerika ada Superman, Hulk, Iron Man, hingga Batman, Indonesia juga punya tokoh super di zamannya. Sebut saja Godam Manusia Besi (1969), Gundala Putra Petir (1969), Sembrani (1974), Aquanus (1968), Pangeran Mlaar (1969), Kalong (1972), Jin Kartubi (1968), Merpati (1977), dan Caroq (1992).

Komikus Rebendra Yudistira Alamin mengaku unsur budaya dan tokoh lokal berkarakter unik selalu menjadi ide segar. Ia sendiri sudah mengeksplorasi budaya Jawa dalam komiknya. “Sekarang saya juga sudah memasukkan komodo sebagai identitas bangsa, biar isi komik lebih variatif,” ujar juara Kompetisi Komik Indonesia 2012 itu.

Lelaki asal Surabaya, Jawa Timur, tersebut menilai keberadaan komik lokal sudah mulai mendapatkan geliatnya. Untuk itulah ia menyambut girang perhelatan kompetisi komik yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.

Dari masa ke masa

Keberadaan komik Indonesia cukup pesat. Ada komik strip, komik buku, hingga komik asing. Komik strip sifatnya berada di majalah dan koran. Komik jenis ini sangat terbatas ruangnya.

Tantangan story telling dalam komik strip berbeda dengan komik buku. Ada ciri dan karakter sehingga segmen (pembaca) berbeda-beda,” ujar Hikmat Darmawan, pemerhati komik.

Ia menilai banyak komikus yang terpengaruh manga, komik Jepang, terutama yang ditujukan untuk perempuan (shojo) dan untuk laki-laki (shonen). “Banyak komikus-komikus Indonesia menang kompetisi di Jepang karena terpengaruh manga,” papar Hikmah.

Sayid Mataram, peneliti komik dari Akademi Seni dan Desain Indonesia Surakarta, melihat perkembangan komik mengalami pasang surut. Komik lokal pertama di Tanah Air digarap komikus Kho Wangie (peranakan China) pada era 1930-an di harian Sin Po. Komik Kho yang terkenal yaitu Put On yang menggunakan bahasa Melayu. “Awal masuknya komik ke Nusantara dibawa oleh kolonial, terutama komik strip Flash Gordon. Saya melihat ada dampak yang kuat kepada pembaca,” ujarnya.

Rasa kebangsaan dan semangat nasionalisme baru tampak pada era 1940 hingga 1950-an. Itu bisa dilihat dari munculnya Sri Asih karya RA Kosasih, Gundala (Hasmi), dan Si Buta dari Gua Hantu (Ganes TH). “Ada yang menarik saat itu karena di saat nasionalisme tumbuh, banyak pula komikus berapi-api memasukkan rasa kebangsaan ke dalam komik,” jelasnya.

Selain itu pada 1926-1994, komik di Indonesia juga diramaikan komik silat karangan Asmaraman S Kho Ping Hoo. Ia banyak mengupas cerita berlatar belakang Tionghoa. Pada Orde Lama/Orde Baru, sempat ia dituduh sebagai pembangkang pemerintah sehingga ia bermain lewat kisah-kisah kebangsaan, terutama lewat novel Merdeka atau Mati (1979).

“Sebagai pengarang, Kho Ping Hoo sangat tekun berkarya. Ia konsisten menulis tentang cerita Tionghoa dan Nusantara hingga akhir hayatnya. Ia juga buat komik, namun komik silat,” kenang pemimpin CV Gema Bunawan Sastraguna W.

Sempat suram

Pada era 1960-1970-an, komik sempat dinilai lekat dengan erotisme. Berbagai komik yang awalnya mengandung semangat nasionalisme pun berganti menjadi semangat erotisme. Tak mengherankan bila pemerintah Orde Lama mengeluarkan semacam badan sensor di bawah Kepolisian RI. Itulah yang membuat banyak komik dihanguskan penguasa saat itu.

Komik Indonesia sempat mengalami mati suri antara era 1970 dan 1980-an. Minat masyarakat pun menurun. Hal itu seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada era 1950-an. Kala itu terjadi pembakaran secara heboh. Komik dianggap jahat karena mengandung unsur kekerasan, penggunaan narkoba, dan seks. “Di Indonesia kejadian itu sempat terjadi di era 1970-1980 sehingga masuk ke mindset orangtua. Mereka melarang anak membaca komik,” papar Sayid.

Selanjutnya pada era 1980 hingga 1990-an, Indonesia kebanjiran komik Eropa, seperti Tintin dan Milo, Smurfs, serta Asterix dan Obelix. Barulah, awal 1990-an masuk komik manga dan manhwa (China). “Masuknya Eropa membuat masyarakat tertarik karena lucu. Berbeda dengan era 70-an yang realis dan hitam putih,” tuturnya.

Kini, komik Indonesia sudah cukup mengalami kemajuan. Namun, kebanyakan komikus Indonesia kurang dikenal masyarakat. Pada era 1960-1970, komikus bak selebritas. Saat orang mau membuat baju, selalu referensinya dari gambar di komik karangan Zaldy Armendaris. Soal pemintalan, referensinya ialah komik Jan Mintaraga. Adapun untuk kerumitan pemandangan dan struktur tubuh, komik milik Teguh Santosa yang jadi rujukan. (M-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013

No comments: