-- Iwan Kurniawan
Masa 23 tahun meneliti orang Bati membawa Pieter pada sebuah jawaban. Suku pedalaman di Pulau Seram itu tidak memiliki kekuatan gaib untuk ilang-ilang hingga terbang.
PERJALANAN menempuh lautan dan perbukitan membuat Pieter Jacob Pelupessy mampu mengabadikan hidupnya selama 23 tahun (1985-2008) untuk mencari tahu kebenaran orang Bati.
Konon, orang Bati dianggap memiliki mistik oleh sebagian besar orang Maluku. Mereka dianggap sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang) dan memiliki kemampuan gaib, terbang mengarungi lautan.
Penuturan yang melegenda itu sempat membuat para tua-tua adat yang mendiami desa-desa adat di Maluku segan untuk bertemu subsuku tersebut. Mereka enggan berbicara atau bertemu dengan orang Bati yang berada di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku.
Tentu saja, lewat pendekatan kultural, Pieter mampu mematahkan anggapan negatif itu lewat studi komparatifnya. “Semua yang saya tuangkan dalam buku ini berisi sebagian besar pengalaman hidup saya sejak 1976. Cukup lama saya mencari tahu keberadaan orang ilang-ilang itu,†tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, pertengahan pekan ini.
Lewat bukunya Esurium Orang Bati (Kekal Press, Bogor, 2013), Pieter yang bekerja sebagai dosen sarjana dan pascasarjana sosiologi Universitas Pattimura, Ambon, itu mencoba memberikan sebuah perspektif baru.
Buku setebal 427 halaman itu merupakan karya Pieter dengan editor Arie Herdiyanto dan desain kover Bambang Shakuntala. Pieter mencoba menghadirkan persoalan sosial dan kearifan lokal yang ada dalam tatanan kehidupan orang Bati (hlm 50).
Secara peradaban, dalam hal teknologi, memang orang Bati jauh tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain di sekitar pulau-pulau yang ada di Maluku, seperti Pulau Lease, Pulau Ambon, dan Pulau Buru.
Namun, ada yang menarik. Orang Bati masih menjaga tradisi-tradisi nenek moyang dan mitologi-mitologi sebagai jati diri. Orang Bati punya kebiasaan hidup bergandeng tangan dengan suku-suku lainnya yang mendiami Pulau Seram. Sayang, acap kali nama ‘seram’ dianggap angker dan seram (menakutkan) oleh masyarakat luar.
Nama ‘Bati’ sendiri mengandung makna mistis. Orang Bati diyakini memiliki kemampuan terbang melewati laut. Tak mengherankan, studi pustaka dan pengalaman mengunjungi daerah pedalaman itulah yang membuat Pieter menjadi peneliti yang cukup sabar, terutama dalam menghadirkan kisah-kisah dengan metodologi ilmiah lewat bukunya tersebut.
Esurium dalam nilai budaya orang Bati bukan saja mengindikasikan hak milik atas suatu wilayah, melainkan juga satu strategi hidup yang lahir dari pengalaman hidup para leluhur orang Bati terhadap lingkungan sosial ataupun alamnya.
Esurium terdiri dari dua kata, yaitu esu yang berarti ‘hutan’ dan rium yang berarti ‘ribuan’ atau ‘beribu-ribu’. Jadi, esurium ialah tanah adat yang diyakini memiliki jiwa dan sakral, berfungsi sebagai ruang sosial, budaya, dan ekonomi.
Kesatuan hidup diikat konsep hidup roina kakal (orang bersaudara). Untuk itulah esurium harus dilindungi, dijaga, dan dipagari penduduknya. Tak ayal, anggapan itulah yang membuat orang luar tidak masuk ke sana karena dianggap pamali (pantangan).
Status esurium sebagai daerah pantangan itulah yang membuatnya terlindungi dari tangan-tangan orang luar. Alam yang asri masih ditemukan di wilayah yang masuk Kabupaten Seram Bagian Timur itu.
Mitologi Gunung Bati
Sebagai daerah terpencil yang jauh dari perkotaan, masyarakat setempat masih memiliki anggapan tentang asal-muasal orang Bati. Mereka percaya manusia berasal dari Gunung Bati (hlm 360).
Untuk itulah mereka menganggap gunung itu sakral sehingga tidak boleh dirusak. Keturunan manusia awal (Alifuru) pun diyakini juga berasal dari Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram yang senantiasa menyatu dengan kosmos tempat mereka berada (hlm 128).
Lewat pendekatan sosial kultural, esurium orang Bati merupakan akar budaya karena terdapat nilai, norma, dan adat istiadat yang semuanya terlembaga dalam daerah/desa adat.
Ada pandangan hidup untuk menjaga kelestarian hutan sehingga daerah yang dianggap ‘terlarang’ tidak boleh dimasuki. Itu sebagai bentuk untuk menjaga flora dan fauna secara tak langsung.
Budaya esurium di Tanah Bati senantiasa dilakukan melalui ritus-ritus adat yang berhubungan dengan tatanan hidup masyarakat yang mendiami kawasan hutan hujan tropis yang masih lebat dan perawan itu.
Mus Huliselan menilai masih banyak unsur kebudayaan orang Bati yang belum sempat diteliti dan digali. Buku Esurium Orang Bati sekadar pintu. Pengelolaan hutan, survival strategy (strategi hidup), dan kearifan lokal telah digambarkan. “Akan menarik bila banyak ilmuwan menggali sisi tatanan orang pedalaman dengan pendekatan lainnya,†nilainya.
Sebagai putra Maluku, Pieter mampu menghadirkan penyajian buku secara sistematis. Namun, buku tersebut tak menghadirkan sisi human interest. Bahasanya terlalu kaku sehingga membuat pembaca awam lebih cepat bosan. (M-2)
miweekend@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013
Masa 23 tahun meneliti orang Bati membawa Pieter pada sebuah jawaban. Suku pedalaman di Pulau Seram itu tidak memiliki kekuatan gaib untuk ilang-ilang hingga terbang.
PERJALANAN menempuh lautan dan perbukitan membuat Pieter Jacob Pelupessy mampu mengabadikan hidupnya selama 23 tahun (1985-2008) untuk mencari tahu kebenaran orang Bati.
Konon, orang Bati dianggap memiliki mistik oleh sebagian besar orang Maluku. Mereka dianggap sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang) dan memiliki kemampuan gaib, terbang mengarungi lautan.
Penuturan yang melegenda itu sempat membuat para tua-tua adat yang mendiami desa-desa adat di Maluku segan untuk bertemu subsuku tersebut. Mereka enggan berbicara atau bertemu dengan orang Bati yang berada di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku.
Tentu saja, lewat pendekatan kultural, Pieter mampu mematahkan anggapan negatif itu lewat studi komparatifnya. “Semua yang saya tuangkan dalam buku ini berisi sebagian besar pengalaman hidup saya sejak 1976. Cukup lama saya mencari tahu keberadaan orang ilang-ilang itu,†tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, pertengahan pekan ini.
Lewat bukunya Esurium Orang Bati (Kekal Press, Bogor, 2013), Pieter yang bekerja sebagai dosen sarjana dan pascasarjana sosiologi Universitas Pattimura, Ambon, itu mencoba memberikan sebuah perspektif baru.
Buku setebal 427 halaman itu merupakan karya Pieter dengan editor Arie Herdiyanto dan desain kover Bambang Shakuntala. Pieter mencoba menghadirkan persoalan sosial dan kearifan lokal yang ada dalam tatanan kehidupan orang Bati (hlm 50).
Secara peradaban, dalam hal teknologi, memang orang Bati jauh tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain di sekitar pulau-pulau yang ada di Maluku, seperti Pulau Lease, Pulau Ambon, dan Pulau Buru.
Namun, ada yang menarik. Orang Bati masih menjaga tradisi-tradisi nenek moyang dan mitologi-mitologi sebagai jati diri. Orang Bati punya kebiasaan hidup bergandeng tangan dengan suku-suku lainnya yang mendiami Pulau Seram. Sayang, acap kali nama ‘seram’ dianggap angker dan seram (menakutkan) oleh masyarakat luar.
Nama ‘Bati’ sendiri mengandung makna mistis. Orang Bati diyakini memiliki kemampuan terbang melewati laut. Tak mengherankan, studi pustaka dan pengalaman mengunjungi daerah pedalaman itulah yang membuat Pieter menjadi peneliti yang cukup sabar, terutama dalam menghadirkan kisah-kisah dengan metodologi ilmiah lewat bukunya tersebut.
Esurium dalam nilai budaya orang Bati bukan saja mengindikasikan hak milik atas suatu wilayah, melainkan juga satu strategi hidup yang lahir dari pengalaman hidup para leluhur orang Bati terhadap lingkungan sosial ataupun alamnya.
Esurium terdiri dari dua kata, yaitu esu yang berarti ‘hutan’ dan rium yang berarti ‘ribuan’ atau ‘beribu-ribu’. Jadi, esurium ialah tanah adat yang diyakini memiliki jiwa dan sakral, berfungsi sebagai ruang sosial, budaya, dan ekonomi.
Kesatuan hidup diikat konsep hidup roina kakal (orang bersaudara). Untuk itulah esurium harus dilindungi, dijaga, dan dipagari penduduknya. Tak ayal, anggapan itulah yang membuat orang luar tidak masuk ke sana karena dianggap pamali (pantangan).
Status esurium sebagai daerah pantangan itulah yang membuatnya terlindungi dari tangan-tangan orang luar. Alam yang asri masih ditemukan di wilayah yang masuk Kabupaten Seram Bagian Timur itu.
Mitologi Gunung Bati
Sebagai daerah terpencil yang jauh dari perkotaan, masyarakat setempat masih memiliki anggapan tentang asal-muasal orang Bati. Mereka percaya manusia berasal dari Gunung Bati (hlm 360).
Untuk itulah mereka menganggap gunung itu sakral sehingga tidak boleh dirusak. Keturunan manusia awal (Alifuru) pun diyakini juga berasal dari Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram yang senantiasa menyatu dengan kosmos tempat mereka berada (hlm 128).
Lewat pendekatan sosial kultural, esurium orang Bati merupakan akar budaya karena terdapat nilai, norma, dan adat istiadat yang semuanya terlembaga dalam daerah/desa adat.
Ada pandangan hidup untuk menjaga kelestarian hutan sehingga daerah yang dianggap ‘terlarang’ tidak boleh dimasuki. Itu sebagai bentuk untuk menjaga flora dan fauna secara tak langsung.
Budaya esurium di Tanah Bati senantiasa dilakukan melalui ritus-ritus adat yang berhubungan dengan tatanan hidup masyarakat yang mendiami kawasan hutan hujan tropis yang masih lebat dan perawan itu.
Mus Huliselan menilai masih banyak unsur kebudayaan orang Bati yang belum sempat diteliti dan digali. Buku Esurium Orang Bati sekadar pintu. Pengelolaan hutan, survival strategy (strategi hidup), dan kearifan lokal telah digambarkan. “Akan menarik bila banyak ilmuwan menggali sisi tatanan orang pedalaman dengan pendekatan lainnya,†nilainya.
Sebagai putra Maluku, Pieter mampu menghadirkan penyajian buku secara sistematis. Namun, buku tersebut tak menghadirkan sisi human interest. Bahasanya terlalu kaku sehingga membuat pembaca awam lebih cepat bosan. (M-2)
miweekend@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013
No comments:
Post a Comment