-- Arie MP Tamba
‘Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia.‘ (Pramudya Ananta Toer, Tempo, 1999)
KETIKA Alice Munro, cerpenis Kanada yang piawai mengolah dan mengurai "jiwa perempuan" sampai ke sela-sela terdalamnya, dan menampilkannya ke permukaan dalam untaian cerita bergaya realis yang memukau menyabet Nobel Sastra 2013, seorang penulis di dunia maya menulis, "Saya suka, tapi saya tetap menjagokan Pramudya Ananta Toer." Suatu pernyataan yang bagi saya "membangunkan" pertanyaan dan mengingatkan saya pada sebuah tulisan tentang karya Pram, Arus Balik.
Kenapa Nobel Sastra hanya diberikan kepada para sastrawan yang masih hidup? Itulah pertanyaan sekaligus gugatan, karena hal tersebut mengakibatkan banyak sastrawan besar yang karya-karyanya gemilang kehilangan kesempatan mendapatkan penghargaan ‘layak‘ minimal dari komunitasnya. Karena mereka telah pergi lebih dulu, meninggalkan karya-karya besar besar yang masih saja dibaca hingga kini. Sebut saja Mishima dari Jepang, Borges dan Cortazar dari Argentina, dan...Pram dari Indonesia. Sedikit nama besar yang meninggalkan jejak sastra yang masih jadi sumber inspirasi bagi sastrawan kemudian dan pembaca sastra umumnya.
Banyak buku telah mengurai panjang lebar perihal sosok Pram dan perjalanan keseniannya, namun untuk tulisan ini saya mengutip biografi singkat Pram dari buletin sastra online Pawon.
Pram dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung. Ayahnya seorang guru dan ibunya pedagang nasi. Pram meneruskan sekolahnya pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, Pram mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Pram menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia jadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Masa itu, Pram mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.
Pram banyak melakukan kritik terhadap pemerintahan Jawa-sentris, dan pernah mengusulkan agar ibukota Indonesia dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an Pram ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang beredar, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pram merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Pram dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pram dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu Pram menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Pram telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa.
Banyak dari tulisan Pram menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambarkan pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya Pram aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pram menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku karya-karya Pram. Pameran itu sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pram. Pameran bertajuk "Pram, Buku dan Angkatan Muda" menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 bukunya yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Pram meninggal dunia pada 30 April 2006 (usia 81 tahun).
Kepada seorang kawan sesama blogger, beberapa waktu berselang saya mengakui, bahwa novel Indonesia yang masih membuat saya terkenang-kenang sampai saat ini adalah Arus Balik-nya Pram. Saya memang mengakrabi karya-karya besar Pram lainnya, khususnya tetralogi Bumi Manusia. Tapi saya semakin menyadari, keraksasaan Pram sebagai pengarang paling menonjol adalah di Arus Balik. Untuk mengenangnya, saya pun mencoba menunjukkan penghargaan melalui uraian ini.
Arus Balik secara gemilang memperlihatkan situasi dan proses kehidupan yang kompleks sekitar abad XVI di Nusantara, terutama di sekitar Tuban, Jepara, Demak, sebagai pusat-pusat kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, dalam persinggungannya dengan ekspansionisme Portugis dan Spanyol ke berbagai pelosok dunia yang ternyata sampai juga ke wilayah Nusantara.
Arus Balik sebagai judul sekaligus tema menggambarkan secara ilustratif, bahwa pada zaman Majapahit, arus ekonomi, politik, dan budaya "bergerak" dari selatan ke utara. Pada zaman Gajah Mada ini (bagian kedua abad ke-14), keagungan dan kekuasaan Majapahit membesar di kawasan yang makin meluas, bahkan sampai melampaui batas negara Indonesia sekarang. Namun, selama abad ke-15, kejayaan itu makin mundur, dan pada awal abad ke-16, ketika cerita Arus Balik dimulai, gerak "arus balik", yaitu arus kekuasaan, ekonomi, dan budaya termasuk agama, dari utara makin deras.
Pertama, arus agama Islam menggelombang dari 'atas angin', menyebar di Nusantara, berangsur-angsur menyingkirkan agama Hindu-Buddha yang selama 1000 tahun berkibar di daerah Jawa-Bali. Kedua, munculnya kekuasaan Eropa yang dilambangkan oleh jatuhnya Kesultanan Malaka dan datangnya Portugis ke Nusantara. Dengan begitu, disimpulkan bahwa keruntuhan keagungan Jawa bukanlah sebuah perkembangan sejarah yang tak terhindari atau nasib yang tak terelakkan. Melainkan, karena Jawa sendiri "memungkinkan" orang utara mengambil alih kepemimpinan di daerah Nusantara. Pemimpin Jawa, tidak lagi punya visi dan wibawa seperti pendahulunya, terutama negarawan unggul semacam Patih Majapahit, Gajah Mada.
Arus Balik melibatkan banyak tokoh cerita dengan jalinan kausalitas kehidupan yang erat, mulai dari Galeng (yang kemudian menjadi Wiranggaleng), Idayu, Pada (yang kemudian menjadi Mohammad Firman), Rama Cluring, Sayid Habibullah Almasawa (syahbandar baru), Ki Aji Benggala (syahbandar lama yang kemudian bergelar Sunan Rajeg), Adipati Unus, Adipati Tuban, Gelar, Jafar, dan banyak lagi, yang merentang plot dan karakter dari lapisan jelata sampai ningrat, dari wilayah "garong" sampai "agamawan", penduduk desa dan kota, dari suku bangsa Jawa, Sunda, Banten, Melayu, dan bangsa Arab, Cina, Portugis, Spanyol. Berada dalam kerangka waktu penceritaan yang sama, dengan persoalan kehidupan yang berbeda-beda, dan respon yang saling berbeda-beda pula dalam menanggapi situasi yang sama maupun berlainan.
Pada bagian pembukaan Arus Balik menyajikan beberapa peristiwa yang selanjutnya menjadi ciri khas pada setiap halamannya: kesertamertaan (simultan dan paralel). Langit cerah, cahaya bulan menyinari hutan, laut, hewan, manusia; bumi gelisah dan resah; laut Jawa gelisah; kapal peronda pantai meluncur cepat dengan tiga orang penumpang yang gelisah (juru tinjau, nakhoda, dan Patragading, putra keduaratus empat puluh satu raja atau Adipati Tuban); anjing hutan merenungi langit, membaung menyeru rembulan; seorang tua memberi wejangan pada masyarakat Awiskrambil, wilayah perbatasan Tuban, dan di antara masyarakat itu terdapat dua tokoh utama cerita: Galeng dan Idayu.
Arus Balik bercerita tentang masa-masa akhir kerajaan Tuban akibat ancaman Portugis dari laut, ancaman Demak yang sudah menguasai Jepara, wilayah Tuban. Kerajaan Demak, melalui Pati Unus, berusaha menyerang Portugis di Malaka, Adipati Tuban tak mau ikut serta dan membantu dengan ikhlas, bahkan berusaha merangkul Portugis. Untuk tujuan tersebut, Tuban menggantikan syahbandarnya yang lama dengan syahbandar baru pelarian dari Malaka yang dianggap dapat berkomunikasi dengan Portugis atau Spanyol.
Adipati Tuban adalah orang yang berikhtiar memegang status-quo tanpa menyadari bahwa masa lalu sudah lewat untuk selamanya. Adipati Tuban menjadi lambang sikap pemimpin Jawa masa itu: hidup dalam keratonnya, ingin tahu berita-berita baru tentang apa yang terjadi di dunia luar, senang berfilsafat tentang peredaran zaman, tapi tidak berani atau tidak sanggup menarik kesimpulan dari berita yang ia terima atau mengambil tindakan tegas untuk mencegah “arus balik" yang langsung mengancam status-quonya.
Sementara itu, Tuban sedang menyambut kedatangan Idayu, penari kesayangan raja yang berasal dari Awiskrambil dan juga pegulat perkasa yang bernama Galeng yang sekaligus kekasih Idayu.
Pada awalnya, Galeng buta politik; satu-satunya pegangannya ialah wejangan dan ajaran Rama Cluring tentang panggilan yang harus diemban angkatan muda Tuban. Ketika Adipati Tuban memaksanya menetap di kota Tuban, ia merasa sangat berbahagia, apa lagi ia selalu dicemoohkan dan dihinakan para pembesar Tuban, sebagai anak dusun yang bodoh dan picik, hanya mempunyai kekuatan fisik sebagai pegulat. Tapi berangsur-angsur Galeng belajar banyak tentang hubungan politik dan tentang sikap pemimpin Tuban dan lain-lain. Adipati sebenarnya sangat cemburu dan tersinggung sebab tak berhasil mengambil Idayu sebagai selirnya. Si penari yang memukau beragam laki-laki itu tetap setia kepada Galeng. Dan Adipati Tuban juga terpaksa mengakui keberanian dan kepandaian Galeng menghadapi serangan Sunan Rajeg dan mengangkatnya sebagai panglima.
Namun, Wiranggaleng sendiri bukanlah pahlawan ideal yang berhasil mengalahkan semua lawan, mampu mewujudkan angan-angannya, sekalipun memahami prioritas seorang raja Jawa: berani memperjuangkan cita-cita keagungan dan kejayaan Jawa, khususnya Tuban, untuk mana, ia siap mengorbankan segalanya. Wiranggaleng juga harus mengalami penderitaan terpisah dari istri dan anak-anaknya, untuk suatu "perang politik" Adipati Tuban yang menilai orang lain tidak sejajar dengan dirinya. Dan lebih jauh, Galeng nyaris menjadi prototipe protagonis kesayangan Pram: telah melawan, meskipun sia-sia, sebagaimana Minke, Ontosoroh, dan tokoh-tokoh penting lainnya dalam novel-novel maupun cerpen-cerpen Pram.
Dan Wiranggaleng memang telah mengorbankan banyak, termasuk "pasrah" menerima Idayu yang "diperkosa" oleh Sayid Habibullah Musawa menggunakan obat bius, ketika Galeng di medan perang. (Si syahbandar yang pandai berkata-kata dan licik ini, menurut Arus Balik, adalah tokoh pembawa "jagung" pertama ke Pulau Jawa dan Nusantara. Wiranggaleng mengangkat dirinya sendiri sebagai senapati, karena senapati lama ragu menyerang bekas Syahbandar Tuban yang kemudian menghimpun kekuatan di pedalaman. Tuban berhasil menaklukkan pemberontak itu. Seterusnya, kota Tuban menjadi semakin sepi dan Galeng serta Idayu kembali ke desa, memutuskan menjadi rakyat biasa, setelah lelaki itu terlibat dalam pertempuran yang gagal dalam usaha mengatasi ancaman dari laut maupun dari darat.
Masalahnya, Adipati Tuban memang bermaksud lain. Seperti disebutkan, Adipati Tuban memilih menyimpang di perjalanan kerja sama politik dengan Demak dalam menghadapi Portugis. Ia memang mengirimkan pasukannya membantu pasukan Demak ke Malaka, namun ia mengirimnya terlambat. Hingga, karena bantuan yang tidak ikhlas ini, Tuban ikut menentukan kekalahan serangan Pati Unus ke Malaka, yang membuat Pati Unus menjadi cacat, namun masih terus berusaha menyiapkan diri untuk sekali lagi menyerang Portugis di Malaka. Namun, begitu Pati Unus meninggal dunia dan Raden Trenggano menggantikannya sebagai penguasa Demak, kebijakan politik Demak berubah.
Perhatiannya tidak tertuju ke pembangunan armada angkatan laut, melainkan berusaha memperluas kekuasaannya atas tanah dengan angkatan daratnya memerangi raja-raja lainnya. Pembalikan orientasi demikian, kemudian membuat kekuatan laut Demak runtuh, berganti dengan ekspansinya ke lingkungan bangsa sendiri (melingkar ke dalam). Dengan kata lain, terjadi pula “arus balik‘ dalam kebijakan raja Demak yang pada gilirannya membuat kerajaan tak lagi berdaya menghadapi Portugis, dan sibuk berperang melawan kerajaan-kerajaan lain di daratan yang sama.
Begitulah, novel Arus Balik kaya dengan berbagai cerita individu maupun bersama, mampu menggambarkan peperangan secara detail dan perlengkapan perang secara memukau, mengalirkan perdebatan filosofis maupun liku-liku psikologis yang mengasyikkan, memaparkan tata cara pergaulan masyarakat Tuban dengan gamblang, tata cara hubungan antara raja dengan rakyatnya, kaya gambaran mengenai pakaian, adat istiadat, dan berbagai perilaku dalam pergaulan masyarakat Tuban pada waktu cerita digulirkan. Dan di antara rangkaian cerita yang memusat dan terkonsentrasi pada plot yang ketat itu, sering pula terungkap kata-kata bijak, bergerak dari kekayaan variasi permukaan keseharian, yang sesekali masuk ke dalam persoalan esensi kehidupan.
Pada penghujung cerita, dikisahkan bahwa Wiranggaleng memang sempat mengusir Peranggi, namun cerita sesungguhnya habis. “Arus balik‘ tidak dapat dicegah dan Wiranggaleng mengundurkan diri untuk kedua kalinya, menjadi petani kembali. Dalam visi peristiwa politik masa 1511-1530 itu, ditunjukkan ketidakmampuan pemimpin Jawa menanggulangi perubahan akibat zaman baru, karena mereka mendua hati, kurang visi, kurang tabah, terikat pada cita-cita dan norma-norma kolot, atau menjadi hamba keserakahan dan hawa nafsu. Itulah sosok Adipati Tuban, yang hadir kontradiktif dengan sosok Wiranggaleng sebagai wakil rakyat jelata Jawa. Polos, berpegang pada norma dan nilai esensial kemanusiaan, yang sejak dulu menentukan hidup masyarakat Jawa dan tetap dipermaklumkan oleh guru Rama Cluring di desa Awiskrambil.
Dengan Arus Balik ini, Pram menjadikan kekuatan fiksi sebagai “landasan" sebentuk sejarah. Fiksi dan fakta, khususnya yang mengangkat masa lalu, berdamai menawarkan renungan-renungan kemanusiaan. Untuk mencapai ini diperlukan kemauan sekaligus kecintaan studi sejarah yang serius. Sisi yang menonjol dalam kehidupan maupun karya-karya Pram.
Dan Arus Balik juga seperti menegaskan kembali, bahwa jiwa manusia bisa korup, tergerus kekuasaan, harta-benda, dan kesenangan duniawi. Sementara, orang kecil yang tak memiliki banyak hal kecuali kesetiaan dan pengabdian pada kemanusiaan, acap kali memancarkan aspek tak bercela dari moral kemanusiaan. Hal yang menjanjikan harapan, pada tujuh ratusan halaman Arus Balik. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 November 2013
‘Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia.‘ (Pramudya Ananta Toer, Tempo, 1999)
KETIKA Alice Munro, cerpenis Kanada yang piawai mengolah dan mengurai "jiwa perempuan" sampai ke sela-sela terdalamnya, dan menampilkannya ke permukaan dalam untaian cerita bergaya realis yang memukau menyabet Nobel Sastra 2013, seorang penulis di dunia maya menulis, "Saya suka, tapi saya tetap menjagokan Pramudya Ananta Toer." Suatu pernyataan yang bagi saya "membangunkan" pertanyaan dan mengingatkan saya pada sebuah tulisan tentang karya Pram, Arus Balik.
Kenapa Nobel Sastra hanya diberikan kepada para sastrawan yang masih hidup? Itulah pertanyaan sekaligus gugatan, karena hal tersebut mengakibatkan banyak sastrawan besar yang karya-karyanya gemilang kehilangan kesempatan mendapatkan penghargaan ‘layak‘ minimal dari komunitasnya. Karena mereka telah pergi lebih dulu, meninggalkan karya-karya besar besar yang masih saja dibaca hingga kini. Sebut saja Mishima dari Jepang, Borges dan Cortazar dari Argentina, dan...Pram dari Indonesia. Sedikit nama besar yang meninggalkan jejak sastra yang masih jadi sumber inspirasi bagi sastrawan kemudian dan pembaca sastra umumnya.
Banyak buku telah mengurai panjang lebar perihal sosok Pram dan perjalanan keseniannya, namun untuk tulisan ini saya mengutip biografi singkat Pram dari buletin sastra online Pawon.
Pram dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung. Ayahnya seorang guru dan ibunya pedagang nasi. Pram meneruskan sekolahnya pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, Pram mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Pram menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia jadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Masa itu, Pram mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.
Pram banyak melakukan kritik terhadap pemerintahan Jawa-sentris, dan pernah mengusulkan agar ibukota Indonesia dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an Pram ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang beredar, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pram merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Pram dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pram dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu Pram menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Pram telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa.
Banyak dari tulisan Pram menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambarkan pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya Pram aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pram menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku karya-karya Pram. Pameran itu sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pram. Pameran bertajuk "Pram, Buku dan Angkatan Muda" menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 bukunya yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Pram meninggal dunia pada 30 April 2006 (usia 81 tahun).
Kepada seorang kawan sesama blogger, beberapa waktu berselang saya mengakui, bahwa novel Indonesia yang masih membuat saya terkenang-kenang sampai saat ini adalah Arus Balik-nya Pram. Saya memang mengakrabi karya-karya besar Pram lainnya, khususnya tetralogi Bumi Manusia. Tapi saya semakin menyadari, keraksasaan Pram sebagai pengarang paling menonjol adalah di Arus Balik. Untuk mengenangnya, saya pun mencoba menunjukkan penghargaan melalui uraian ini.
Arus Balik secara gemilang memperlihatkan situasi dan proses kehidupan yang kompleks sekitar abad XVI di Nusantara, terutama di sekitar Tuban, Jepara, Demak, sebagai pusat-pusat kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, dalam persinggungannya dengan ekspansionisme Portugis dan Spanyol ke berbagai pelosok dunia yang ternyata sampai juga ke wilayah Nusantara.
Arus Balik sebagai judul sekaligus tema menggambarkan secara ilustratif, bahwa pada zaman Majapahit, arus ekonomi, politik, dan budaya "bergerak" dari selatan ke utara. Pada zaman Gajah Mada ini (bagian kedua abad ke-14), keagungan dan kekuasaan Majapahit membesar di kawasan yang makin meluas, bahkan sampai melampaui batas negara Indonesia sekarang. Namun, selama abad ke-15, kejayaan itu makin mundur, dan pada awal abad ke-16, ketika cerita Arus Balik dimulai, gerak "arus balik", yaitu arus kekuasaan, ekonomi, dan budaya termasuk agama, dari utara makin deras.
Pertama, arus agama Islam menggelombang dari 'atas angin', menyebar di Nusantara, berangsur-angsur menyingkirkan agama Hindu-Buddha yang selama 1000 tahun berkibar di daerah Jawa-Bali. Kedua, munculnya kekuasaan Eropa yang dilambangkan oleh jatuhnya Kesultanan Malaka dan datangnya Portugis ke Nusantara. Dengan begitu, disimpulkan bahwa keruntuhan keagungan Jawa bukanlah sebuah perkembangan sejarah yang tak terhindari atau nasib yang tak terelakkan. Melainkan, karena Jawa sendiri "memungkinkan" orang utara mengambil alih kepemimpinan di daerah Nusantara. Pemimpin Jawa, tidak lagi punya visi dan wibawa seperti pendahulunya, terutama negarawan unggul semacam Patih Majapahit, Gajah Mada.
Arus Balik melibatkan banyak tokoh cerita dengan jalinan kausalitas kehidupan yang erat, mulai dari Galeng (yang kemudian menjadi Wiranggaleng), Idayu, Pada (yang kemudian menjadi Mohammad Firman), Rama Cluring, Sayid Habibullah Almasawa (syahbandar baru), Ki Aji Benggala (syahbandar lama yang kemudian bergelar Sunan Rajeg), Adipati Unus, Adipati Tuban, Gelar, Jafar, dan banyak lagi, yang merentang plot dan karakter dari lapisan jelata sampai ningrat, dari wilayah "garong" sampai "agamawan", penduduk desa dan kota, dari suku bangsa Jawa, Sunda, Banten, Melayu, dan bangsa Arab, Cina, Portugis, Spanyol. Berada dalam kerangka waktu penceritaan yang sama, dengan persoalan kehidupan yang berbeda-beda, dan respon yang saling berbeda-beda pula dalam menanggapi situasi yang sama maupun berlainan.
Pada bagian pembukaan Arus Balik menyajikan beberapa peristiwa yang selanjutnya menjadi ciri khas pada setiap halamannya: kesertamertaan (simultan dan paralel). Langit cerah, cahaya bulan menyinari hutan, laut, hewan, manusia; bumi gelisah dan resah; laut Jawa gelisah; kapal peronda pantai meluncur cepat dengan tiga orang penumpang yang gelisah (juru tinjau, nakhoda, dan Patragading, putra keduaratus empat puluh satu raja atau Adipati Tuban); anjing hutan merenungi langit, membaung menyeru rembulan; seorang tua memberi wejangan pada masyarakat Awiskrambil, wilayah perbatasan Tuban, dan di antara masyarakat itu terdapat dua tokoh utama cerita: Galeng dan Idayu.
Arus Balik bercerita tentang masa-masa akhir kerajaan Tuban akibat ancaman Portugis dari laut, ancaman Demak yang sudah menguasai Jepara, wilayah Tuban. Kerajaan Demak, melalui Pati Unus, berusaha menyerang Portugis di Malaka, Adipati Tuban tak mau ikut serta dan membantu dengan ikhlas, bahkan berusaha merangkul Portugis. Untuk tujuan tersebut, Tuban menggantikan syahbandarnya yang lama dengan syahbandar baru pelarian dari Malaka yang dianggap dapat berkomunikasi dengan Portugis atau Spanyol.
Adipati Tuban adalah orang yang berikhtiar memegang status-quo tanpa menyadari bahwa masa lalu sudah lewat untuk selamanya. Adipati Tuban menjadi lambang sikap pemimpin Jawa masa itu: hidup dalam keratonnya, ingin tahu berita-berita baru tentang apa yang terjadi di dunia luar, senang berfilsafat tentang peredaran zaman, tapi tidak berani atau tidak sanggup menarik kesimpulan dari berita yang ia terima atau mengambil tindakan tegas untuk mencegah “arus balik" yang langsung mengancam status-quonya.
Sementara itu, Tuban sedang menyambut kedatangan Idayu, penari kesayangan raja yang berasal dari Awiskrambil dan juga pegulat perkasa yang bernama Galeng yang sekaligus kekasih Idayu.
Pada awalnya, Galeng buta politik; satu-satunya pegangannya ialah wejangan dan ajaran Rama Cluring tentang panggilan yang harus diemban angkatan muda Tuban. Ketika Adipati Tuban memaksanya menetap di kota Tuban, ia merasa sangat berbahagia, apa lagi ia selalu dicemoohkan dan dihinakan para pembesar Tuban, sebagai anak dusun yang bodoh dan picik, hanya mempunyai kekuatan fisik sebagai pegulat. Tapi berangsur-angsur Galeng belajar banyak tentang hubungan politik dan tentang sikap pemimpin Tuban dan lain-lain. Adipati sebenarnya sangat cemburu dan tersinggung sebab tak berhasil mengambil Idayu sebagai selirnya. Si penari yang memukau beragam laki-laki itu tetap setia kepada Galeng. Dan Adipati Tuban juga terpaksa mengakui keberanian dan kepandaian Galeng menghadapi serangan Sunan Rajeg dan mengangkatnya sebagai panglima.
Namun, Wiranggaleng sendiri bukanlah pahlawan ideal yang berhasil mengalahkan semua lawan, mampu mewujudkan angan-angannya, sekalipun memahami prioritas seorang raja Jawa: berani memperjuangkan cita-cita keagungan dan kejayaan Jawa, khususnya Tuban, untuk mana, ia siap mengorbankan segalanya. Wiranggaleng juga harus mengalami penderitaan terpisah dari istri dan anak-anaknya, untuk suatu "perang politik" Adipati Tuban yang menilai orang lain tidak sejajar dengan dirinya. Dan lebih jauh, Galeng nyaris menjadi prototipe protagonis kesayangan Pram: telah melawan, meskipun sia-sia, sebagaimana Minke, Ontosoroh, dan tokoh-tokoh penting lainnya dalam novel-novel maupun cerpen-cerpen Pram.
Dan Wiranggaleng memang telah mengorbankan banyak, termasuk "pasrah" menerima Idayu yang "diperkosa" oleh Sayid Habibullah Musawa menggunakan obat bius, ketika Galeng di medan perang. (Si syahbandar yang pandai berkata-kata dan licik ini, menurut Arus Balik, adalah tokoh pembawa "jagung" pertama ke Pulau Jawa dan Nusantara. Wiranggaleng mengangkat dirinya sendiri sebagai senapati, karena senapati lama ragu menyerang bekas Syahbandar Tuban yang kemudian menghimpun kekuatan di pedalaman. Tuban berhasil menaklukkan pemberontak itu. Seterusnya, kota Tuban menjadi semakin sepi dan Galeng serta Idayu kembali ke desa, memutuskan menjadi rakyat biasa, setelah lelaki itu terlibat dalam pertempuran yang gagal dalam usaha mengatasi ancaman dari laut maupun dari darat.
Masalahnya, Adipati Tuban memang bermaksud lain. Seperti disebutkan, Adipati Tuban memilih menyimpang di perjalanan kerja sama politik dengan Demak dalam menghadapi Portugis. Ia memang mengirimkan pasukannya membantu pasukan Demak ke Malaka, namun ia mengirimnya terlambat. Hingga, karena bantuan yang tidak ikhlas ini, Tuban ikut menentukan kekalahan serangan Pati Unus ke Malaka, yang membuat Pati Unus menjadi cacat, namun masih terus berusaha menyiapkan diri untuk sekali lagi menyerang Portugis di Malaka. Namun, begitu Pati Unus meninggal dunia dan Raden Trenggano menggantikannya sebagai penguasa Demak, kebijakan politik Demak berubah.
Perhatiannya tidak tertuju ke pembangunan armada angkatan laut, melainkan berusaha memperluas kekuasaannya atas tanah dengan angkatan daratnya memerangi raja-raja lainnya. Pembalikan orientasi demikian, kemudian membuat kekuatan laut Demak runtuh, berganti dengan ekspansinya ke lingkungan bangsa sendiri (melingkar ke dalam). Dengan kata lain, terjadi pula “arus balik‘ dalam kebijakan raja Demak yang pada gilirannya membuat kerajaan tak lagi berdaya menghadapi Portugis, dan sibuk berperang melawan kerajaan-kerajaan lain di daratan yang sama.
Begitulah, novel Arus Balik kaya dengan berbagai cerita individu maupun bersama, mampu menggambarkan peperangan secara detail dan perlengkapan perang secara memukau, mengalirkan perdebatan filosofis maupun liku-liku psikologis yang mengasyikkan, memaparkan tata cara pergaulan masyarakat Tuban dengan gamblang, tata cara hubungan antara raja dengan rakyatnya, kaya gambaran mengenai pakaian, adat istiadat, dan berbagai perilaku dalam pergaulan masyarakat Tuban pada waktu cerita digulirkan. Dan di antara rangkaian cerita yang memusat dan terkonsentrasi pada plot yang ketat itu, sering pula terungkap kata-kata bijak, bergerak dari kekayaan variasi permukaan keseharian, yang sesekali masuk ke dalam persoalan esensi kehidupan.
Pada penghujung cerita, dikisahkan bahwa Wiranggaleng memang sempat mengusir Peranggi, namun cerita sesungguhnya habis. “Arus balik‘ tidak dapat dicegah dan Wiranggaleng mengundurkan diri untuk kedua kalinya, menjadi petani kembali. Dalam visi peristiwa politik masa 1511-1530 itu, ditunjukkan ketidakmampuan pemimpin Jawa menanggulangi perubahan akibat zaman baru, karena mereka mendua hati, kurang visi, kurang tabah, terikat pada cita-cita dan norma-norma kolot, atau menjadi hamba keserakahan dan hawa nafsu. Itulah sosok Adipati Tuban, yang hadir kontradiktif dengan sosok Wiranggaleng sebagai wakil rakyat jelata Jawa. Polos, berpegang pada norma dan nilai esensial kemanusiaan, yang sejak dulu menentukan hidup masyarakat Jawa dan tetap dipermaklumkan oleh guru Rama Cluring di desa Awiskrambil.
Dengan Arus Balik ini, Pram menjadikan kekuatan fiksi sebagai “landasan" sebentuk sejarah. Fiksi dan fakta, khususnya yang mengangkat masa lalu, berdamai menawarkan renungan-renungan kemanusiaan. Untuk mencapai ini diperlukan kemauan sekaligus kecintaan studi sejarah yang serius. Sisi yang menonjol dalam kehidupan maupun karya-karya Pram.
Dan Arus Balik juga seperti menegaskan kembali, bahwa jiwa manusia bisa korup, tergerus kekuasaan, harta-benda, dan kesenangan duniawi. Sementara, orang kecil yang tak memiliki banyak hal kecuali kesetiaan dan pengabdian pada kemanusiaan, acap kali memancarkan aspek tak bercela dari moral kemanusiaan. Hal yang menjanjikan harapan, pada tujuh ratusan halaman Arus Balik. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 November 2013
No comments:
Post a Comment