-- Nofanolo Zagoto
Melihat posisi dan praktik artistik warga dalam menyiasati segala keterbatasan.
RUANG parkir bawah tanah Teater Taman Ismail Marzuki, disulap jadi ruang pamer. Untuk sementara ruang ini tak berisikan mobil, tapi karya instalasi.
Mata pengunjung akan melihat gerobak, bemo, perahu, motor, dan televisi yang diletakkan di lantai. Ada pula sisi ruang pamer yang dipenuhi dengan peralatan yang biasa ditemui di dapur. Semua itu adalah karya dari puluhan seniman dan komunitas seni yang terlibat dalam Jakarta Biennale 2013.
Simaklah karya ditampilkan Melati Suryodarmo. Ia mempertontonkan instalasi berwujud 15 ember berisi air berwarna yang merupakan bagian dokumentasi pertunjukannya.
Puluhan ember itu diletakkan di dasar lantai dengan jarak yang nyaris sama satu dengan yang lainnya. Ada pula video yang memutar gambar puluhan penari berpakaian serba putih. Mereka menutupi wajahnya dengan selendang dan tampak melakukan bermacam gerak di antara ember-ember itu.
Dari karya yang diberi judul Sweet Dreams Sweet itu, Melati menggambarkan kemajemukan yang dipaksa menjadi seragam. Untuk menggambarkan pemikirannya itu, dalam video ditampilkan para penari yang berjalan secara berpasangan. Mereka melakukan berbagai gerak tanpa melepaskan tautan tangan.
Ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta dijadikan ruang pameran terkait program Jakarta Biennale 2013 yang berlangsung 9-30 November 2013. Kali ini Jakarta Biennale 2013 memilih tema “Siasat” dengan maksud melihat posisi dan praktik artistik warga dalam menyiasati segala keterbatasan, ketidakstabilan, masalah, ancaman, potensi, dan kesempatan yang dihadapi kota ini.
Tema itu terkait juga siasat-siasat warga yang lahir secara organik, tumbuh secara mengejutkan, serta membentuk struktur dan pola tersendiri sehingga akhirnya berperan dalam kehidupan kota.
Hal yang dilakukan oleh Abdulrahman Saleh bersama pengumpul barang bekas yang menggunakan gerobak sebagai alat pengangkutnya setidaknya berusaha memperlihatkan tema itu. Ia mengajak para pengumpul barang bekas untuk mendandani gerobaknya dengan gambar dan tulisan “curhatan” mereka.
Alhasil, dalam pameran mata pengunjung diperlihatkan tiga gerobak hasil karya mereka. Banyak tulisan yang menuangkan harapan, kebanggaan profesi, sampai kritik sosial. Contohnya di salah satu sisi gerobak, ada gambar seorang bapak yang merangkul anaknya dan dalam balon kata ia menyebutkan gerobak ini bukan hasil korupsi.
Lain lagi yang diperlihatkan Khaled Jarrar, seniman dan warga Palestina itu menampilkan dokumentasi penampilannya yang berjudul "The Soldier" dalam sebuah video. Dalam waktu 60 menit, Jarrar hanya berdiri diam sambil memakai kostum tentara.
Ia menjelma tentara yang bergeming mewakili militer yang sudah dicuci otaknya sedemikian rupa oleh negara sehingga selalu patuh terhadap tindak-tanduk penguasa. Tampilan kostum tentara itu sengaja dibuatnya polos untuk menandai kalau operasi militer itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Francoise Huguier, fotografer asal Prancis, memilih berkolaborasi dengan delapan fotografer muda Indonesia dengan tema “Ciri Khas Jakarta”. Dari hasil kolaborasi itu dihasilkan foto yang menyoroti polusi hingga fenomena sosial, dari masalah perumahan hingga kosumsi barang bajakan.
Ada pula Babi Badalov dari Azerbaijan yang merespons apa pun yang dilihat dan ditemukan selama seminggu di Jakarta dalam bentuk lukisan dan mural. Karyanya masih berkutat pada kemacetan. Jika menengok pameran serupa di Museum Seni Rupa dan Keramik, akan didapati karya Sebastian Diaz Morales, seniman Argentina, yang juga merespons persoalan klasik Jakarta itu lewat sebuah eksperimentasi visual.
Dalam karyanya yang berjudul “Jam”, ia merekam seorang kawannya yang melintasi berbagai jalanan ramai di Jakarta menjadi sebuah cerita. Morales mengubah Jakarta menjadi kota yang sudah “diambil alih” oleh kendaraan bermotor. Sepanjang video, satu-satunya orang yang terlihat berjalan kaki hanyalah kawannya.
Ruang Kota
Jakarta Biennale 2013 melibatkan 52 seniman, baik individu maupun kelompok dari 18 negara ini juga menampilkan program yang langsung bersentuhan dengan ruang publik di , seperti mural di beberapa jalan Jakarta karya Danuri alias Pak Nur (Jakarta) , Eko Nugroho (Yogyakarta), Fintan Magee (Australia), Guntur Wibowo (Jakarta), Riyan Riyadi alias The Popo (Jakarta), Rizky Aditya Nugroho alias Bujangan Urban (Jakarta) dan Ruli Bandhriyo alias LoveHateLove (Yogyakarta).
Ada pula Etienne Turpin yang melakukan performa di ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta dan Pasar Burung Pramuka pada 17 November 2013 nanti.
Nantinya, ia akan berupaya menciptakan serangkaian instalasi dan pertunjukan yang diolah berdasarkan riset. Dalam penampilannya, Turpin berupaya menghubungkan pasar kontemporer dan peninggalan kolonialisme.
Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 13 November 2013
Melihat posisi dan praktik artistik warga dalam menyiasati segala keterbatasan.
Pengunjung menikmati karya seni instalasi dari Enrico Halim “Berteduh di Bawah Siasat “ dalam pameran Jakarta Biennale 2013 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Selasa (12/11). (SH/Muniroh) |
Mata pengunjung akan melihat gerobak, bemo, perahu, motor, dan televisi yang diletakkan di lantai. Ada pula sisi ruang pamer yang dipenuhi dengan peralatan yang biasa ditemui di dapur. Semua itu adalah karya dari puluhan seniman dan komunitas seni yang terlibat dalam Jakarta Biennale 2013.
Simaklah karya ditampilkan Melati Suryodarmo. Ia mempertontonkan instalasi berwujud 15 ember berisi air berwarna yang merupakan bagian dokumentasi pertunjukannya.
Puluhan ember itu diletakkan di dasar lantai dengan jarak yang nyaris sama satu dengan yang lainnya. Ada pula video yang memutar gambar puluhan penari berpakaian serba putih. Mereka menutupi wajahnya dengan selendang dan tampak melakukan bermacam gerak di antara ember-ember itu.
Dari karya yang diberi judul Sweet Dreams Sweet itu, Melati menggambarkan kemajemukan yang dipaksa menjadi seragam. Untuk menggambarkan pemikirannya itu, dalam video ditampilkan para penari yang berjalan secara berpasangan. Mereka melakukan berbagai gerak tanpa melepaskan tautan tangan.
Ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta dijadikan ruang pameran terkait program Jakarta Biennale 2013 yang berlangsung 9-30 November 2013. Kali ini Jakarta Biennale 2013 memilih tema “Siasat” dengan maksud melihat posisi dan praktik artistik warga dalam menyiasati segala keterbatasan, ketidakstabilan, masalah, ancaman, potensi, dan kesempatan yang dihadapi kota ini.
Tema itu terkait juga siasat-siasat warga yang lahir secara organik, tumbuh secara mengejutkan, serta membentuk struktur dan pola tersendiri sehingga akhirnya berperan dalam kehidupan kota.
Hal yang dilakukan oleh Abdulrahman Saleh bersama pengumpul barang bekas yang menggunakan gerobak sebagai alat pengangkutnya setidaknya berusaha memperlihatkan tema itu. Ia mengajak para pengumpul barang bekas untuk mendandani gerobaknya dengan gambar dan tulisan “curhatan” mereka.
Alhasil, dalam pameran mata pengunjung diperlihatkan tiga gerobak hasil karya mereka. Banyak tulisan yang menuangkan harapan, kebanggaan profesi, sampai kritik sosial. Contohnya di salah satu sisi gerobak, ada gambar seorang bapak yang merangkul anaknya dan dalam balon kata ia menyebutkan gerobak ini bukan hasil korupsi.
Lain lagi yang diperlihatkan Khaled Jarrar, seniman dan warga Palestina itu menampilkan dokumentasi penampilannya yang berjudul "The Soldier" dalam sebuah video. Dalam waktu 60 menit, Jarrar hanya berdiri diam sambil memakai kostum tentara.
Ia menjelma tentara yang bergeming mewakili militer yang sudah dicuci otaknya sedemikian rupa oleh negara sehingga selalu patuh terhadap tindak-tanduk penguasa. Tampilan kostum tentara itu sengaja dibuatnya polos untuk menandai kalau operasi militer itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Francoise Huguier, fotografer asal Prancis, memilih berkolaborasi dengan delapan fotografer muda Indonesia dengan tema “Ciri Khas Jakarta”. Dari hasil kolaborasi itu dihasilkan foto yang menyoroti polusi hingga fenomena sosial, dari masalah perumahan hingga kosumsi barang bajakan.
Ada pula Babi Badalov dari Azerbaijan yang merespons apa pun yang dilihat dan ditemukan selama seminggu di Jakarta dalam bentuk lukisan dan mural. Karyanya masih berkutat pada kemacetan. Jika menengok pameran serupa di Museum Seni Rupa dan Keramik, akan didapati karya Sebastian Diaz Morales, seniman Argentina, yang juga merespons persoalan klasik Jakarta itu lewat sebuah eksperimentasi visual.
Dalam karyanya yang berjudul “Jam”, ia merekam seorang kawannya yang melintasi berbagai jalanan ramai di Jakarta menjadi sebuah cerita. Morales mengubah Jakarta menjadi kota yang sudah “diambil alih” oleh kendaraan bermotor. Sepanjang video, satu-satunya orang yang terlihat berjalan kaki hanyalah kawannya.
Ruang Kota
Jakarta Biennale 2013 melibatkan 52 seniman, baik individu maupun kelompok dari 18 negara ini juga menampilkan program yang langsung bersentuhan dengan ruang publik di , seperti mural di beberapa jalan Jakarta karya Danuri alias Pak Nur (Jakarta) , Eko Nugroho (Yogyakarta), Fintan Magee (Australia), Guntur Wibowo (Jakarta), Riyan Riyadi alias The Popo (Jakarta), Rizky Aditya Nugroho alias Bujangan Urban (Jakarta) dan Ruli Bandhriyo alias LoveHateLove (Yogyakarta).
Ada pula Etienne Turpin yang melakukan performa di ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta dan Pasar Burung Pramuka pada 17 November 2013 nanti.
Nantinya, ia akan berupaya menciptakan serangkaian instalasi dan pertunjukan yang diolah berdasarkan riset. Dalam penampilannya, Turpin berupaya menghubungkan pasar kontemporer dan peninggalan kolonialisme.
Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 13 November 2013
No comments:
Post a Comment