-- Vien Dimyati
INDONESIA memiliki ribuan warisan budaya tak benda, tetapi baru 3 ribu yang tercatat. Pada 2013 ini, Indonesia mengajukan tenun Sumba sebagai WBTB kepada UNESCO.
Pekan lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar lokakarya tingkat sub-regional bertajuk "Implementasi Konvensi UNESCO 2003 untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). UNESCO adalah salah satu organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menangani pendidikan dan kebudayaan.
Lokakarya yang diikuti oleh 50 peserta dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Timor Leste ini ramai-ramai memberikan pandangannya mengenai perlindungan terhadap WBTB untuk keberlangsungan sejarah. Bahkan dalam lokakarya tersebut hadir para ahli, tenaga ahli international dalam bidang Warisan Budaya Tak Benda.
Seperti diketahui, Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage terdiri atas tradisi dan ekspresi lisan (termasuk bahasa), seni pertunjukan, adat istiadat, ritus, pengetahuan dan kebiasaan perilaku berkaitan dengan alam semesta, dan kemahiran kerajinan tradisional.
Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Diah Harianti mengatakan, lokakarya ini sangat penting untuk membangun pemahaman tentang pentingnya meningkatkan kesadaran untuk menjamin pengakuan, penghormatan, dan peningkatan praktek dan transmisi Warisan Budaya Tak Benda melalui pendidikan formal dan non-formal.
"Masyarakat harus secara lebih luas lagi untuk memelihara warisan budaya tak benda yang ada di Indonesia. Sebab, kalau bukan kita yang memberikan perlindungan, anak cucu kita tidak akan tahu sejarah," kata Diah Harianti, saat membuka Lokakarya mengenai implementasi Konvensi UNESCO 2003 untuk perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, belum lama ini di Jakarta.
Menurut Diah, lokakarya ini diselenggarakan untuk memperkuat kapasitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk melindungi WBTB-nya mengingat semakin berkembangnya globalisasi dan trasformasi sosial. Lokakarya ini diadakan antara lain dalam rangka untuk memberikan gambaran umum tentang konvensi yang meliputi latar belakang, dasar pemikiran, semangat dan cara implementasi. “Agar masyarakat, komunitas, dan pemerintah setempat baik itu Walikota, Bupati atau Gubernur segera mencatat dan melaporkan WBTB yang dimilikinya ke pemerintah pusat untuk kemudian diproses untuk ditetapkan menjadi WBTB Nasional," katanya.
Ia menambahkan, WBTB yang ada di Indonesia mencapai puluhan ribu. Namun yang tercatat sampai 2013 ini baru mencapai 3.000 lebih yang kemudian diproses untuk ditetapkan menjadi WBTB Nasional. “Tahun 2013 ada 60 lebih WBTB Nasional yang ditetapkan. Dari WBTB Nasional itulah kemudian diajukan menjadi WBTB dunia," katanya.
Menurut Diah, dengan lokakarya ini diharapkan dapat memberi pemahaman lebih kepada peserta bagaimana mengajukan WBTB-nya ke pemerintah pusat dan UNESCO. “Dengan begitu kemungkinan WBTB Nasional yang akan diajukan ke UNESCO, tidak ditolak lantaran kekurangan persyaratan seperti misalnya kajiannya yang kurang lengkap, partisipasi masyarakatnya yang belum ada, dan lainnya," katanya.
Sementara itu, Deputi Direktur Kantor UNESCO Jakarta, Shahbaz Khan menjelaskan perlindungan warisan budaya tak benda yang tak lain merupakan praktek-praktek budaya nenek moyang, semakin lama semakin berhadapan dengan banyak tantangan.
"Lewat lokakarya ini diharapkan dapat mendorong dialog dan kohesi perlindungan WBTB agar pelaksanaan konvensi ini berjalan efektif di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara," kata Shahbaz.
Disamping berdialog, peserta lokakarya juga diajak berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur, mengingat tahun 2014, Pemerintah Indonesia mengajukan TMII ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai WBTB dunia.
Ia menjelaskan, WBTB Nasional yang sudah ditetapkan menjadi WBTB dunia adalah noken, tari saman, angklung, dan batik. “Setiap tahun tiap negara hanya dibolehkan mengajukan satu WBTB. Tahun 2013 Indonesia mengajukan Tenun Sumba yang akan diumumkan UNESCO apakah ditetapkan sebagai WBTB dunia atau tidak pada Desember 2013," kata Diah.
Adapun pemilihan Tenun Sumba yang diajukan untuk dijadikan WBTB karena bagi sebagian masyarakat di Nusa Tenggara, tenun melambangkan kebudayaan yang sangat tinggi. Tenun ini salah satu warisan budaya nenek moyang yang memang tidak boleh dilupakan. Tiap corak yang tergambar dalam tenun juga memiliki "cerita" di baliknya. Misalnya, seperti gambar ayam. Ayam itu sebagai lambang pengingat waktu. Ada pula kuda, yang melambangkan alat angkut transportasi. Corak tombak, yakni melambangkan senjata. Pada masa lampau tombak dan bambu runcing digunakan untuk mengusir penjajah. Ada juga motif sayuran yaitu pare, yang merupakan makanan saat zaman penjajahan.
Selain corak, warna tenun pun berbeda untuk setiap upacara adat. Untuk pesta pernikahan lebih cenderung menggunakan warna terang atau merah, sedangkan kematian cenderung memakai hitam atau biru. Sementara untuk upacara adat biasa, bisa memakai warna tenun apa saja.
Tenunan Sumba dapat disebut sebagai karya seni karena sarat keindahan desain dan keterampilan teknis dalam pembuatannya. Kain tenun dari Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dianggap sebagai warisan dunia, dilihat dari keunikannya di antara berbagai tradisi wastra yang masih lestari hingga saat ini, di mana perannya penting dalam upacara adat masyarakatnya.
Wastra, pada dasarnya adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang berarti sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional. Salah satu jenis Wastra adalah kain tenun.
Desain yang tegas dan kekayaan warna dan ragam hias yang mudah dikenali seperti kuda cendana kecil yang indah memiliki peran penting dalam budaya Sumba. Motifnya yang bernuansa fauna seperti burung, rusa bertanduk, ular merayap, kura-kura, dan buaya merupakan simbol yang dimaknai sebagai raja dan penguasa.
Kain tenun Sumba tak lepas dari nilai-nilai religius. Hal ini tergambar dari salah satu jenis kain tenun yang bernama Hinggi Pasola. Pasola sendiri merupakan ritual tahunan paling penting di Sumba yang dilaksanakan sebelum mulai menanam padi yang melibatkan pertempuran pura-pura namun sengit, antara laki-laki di atas kuda yang dipacu sambil saling melempar lembing. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013
INDONESIA memiliki ribuan warisan budaya tak benda, tetapi baru 3 ribu yang tercatat. Pada 2013 ini, Indonesia mengajukan tenun Sumba sebagai WBTB kepada UNESCO.
Pekan lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar lokakarya tingkat sub-regional bertajuk "Implementasi Konvensi UNESCO 2003 untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). UNESCO adalah salah satu organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menangani pendidikan dan kebudayaan.
Lokakarya yang diikuti oleh 50 peserta dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Timor Leste ini ramai-ramai memberikan pandangannya mengenai perlindungan terhadap WBTB untuk keberlangsungan sejarah. Bahkan dalam lokakarya tersebut hadir para ahli, tenaga ahli international dalam bidang Warisan Budaya Tak Benda.
Seperti diketahui, Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage terdiri atas tradisi dan ekspresi lisan (termasuk bahasa), seni pertunjukan, adat istiadat, ritus, pengetahuan dan kebiasaan perilaku berkaitan dengan alam semesta, dan kemahiran kerajinan tradisional.
Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Diah Harianti mengatakan, lokakarya ini sangat penting untuk membangun pemahaman tentang pentingnya meningkatkan kesadaran untuk menjamin pengakuan, penghormatan, dan peningkatan praktek dan transmisi Warisan Budaya Tak Benda melalui pendidikan formal dan non-formal.
"Masyarakat harus secara lebih luas lagi untuk memelihara warisan budaya tak benda yang ada di Indonesia. Sebab, kalau bukan kita yang memberikan perlindungan, anak cucu kita tidak akan tahu sejarah," kata Diah Harianti, saat membuka Lokakarya mengenai implementasi Konvensi UNESCO 2003 untuk perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, belum lama ini di Jakarta.
Menurut Diah, lokakarya ini diselenggarakan untuk memperkuat kapasitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk melindungi WBTB-nya mengingat semakin berkembangnya globalisasi dan trasformasi sosial. Lokakarya ini diadakan antara lain dalam rangka untuk memberikan gambaran umum tentang konvensi yang meliputi latar belakang, dasar pemikiran, semangat dan cara implementasi. “Agar masyarakat, komunitas, dan pemerintah setempat baik itu Walikota, Bupati atau Gubernur segera mencatat dan melaporkan WBTB yang dimilikinya ke pemerintah pusat untuk kemudian diproses untuk ditetapkan menjadi WBTB Nasional," katanya.
Ia menambahkan, WBTB yang ada di Indonesia mencapai puluhan ribu. Namun yang tercatat sampai 2013 ini baru mencapai 3.000 lebih yang kemudian diproses untuk ditetapkan menjadi WBTB Nasional. “Tahun 2013 ada 60 lebih WBTB Nasional yang ditetapkan. Dari WBTB Nasional itulah kemudian diajukan menjadi WBTB dunia," katanya.
Menurut Diah, dengan lokakarya ini diharapkan dapat memberi pemahaman lebih kepada peserta bagaimana mengajukan WBTB-nya ke pemerintah pusat dan UNESCO. “Dengan begitu kemungkinan WBTB Nasional yang akan diajukan ke UNESCO, tidak ditolak lantaran kekurangan persyaratan seperti misalnya kajiannya yang kurang lengkap, partisipasi masyarakatnya yang belum ada, dan lainnya," katanya.
Sementara itu, Deputi Direktur Kantor UNESCO Jakarta, Shahbaz Khan menjelaskan perlindungan warisan budaya tak benda yang tak lain merupakan praktek-praktek budaya nenek moyang, semakin lama semakin berhadapan dengan banyak tantangan.
"Lewat lokakarya ini diharapkan dapat mendorong dialog dan kohesi perlindungan WBTB agar pelaksanaan konvensi ini berjalan efektif di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara," kata Shahbaz.
Disamping berdialog, peserta lokakarya juga diajak berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur, mengingat tahun 2014, Pemerintah Indonesia mengajukan TMII ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai WBTB dunia.
Ia menjelaskan, WBTB Nasional yang sudah ditetapkan menjadi WBTB dunia adalah noken, tari saman, angklung, dan batik. “Setiap tahun tiap negara hanya dibolehkan mengajukan satu WBTB. Tahun 2013 Indonesia mengajukan Tenun Sumba yang akan diumumkan UNESCO apakah ditetapkan sebagai WBTB dunia atau tidak pada Desember 2013," kata Diah.
Adapun pemilihan Tenun Sumba yang diajukan untuk dijadikan WBTB karena bagi sebagian masyarakat di Nusa Tenggara, tenun melambangkan kebudayaan yang sangat tinggi. Tenun ini salah satu warisan budaya nenek moyang yang memang tidak boleh dilupakan. Tiap corak yang tergambar dalam tenun juga memiliki "cerita" di baliknya. Misalnya, seperti gambar ayam. Ayam itu sebagai lambang pengingat waktu. Ada pula kuda, yang melambangkan alat angkut transportasi. Corak tombak, yakni melambangkan senjata. Pada masa lampau tombak dan bambu runcing digunakan untuk mengusir penjajah. Ada juga motif sayuran yaitu pare, yang merupakan makanan saat zaman penjajahan.
Selain corak, warna tenun pun berbeda untuk setiap upacara adat. Untuk pesta pernikahan lebih cenderung menggunakan warna terang atau merah, sedangkan kematian cenderung memakai hitam atau biru. Sementara untuk upacara adat biasa, bisa memakai warna tenun apa saja.
Tenunan Sumba dapat disebut sebagai karya seni karena sarat keindahan desain dan keterampilan teknis dalam pembuatannya. Kain tenun dari Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dianggap sebagai warisan dunia, dilihat dari keunikannya di antara berbagai tradisi wastra yang masih lestari hingga saat ini, di mana perannya penting dalam upacara adat masyarakatnya.
Wastra, pada dasarnya adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang berarti sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional. Salah satu jenis Wastra adalah kain tenun.
Desain yang tegas dan kekayaan warna dan ragam hias yang mudah dikenali seperti kuda cendana kecil yang indah memiliki peran penting dalam budaya Sumba. Motifnya yang bernuansa fauna seperti burung, rusa bertanduk, ular merayap, kura-kura, dan buaya merupakan simbol yang dimaknai sebagai raja dan penguasa.
Kain tenun Sumba tak lepas dari nilai-nilai religius. Hal ini tergambar dari salah satu jenis kain tenun yang bernama Hinggi Pasola. Pasola sendiri merupakan ritual tahunan paling penting di Sumba yang dilaksanakan sebelum mulai menanam padi yang melibatkan pertempuran pura-pura namun sengit, antara laki-laki di atas kuda yang dipacu sambil saling melempar lembing. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment