Tuesday, November 26, 2013

Menelusuri Butir-butir Pemikiran Kawindra

-- Nofanolo Zagoto

“Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.”


Dewan Kesenian Jakarta menggelar orasi sastra oleh Remy Sylado dan
pementasan naskah “Maria Zaitun” oleh Amien Kamil berkolaborasi dengan
pelukis Hanafi dalam rangka mengenang sastrawan Indonesia, “Napak Tilas
WS Rendra”, di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, Senin (25/11).
Rendra selalu menempatkan diri sebagai oposan terhadap pemerintah.
(SH/Muniroh)
SEKALI lagi, Ajeng Anjani yang memerankan tokoh Maria Zaitun mengucap sepotong puisi “Nyanyian Angsa” milik WS Rendra; sebab ada seorang berlumur cat putih dengan pedang di tangan dan mahkota di kepala kembali mendekatinya. Dalam adegan itu, tirai putih yang menghalangi di atas panggung terkoyak. Maria Zaitun pun berupaya menghindar, ketakutan.

Ini kisah bertema sosial yang mengungkit kehidupan pekerja seks komersial dengan menafsirkan isi puisi “Nyanyian Angsa”. Seperti juga nama tokoh utama yang dimunculkan Rendra pada puisinya, Maria Zaitun yang diceritakan mengidap penyakit, harus menjalani kehidupan “terbuang” dari kelompoknya, rumah sakit, bahkan dari tempat ibadah.

Pertunjukan teater berjudul “Maria Zaitun” produksi Republic of Performing Arts di bawah arahan sutradara Amien Kamil yang berkolaborasi dengan pelukis Hanafi ini jadi bagian dari program Napak Tilas Sastra yang kali ini mencoba menelusuri pemikiran Rendra, seorang penyair juga dramawan yang meninggal tahun 2009 lalu.

Pementasan ini disajikan bersama Orasi Sastra Remy Sylado dan diskusi mengenang Rendra yang menghadirkan Seno Gumira Ajidarma dan Max Lane, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Senin (25/11).

Amien, yang bergabung bersama Bengkel Teater Rendra dari 1986-1996, menuturkan ia memilih memainkan pementasan berdasar puisi “Nyanyian Angsa” lantaran teks yang dibuat penyair yang kerap dijuluki si “Burung Merak” sesungguhnya masih terjadi sampai sekarang. “Yang menarik dari dulu, mungkin tahun 1970-an, Rendra sudah membicarakannya lewat karya,” tuturnya.

Dengan persiapan yang diaku Amien singkat, hanya tiga minggu, visualisasi puisi dalam bentuk pementasan teater diawali lewat sebuah adegan dua pemain yang berteatrikal sedemikian rupa dengan berpijak pada bagian puncak salah satu karya Hanafi yang tingginya paling tidak mencapai 4-5 meter. Satu pemain adalah si “malaikat” berbadan serbaputih, sedang yang lain tampil dengan badan yang nyaris seluruhnya merah dan dipasangi tanduk di kepalanya.

Suara musik kemudian menguasai ruang. Suasana tempat pelacuran coba dimunculkan. Beberapa muncul berpasangan, beberapa yang lain digambarkan larut dalam alunan musik. Hanya Maria Zaitun yang terbaring dengan tubuh yang tertutup selimut. Penyakit raja singa telah menggerogoti kondisi tubuhnya. Maria Zaitun lalu diceritakan diusir mucikari.

Bagian-bagian puisi Rendra yang menggambarkan penolakan yang harus diterima Maria Zaitun diupayakan Amien secara visual. Semisal ketika Maria Zaitun dijauhi pasien lain karena bau tubuhnya dan diperdaya dokter saat berobat, atau sewaktu dia malah disuruh pergi dan disangka gila oleh pastor saat ingin mengaku dosa.

Hanya saja, entah disengaja atau tidak, pada prosesnya tampak kesan pergantian set panggung sedikit sembrono. Kemunculan pemain yang berdiri diam membelakangi penonton dan memakai jubah putih sambil memegang gitar pun sempat sedikit membingungkan.

Salah satu penonton, Agustinus Adi Kurdi, aktor yang mengawali karier keseniannya dengan bergabung Bengkel Rendra sekitar 1970-an, menyebutkan yang dirasanya saat menyaksikan pertunjukan Amien sebenarnya pada persoalan liris puisi Rendra yang kurang muncul.

“Bagaimana orang tidak tahu yang terjadi pada seseorang, itulah yang dimaksudkan Mas Willy (panggilan Rendra-red). Kepasrahan Maria Zaitun ketika menerima penderitaan itu dan ditolak ke sana kemari, sehingga Yesus sendiri yang datang, tidak terasa dengan baik. Tapi, sah saja kalau Amien mau buat seperti itu,” ia mengungkapkan sesudah pementasan.

Sang “Agramanggala”

Di tempat yang sama, Remy Sylado menyebutkan Rendra yang dikenalnya sebenarnya merupakan Kawindra. Kawindra dipinjamnya dari bahasa Kawi yang berarti “penyair besar” atau “raja pujangga”.

Di mata Remy pula, Rendra selalu menempatkan diri sebagai oposan terhadap pemerintah yang melaksanakan roda pemerintahannya dengan kekuasaan yang timpang karena korup. “Untuk tema macam itu tampaknya Rendra cempiang-nya (jagoan),” ujarnya dalam orasi.

Remy juga menyebut Rendra memiliki karunia indra yang tajam dengan kemampuan ekspresi verbal yang sangat Jawa. Dijelaskannya itu kemampuan estetis literal yang diperoleh dari ungkapan-ungkapan derivatif sanepan seperti yang dikenal pada Ronggowarsito dalam bentuk macapatnya.

Arti penting Rendra, kata Remy, akhirnya harus dilihat dalam sejarah teater modern Indonesia. Penting, karena kehadiran Rendra setelah lama menimba ilmu dan pengalaman seni di Amerika, dikembangkan di Indonesia, dan membuat Indonesia yang selama itu tidur, tiba-tiba bangun oleh kiprahnya.

“Yang tua-tua, dan ingin mati dengan tenang, banyak yang marah pada wawasan kontemporer Rendra. Ia menghancurkan seni yang mapan dengan kataklismik, dalam sikap yang disebutnya urakan,” kata Remy yang juga tak segan-segan menyebut Rendra sebagai agramanggala dalam dunia teater. Ia mengutip agramanggala berdasar bahasa Kawi yang berarti “pemimpin paling unggul”.

Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Fikar W Eda, mengatakan program Napak Tilas Sastra dimaksudkan untuk menyusuri kembali butir-butir pemikiran sastrawan Indonesia yang sudah almarhum. “Kenapa Rendra? Karena dia orang yang berkomitmen kuat terhadap keberagaman, hak asasi, dan pembelaan terhadap kaum tertindas,” ujarnya. n

Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 26 November 2013

  

No comments: