GERIMIS baru saja mereda setelah sejam membasahi sebagian kawasan Jakarta. Penari maestro Betawi, Kartini Kisam, melangkah perlahan dari sudut panggung terbuka seraya membawa tiga buah topeng. Lenggok perempuan itu penuh makna. Ada akulturasi budaya yang ingin ia sampaikan.
Pada pementasan itu, Kartini menghadirkan gerakan repetitif. Misalnya, ia menarikan jentik jemarinya secara berputar selama enam hingga sembilan kali. Setiap gerakan penuh dengan simbol dan arti.
Selama ia mementaskan Tari Kembang Topeng, kelompok gambang kromo menggiringinya dengan instrumen ala Betawi. Ada yang khas karena tarian itu disajikan dengan sandiwara. Penggunaan penutup muka (bahasa Betawi: kedok) membuat Kartini semakin rancak berlenggok.
Kartini menghadirkan tiga bagian tarian, yaitu tarian menggunakan topeng berwarna putih, berwarna merah muda, dan berwarna merah. Kedok merah menggambarkan tentang wajah lelaki berkumis dan bergigi tonggos. Itu membuat para penonton pun tertawa. Semua merasa mendapatkan sajian yang menghibur.
Pelestarian budaya
Setelah menari, ia pun langsung mementaskan sandiwara Betawi. Lakon yang disajikan mengupas tentang tokoh perempuan yang ingin melestarikan Tari Kembang Topeng, perjumpaÂan dengan seorang pria tua, pernikahan, dan perceraian.
Mpok Herda dan Sabar memainkan sebuah lakon yang menggambarkan tentang pertemuan. Keduanya cukup santai di atas panggung dengan bahasa khas Betawi. Lalu, berlanjut dengan penari (dipeÂrankan Kartini) yang menikah dengan seorang pria tua dan memiliki seorang putra.
Suguhan sandiwara khas Betawi yang biasa disebut lenong itu membuat penonton pun tak beranjak dari bangku. Semua terbahak-bahak karena setiap adegan diselingi guyonan yang meÂngoyak perut.
“Budaya Betawi ini sudah terakulturaÂsi. Ada Arab, China, dan pribumi. Jadi, di setiap pertunjukan pasti ada unsur budaya luarnya,†tutur penggiat budaya Betawi, JJ Rizal, yang turut menyaksikan pementasan tersebut.
Sempat terhenti
Pementasan malam itu sempat terhenti selama lima menit. Asap putih mengepul tidak jauh dari lokasi pementasan. Sebuah mobil boks hitam mengalami kerusakan karburator sehingga membuat mobil itu mogok.
Kendati demikian, peristiwa yang tak masuk dalam sandiwara Betawi itu langsung membuat penonton ketakutan dan berlari keluar arena pertunjukan. Hampir semua penonton penasaran sehingga bergegas menuju dan melihat ke sumber asap yang mengepul itu.
Asap tebal membuat beberapa penonnton terbatuk-batuk. Sebagian lainnya terlihat harus menutup hidung. “Ah, kagak ape-ape dah. Hanya karburator aje kog,†ucap seseorang yang kemudian membuat pemandu acara langsung meminta penonton dengan menggunakan pengeras suara untuk masuk kembali ke arena pertunjukan.
Malam itu, ada tiga suguhan utama yang dipentaskan, yaitu Palang Pintu, Teater Tutur (Gambang Rancak), dan Tari Kembang Topeng. Semua disajikan ala Betawi yang khas dan penuh guyonan. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 November 2013
Pada pementasan itu, Kartini menghadirkan gerakan repetitif. Misalnya, ia menarikan jentik jemarinya secara berputar selama enam hingga sembilan kali. Setiap gerakan penuh dengan simbol dan arti.
Selama ia mementaskan Tari Kembang Topeng, kelompok gambang kromo menggiringinya dengan instrumen ala Betawi. Ada yang khas karena tarian itu disajikan dengan sandiwara. Penggunaan penutup muka (bahasa Betawi: kedok) membuat Kartini semakin rancak berlenggok.
Kartini menghadirkan tiga bagian tarian, yaitu tarian menggunakan topeng berwarna putih, berwarna merah muda, dan berwarna merah. Kedok merah menggambarkan tentang wajah lelaki berkumis dan bergigi tonggos. Itu membuat para penonton pun tertawa. Semua merasa mendapatkan sajian yang menghibur.
Pelestarian budaya
Setelah menari, ia pun langsung mementaskan sandiwara Betawi. Lakon yang disajikan mengupas tentang tokoh perempuan yang ingin melestarikan Tari Kembang Topeng, perjumpaÂan dengan seorang pria tua, pernikahan, dan perceraian.
Mpok Herda dan Sabar memainkan sebuah lakon yang menggambarkan tentang pertemuan. Keduanya cukup santai di atas panggung dengan bahasa khas Betawi. Lalu, berlanjut dengan penari (dipeÂrankan Kartini) yang menikah dengan seorang pria tua dan memiliki seorang putra.
Suguhan sandiwara khas Betawi yang biasa disebut lenong itu membuat penonton pun tak beranjak dari bangku. Semua terbahak-bahak karena setiap adegan diselingi guyonan yang meÂngoyak perut.
“Budaya Betawi ini sudah terakulturaÂsi. Ada Arab, China, dan pribumi. Jadi, di setiap pertunjukan pasti ada unsur budaya luarnya,†tutur penggiat budaya Betawi, JJ Rizal, yang turut menyaksikan pementasan tersebut.
Sempat terhenti
Pementasan malam itu sempat terhenti selama lima menit. Asap putih mengepul tidak jauh dari lokasi pementasan. Sebuah mobil boks hitam mengalami kerusakan karburator sehingga membuat mobil itu mogok.
Kendati demikian, peristiwa yang tak masuk dalam sandiwara Betawi itu langsung membuat penonton ketakutan dan berlari keluar arena pertunjukan. Hampir semua penonton penasaran sehingga bergegas menuju dan melihat ke sumber asap yang mengepul itu.
Asap tebal membuat beberapa penonnton terbatuk-batuk. Sebagian lainnya terlihat harus menutup hidung. “Ah, kagak ape-ape dah. Hanya karburator aje kog,†ucap seseorang yang kemudian membuat pemandu acara langsung meminta penonton dengan menggunakan pengeras suara untuk masuk kembali ke arena pertunjukan.
Malam itu, ada tiga suguhan utama yang dipentaskan, yaitu Palang Pintu, Teater Tutur (Gambang Rancak), dan Tari Kembang Topeng. Semua disajikan ala Betawi yang khas dan penuh guyonan. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment