Saturday, April 03, 2010

Rabun Membaca, Lumpuh Menulis

-- Bag Kinantan

DENGAN meminjam istilah dari penyair terkemuka negeri ini, Taufiq Ismail, kemampuan intelektual mahasiswa Indonesia tahun 90-an hingga sekarang adalah rabun membaca dan lumpuh menulis. Artinya, mahasiswa zaman sekarang, memiliki minat baca yang minim dan tidak memiliki kemampuan menuangkan ide-ide mereka dalam bentuk tulisan. Singkatnya, mahasiswa sekarang memiliki budaya literasi yang rendah.

Sebagai elemen elite masyarakat atau�dalam bahasa Soe Hok Gie�the happy selected few, kaum intelektual yang persentasenya dalam masyarakat ibarat lapisan tipis kulit bawang memiliki tradisi budaya literasi (budaya baca-tulis) yang tinggi --sebagai cerminan latar belakang pendidikan yang dienyam--, aktif membaca dan produktif menulis. Inilah budaya yang merupakan puncak peradaban intelektual manusia; cerminan masyarakat yang matang. Bahkan negara-negara maju rata-rata memiliki budaya literasi yang kuat sebagai parameter tebal-tipisnya lapisan intelektual di suatu negeri. (Nursalam A.R. dalam Intelectual Paradoks)

Dalam sejarah kita juga mengenal istilah zaman prasejarah dan zaman sejarah perbedaan yang mendasar dari kedua istilah ini hanya pada ada tidaknya tulisan di zaman itu. Zaman prasejarah adalah zaman di mana manusia belum mengenal tulisan, sedangkan zaman sejarah adalah zaman di mana manusia sudah mengenal tulisan.

Seiring berjalannya waktu sampai sekarang, budaya literasi ini terus berkembang. Buku semakin banyak, penulis semakin banyak pula. Namun, entah mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini, lahirnya penulis baru, yang berasal dari kalangan aktivis mahasiswa justru semakin sedikit. Mereka (aktivis) memiliki kecenderungan untuk menjadi idol dalam kancah yang disorot publik dan dielu-elukan massa, sehingga mereka lebih senang tampil berbicara dalam ruang-ruang seminar ketimbang memilih jalan sunyi sebagai seorang penulis.

Dalam bahasanya Nursalam A.R., hanya segelintir aktivis yang rela berjuang dalam sunyi menggulirkan wacana-wacana alternatif di surat kabar kampus, lokal, atau nasional, ketimbang larut dalam gemerlap lampu sorot televisi dan kerumunan wartawan selepas konferensi pers, demonstrasi, atau seminar ala selebritas. Dan dalam bahasanya, menurut Muhyidin M. Dahlan, menulis adalah sebuah jalan sunyi yang sangat sedikit orang memilihnya, kalaulah ada yang memilih jalan sunyi ini, mereka harus siap menjadi orang miskin. Sangat wajar jika sangat sedikit kalangan intelektual (baca: mahasiswa) yang memilih jalan sunyi ini.

Kita sudah sangat jarang melihat atau membaca tulisan-tulisan dari seorang mahasiswa di surat kabar kampus, lokal atau nasional, apalagi kalau kita bicara �buku� yang ditulis seorang mahasiswa. Selain itu juga, tingkat keikutsertaan mahasiswa dalam lomba karya tulis ilmiah pun rendah, seperti yang saya saksikan sendiri di USU ini. Sampai-sampai Pembantu Rektor III USU harus turun tangan.

Terus terang saya merindukan tulisan-tulisan yang lahir dari seorang mahasiswa, tulisan tentang idealisme, tanpa ada paksaan atau maksud lain, selain memang mereka ingin menyuarakan hati nuraninya, demi melihat keadaan bangsa sekarang ini. Akankah muncul lagi buku-buku yang lahir dari rahim penulis muda dengan jaket mahasiswa seperti Soekarno dengan Indonesia Menggugat, dan Di Bawah Bendera Revolusi. Heri Akhmadi (angkatan 1978) dengan Di Bawah Sepatu Laras-nya, Soe Hok Gie, dan lain-lain.

Jika mahasiswa terus mengembangkan dirinya dengan menulis apa saja, terutama yang berkaitan dengan basis keilmuannya, negeri ini akan semakin kaya dengan pengetahuan. Bangsa ini akan mengecap sebuah puncak dari peradaban intelektual, yaitu dengan hadirnya sekelompok intelektual (mahasiswa) yang memiliki semangat membaca yang tinggi, kemudian mereka berhasil membuat formula baru dari hasil membacanya itu.

Akhirnya Taufiq Ismail, tidak akan mengatakan kalangan mahasiswa tahun 90-an sebagai mahasiswa yang rabun membaca dan lumpuh menulis. Teruslah membaca dan teruslah menulis. Di dalamnya akan kita temukan sebuah dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang ada sekarang. Cobalah.

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 3 April 2010

No comments: