-- Asvi Warman Adam
PADA 1 April 2010 akan dideklarasikan Hari Penyiaran Nasional di Surakarta karena 77 tahun yang lalu di sana berdiri Solosche Radio Vereniging, perintis stasiun radio pribumi di Tanah Air.
Radio itu menyiarkan berita, program agama dan kebatinan, pembacaan dongeng anak-anak, petunjuk praktis bagi pendengar (aneka masakan, bordir, dan olahraga), serta musik tradisional. Klenengan atau gamelan, kemudian keroncong, sering diperdengarkan radio ini, di samping wayang kulit purwo sekali sebulan. Memutar lagu tradisional dan menolak musik Barat merupakan perlawanan budaya terhadap penjajah, di samping menumbuhkan kecintaan terhadap khazanah kesenian lokal. Stasiun radio ini kemudian berkembang pada beberapa kota di Pulau Jawa.
Walaupun dipimpin oleh seorang bangsawan Jawa dari Mangkunegaran dan dibantu oleh teknisi Belanda, Solosche Radio Vereniging (SRV) juga mengikutkan beberapa orang Tionghoa (Liem Tik Liang, Tjan Ing Tjwan, dan Tjiong Joe Hok). Sejak awal lembaga ini sudah memperlihatkan ciri kemajemukan.
Yang berperan
Tokoh yang sangat berperan membentuk SRV adalah Mangkunegoro VII, yang semasa kecil bernama Suryosuparto. Ia menyumbang 600 gulden untuk pembelian sebuah pemancar, kemudian menyerahkan tanahnya seluas 6.000 meter persegi senilai 15.000 gulden bagi pembangunan gedung studio SRV di Kestalan Mangkunegaran. Dirancang oleh arsitek Belanda Van Olden dari Bandung, pembangunannya dilakukan Biro Teknik Tee Bing Koen dari Yogyakarta. Ini merupakan studio radio yang pertama di Tanah Air.
Suryosuparto putra dari Mangkunegoro V lahir pada tahun 1884. Sepeninggal ayahnya tahun 1896, karena ia masih kecil, pamannya dinobatkan sebagai Mangkunegoro VI. Pada usia 17 tahun ia meninggalkan istana dan bekerja sebagai juru tulis bupati Demak, penerjemah (Belanda, Perancis, Melayu) di Surakarta, serta redaksi surat kabar Darmo Kondo. Mangkunegoro VII adalah pencinta sastra dunia, seperti karya Rabindranath Tagore, Gitanjali.
Kemudian, Suryosuparto melanjutkan studi ke Universitas Leiden (1913). Menjelang Perang Dunia I, ia masuk dinas cadangan militer Belanda hingga tahun 1915 saat ia pulang di Surakarta. Sekembalinya ke Tanah Air, ia dipilih jadi Ketua Budi Utomo. Tahun 1916, ia dilantik sebagai penguasa baru Mangkunegaran dengan gelar Pangeran Aryo Adipati Prangwedono. Pada usia 40 (tahun 1924) ia dinobatkan sebagai Mangkunegoro VII.
Selama masa kepemimpinannya, Mangkunegoro VII sangat aktif melakukan berbagai pembangunan sosial-ekonomi, antara lain pembangun jembatan, jalan, sekolah, perumahan pegawai, perbaikan irigasi, peternakan, pendidikan pertanian, dan perluasan perpustakaan. Mangkunegoro VII bersahabat baik dengan arsitek terkemuka, Thomas Karsten, yang membangun Pasar Gede dan beberapa bangunan pada Pura Mangkunegaran.
Mangkunegoro VII juga mendirikan Java Instituut untuk pengembangan budaya Jawa, Madura, Bali, dan Sunda. Lembaga ini menerbitkan majalah tiga bulanan. Tahun 1937, selama empat bulan, ia dengan istri dan putrinya berangkat ke Eropa menghadiri perkawinan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard di Istana Noordeinde, Den Haag.
Putri Mangkunegoro VII, Gusti Nurul, mempertunjukkan tari serimpi di sana, diiringi gamelan Kanjut Mesem di Pura Mangkunegaran yang dipancarkan oleh SRV dari Solo ke Belanda. Antara tahun 1936 dan 1937, Gesang yang menggubah ”Bengawan Solo” sering memperdengarkan suaranya pada SRV.
Meskipun tak melakukan perlawanan bersenjata, Mangkunegoro VII tegas bila pejabat Belanda melanggar kedaulatan Mangkunegaran. Ia mengusir Gubernur JJ van Helsdingen pada tahun 1930 karena hadir dalam rapat di Mangkunegaran tanpa diundang. Sebelumnya ia juga mengabaikan larangan Residen Surakarta Harloff agar sejumlah proyek irigasi ditangguhkan.
Mangkunegoro VII adalah seorang bangsawan yang berjasa merintis penyiaran di Tanah Air.
* Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI
Sumber: Kompas, Kamis, 1 April 2010
No comments:
Post a Comment