Tuesday, April 13, 2010

[Teroka] Politik di Balik Ungkapan Baru

-- Maman S Mahayana*

BAHASA mencerminkan bangsa! Adagium ini sesungguhnya menyimpan sejarah panjang tentang hubungan bahasa dan masyarakat. Melalui bahasa, dapat ditemukan naluri dan sikap budaya sebuah bangsa. Bahasa tak sekadar menjadi alat berkomunikasi, tetapi juga sebagai ekspresi kultural, bahkan juga ideologi. Dengan begitu, belajar bahasa dapat pula digunakan untuk memahami sikap budaya dan ideologi bangsa itu.

Perkembangan bahasa Indonesia mencerminkan juga perjalanan sikap budaya. Sebut misalnya, kata-kata ini: kursi, meja, mangkok, gelas, dan gorden. Unsur serapan ini entah sejak kapan menjadi bahasa sehari-hari, tanpa kita merasa risi bahwa itu berasal dari bahasa Arab, Portugis, China, Inggris, dan Belanda. Belum kosakata yang datang dari bahasa Latin, Sanskerta, Parsi, India, dan bahasa bangsa-bangsa yang pernah punya hubungan dengan penduduk Nusantara.

Bahasa Indonesia yang berkembang sekarang adalah bahasa gado-gado; hibrida yang menerima serapan bahasa asing dan tak menolak unsur bahasa etnik. Itulah inklusivisme Melayu yang memancarkan kreativitas budaya masyarakatnya. Maka, tak perlu heran jika dalam bahasa Indonesia berseliweran kosakata serapan dari berbagai bahasa asing dan bahasa daerah.

Di samping mudahnya bahasa Indonesia menyerap unsur asing dan daerah, ia juga merefleksikan semangat zaman. Ia menjadi fakta sosial ketika kita coba menelusuri asal-usulnya. Dalam sejumlah kasus kebahasaan, media massa paling besar kontribusinya dalam melahirkan dan memopulerkan ungkapan bahasa sebagai ekspresi sosial.

Boleh jadi generasi sekarang tidak dapat memahami konteks ungkapan: Macan Podium (Bung Karno), Macan Bola (Ramang), Wanita Besi (Margareth Thatcher), Si Leher Beton (Mike Tyson), atau Gol Tangan Tuhan (Maradona). Pada zamannya, ungkapan-ungkapan itu begitu populer. Kini, mereka sekadar menjadi catatan sejarah dan mungkin tak dapat dipahami jika dilepaskan dari konteks sejarah pembentukannya.

Potret sosial politik

Ungkapan indehoy atau in de hooi (Belanda) pun pernah cukup populer untuk menyebut pasangan yang sedang berpacaran. Bagaimana ceritanya in de hooi (di balik jerami) dimaknai berpacaran, sementara makna asalnya adalah ’di balik jerami’? Rupanya, konon, orang Belanda jika berpacaran senang ngumpet di balik jerami belukar. Dan masyarakat kita cari mudahnya saja: orang yang sedang in de hooi itu berarti sedang berpacaran. Cari mudahnya itu terjadi juga pada ungkapan vrij man (menganggur, tidak punya kegiatan) yang lalu menjadi preman (menganggur, tidak punya pekerjaan) dan di belakang hari bermakna penjahat atau seseorang yang kerap dikaitkan dengan tindak kriminal.

Pada zaman Orde Baru, berbagai ungkapan dan pernyataan eufimisme seperti timbul tenggelam begitu saja. Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) untuk menyebut para perusuh keamanan dan petrus (penembak misterius) kini hilang dan sekadar menjadi ingatan kolektif. Tetapi, akronim asbun (asal bunyi) dan singkatan ABS (asal bapak senang) atau eufimisme ”disesuaikan” untuk kenaikan harga masih tetap digunakan.

Selepas Orde Baru tumbang, ingar bingar kehidupan politik secara signifikan memengaruhi cara pandang, perilaku, sikap hidup, dan saluran komunikasi masyarakat. Euforia politik sungguh dahsyat pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan bangsa, di dalamnya termasuk perkara kebahasaan.

Sebut juga misalnya, ungkapan polisi tidur, yang tidak berhubungan apa pun dengan soal kepolisian. Atau sebutlah ungkapan umum tentang ”polisi cepek” yang kerap disebut juga sebagai Pak Ogah.

Ungkapan polisi cepek secara etimologis dapat ditelusuri pembentukan dan pemaknaannya. Tapi kini, pecahan uang cepek (seratus rupiah) begitu kecil nilainya. Maka kata cepek, tentu tidak lagi relevan. Walau mungkin persoalannya bukan di masalah nilai uangnya, melainkan pada cara bagaimana masyarakat pemakai bahasa secara kreatif membuat ungkapan berdasarkan konteks sosial.

Suatu saat, ungkapan polisi cepek mungkin akan hilang ditelan masa, seperti juga kata picis dalam ungkapan roman picisan yang muncul tahun 1950-an. Kata picis berarti uang logam, bernilai sepuluh sen atau disebut ketip (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, hal 870). Uang dengan nilai sen, ketip, talen, bahkan ringgit sekarang hilang dan hanya ada dalam catatan kamus.

Penjara politik bahasa

Maraknya aksi demo juga memunculkan berbagai ungkapan baru. Sebut saja, parlemen jalanan, pengadilan rakyat, politik dagang sapi, politik uang, badut politik, dagelan politik, dan ungkapan lain yang berkaitan dengan kehidupan politik. Dilihat dari pola pembentukannya, ada sejumlah ungkapan yang menggunakan analogi, tetapi ada juga yang dibentuk dengan pertimbangan asal enak dibaca. Ungkapan kendaraan politik atau gerbong politik, misalnya, menganalogikan partai politik dengan kendaraan.

Dalam kehidupan kemahasiswaan, predikat yang diberikan kepada mahasiswa tertentu juga memunculkan sejumlah ungkapan. Mahasiswa yang sering bolos karena mengikuti berbagai kegiatan disebut mahasiswa aktivis. Ada pula mahasiswa yang dibayar untuk mendukung kelompok tertentu, disebut mahasiswa bayaran. Berbagai ungkapan lain terus bermunculan, seperti mahasiswa salon, atau mahasiswa anak mamih untuk menyebut mahasiswa pesolek dan mereka yang tidak mau terlibat kegiatan kampus. Banyaknya aksi tawuran antarpelajar juga melahirkan beberapa ungkapan baru, seperti hujan batu, perang batu, dan tawuran massal.

Pada awal tahun 2010 berkaitan dengan 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berbagai surat kabar Ibu Kota memunculkan ungkapan ”curhat” alias curahan hati. Ungkapan itu awalnya digunakan kaum remaja yang berkeluh kesah menceritakan perasaan hatinya. Sebagai bentuk ungkapan perasaan (hati), mereka menceritakan persoalan asmara atau hubungan dengan keluarga sehingga merasa perlu berbagi kisah dengan orang lain.

Model ungkapan itulah yang lalu disebut curhat. Maka, ketika siapa pun—termasuk presiden— berkisah tentang masalah yang dihadapinya kepada publik, tak pelak lagi masyarakat menyebutnya curhat. Ungkapan curhat pun tiba-tiba jadi populer di ranah politik. Di titik ini, bahasa tampak seperti dipenjara oleh konteks politiknya. Dan manusia, subyek dan obyek bahasa itu, pun ternyata dipenjara oleh bahasa.

Sudah saatnya kemerdekaan lain mesti diupayakan. Setidaknya dalam bahasa.

* Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI Depok, Kini Mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea

Sumber: Kompas, Selasa, 13 April 2010

No comments: