-- Ahmad Yani
KORUPSI di Indonesia merupakan problem besar dan akut. Disinyalir, korupsi telah menjadi bagian dari budaya yang sudah menjangkiti semua lini. Mulai dari pejabat hingga rakyat, dari yang nilainya triliunan hingga hanya ribuan rupiah.
Praktik korupsi, khususnya di daerah, berlangsung dari yang halus sampai kasar, dari yang kontroversial sampai yang penuh intrik. Spektrum praktik korupsi di daerah tidak terbatas pada pejabat publik atau legislatif daerah, tetapi juga melibatkan orang pusat. Bahkan yang mengejutkan, ternyata praktik korupsi ini menyentuh juga sampai elemen masyarakat terkecil yang melibatkan dana relatif kecil, yaitu hanya ratusan ribu rupiah.
Kondisi demikian sudah pernah dinyatakan oleh Bung Hatta pada suatu kesempatan tahun 1970. Ia mengatakan, perilaku korupsi bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi hal yang biasa terjadi dan bukan barang aneh. Tidak heran jika peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia belum beringsut dari bilangan kurang dari seratus. Tahun 2008, misalnya, Indonesia masih berada pada urutan ke-126 dari 180 negara. Dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik, hasil survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) bahkan menempatkan Indonesia pada urutan terbawah, sebagai negara terkorup.
Buku berjudul Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan yang ditulis Hadi Supeno ini secara umum seolah memberikan jawaban atas kebenaran sinyalemen di atas. Buku ini memaparkan kesaksian, pengalaman, dan pengakuan penulisnya yang mantan birokrat di daerah tentang bagaimana, siapa, dan mengapa praktik dan perilaku korupsi dapat begitu mewabah dan marak di daerah, khususnya pada era otonomi daerah.
Bab pendahuluan berupa prolog dari 12 bab lainnya yang menguraikan tentang ragam praktik-praktik korupsi di daerah. Kebijakan otonomi daerah yang dimaksudkan sebagai strategi mempercepat kesejahteraan masyarakat justru menjadi ajang pemerataan tindak korupsi atau pembudayaan korupsi yang jauh lebih meluas sampai ke simpul-simpul terkecil masyarakat (hlm 5).
Dituliskan, praktik korupsi di daerah antara lain berupa permainan memperbesar alokasi dana pusat, mark-up anggaran, KKN, dan kroniisme pengadaan barang dan jasa. Sebagai contoh, korupsi di dunia pendidikan berupa pengadaan buku dan baju seragam. Di bidang kesehatan dapat berupa korupsi pengadaan alat kesehatan, conflict of interest antara kepentingan pelayanan umum kesehatan dan praktik pribadi tenaga kesehatan.
Eksekutif dan legislatif
Dalam kurun waktu 1999-2009, seribuan lebih anggota DPRD dan kepala daerah diduga terlibat kasus korupsi dengan kerugian uang negara sekitar Rp 200 miliar. Apabila melihat nilai dan modus operandinya, menurut mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, korupsi di daerah sudah masuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang patut diganjar hukuman berat.
Sayangnya, upaya pemberantasan korupsi belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Dalam lima tahun terakhir, cukup banyak kasus korupsi yang dibongkar oleh penegak hukum. Sekitar 500 pejabat publik dari pegawai rendahan hingga pejabat eselon 1, mantan menteri, dan anggota DPR dipenjara. Namun, pemenjaraan ini kurang efektif memberikan efek jera. Dalam kenyataannya, perilaku dan modus operandinya justru makin berkembang.
Ahmad Syafii Ma’arif dalam kata pengantar buku ini menyangsikan keseriusan dan kesungguhan bangsa ini untuk memberantas korupsi. Ada tiga alasan yang mendasari hal itu. Pertama, masih sangat terasa kesan tebang pilih pemberantasan korupsi. Kedua, masih saja ada indikasi aparat hukum yang ”main mata”. Misalnya kasus Jaksa Urip yang ”main mata” dengan Artalyta Suryani.
Ketiga, adanya upaya sistematis untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain upaya kriminalisasi dua pimpinan KPK. Padahal, terlepas dari beberapa kelemahan, keberadaan KPK cukup ampuh memberikan shock therapy kepada koruptor.
Senada dengan Ahmad Syafii Ma’arif, penulis buku ini menduga adanya pembiaran praktik korupsi sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat. Seorang pencuri ayam yang tertangkap akan digebuki massa dan menerima hukuman kurungan. Namun, pencuri berkerah putih yang merampok uang rakyat dalam nominal miliaran rupiah bebas berkeliaran. Bahkan, apabila dijatuhi vonis masih bisa menikmati fasilitas hidup mewah di dalam penjara. Ambil contoh, kasus seorang oknum jaksa yang terbukti menghilangkan dan menjual barang bukti berupa narkoba hanya dihukum satu tahun saja.
”Kemoterapi” budaya
Buku ini dapat menjadi semacam buku referensi inspiratif untuk memahami tentang bagaimana modus operandi praktik-praktik korupsi di daerah. Apresiasi patut diberikan kepada penulis buku ini yang menawarkan bagaimana cara memberantas korupsi berdasarkan kesaksian dan pengalaman sebagai birokrat di daerah.
Beberapa tawaran alternatif solusi praktis yang mungkin efektif untuk jangka pendek, antara lain menghapus forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) yang ditengarai hanya sebagai ajang kongko-kongko dan cenderung dikooptasi pelaku korupsi sebagai pelindung. Reformasi birokrasi, serta penguatan KPK serta revitalisasi dan harmonisasi institusi-institusi penegak hukum.
Ke depan, sebagai tindak lanjut, tentu saja dibutuhkan semacam kemoterapi budaya melalui rekayasa sosial yang ajek untuk membangun industri hati segenap bangsa ini untuk mengenali sejak dini perilaku korupsi. Universitas Paramadina, misalnya, menyelenggarakan mata kuliah khusus tentang antikorupsi. Selain dibekali teori, mahasiswa juga melakukan diskusi studi kasus, pengamatan, dan membuat laporan investigasi.
Untuk membebaskan Indonesia dari korupsi, setidaknya butuh dua prakondisi. Pertama, kemauan (willingness), yang terkait dengan etika setiap individu. Kedua, kesempatan (opportunity), yang menyangkut sistem. Keduanya saling terkait. Etika dan sistem harus dibangun secara simultan dan konsisten.
* Ahmad Yani, Sekretaris Lembaga Analisis Kebijakan Publik (LAKIP)
sumber: Kompas, Minggu, 4 April 2010
No comments:
Post a Comment