Sunday, April 04, 2010

Teater dan Kultur Abortif

-- Halim H.D.*

MEMBACA biodata seorang seniman, bagi saya, adalah sesuatu yang menyenangkan. Ketika membaca, saya membayangkan betapa data dari kehidupan itu dengan liku-liku proses yang dibarengi oleh segala macam jenis permasalahan dan diiringi tangis tawa sedih duka dan cucuran keringat, dan tentu saja sejenis heroisme romantik yang selalu menjadi salah satu watak kalangan seniman. Dalam membaca, saya juga tertarik dengan umur, waktu, dan kapan mereka memiliki karya yang dianggap sejenis master piece-nya oleh pengamat, kaum seniman, media, dan publik.

Kegembiraan saya dalam menelusuri lintasan waktu yang dilalui oleh seniman bukan hanya pembayangan saya tentang prosesnya, akan tetapi juga saya mengagumi mereka. Bayangkan, seorang Chairil Anwar, misalnya, dalam usia muda dengan karya yang selalu membuat saya sampai sekarang bergetar jika kembali membacanya. Atau Sudjojono, Affandi, Basuki Resobowo pada 1940-an yang membuat ”poster perjuangan”. Dan mereka ketika itu masih berusia muda dengan spirit yang bergelora dan yakin kepada jalan yang dipilihnya untuk bukan hanya menyatakan diri.
**

JALAN terbuka yang dikuak oleh kaum muda itulah yang membuat saya selalu ingin bergaul dengan mereka yang memiliki peluang kehidupan lebih panjang, seperti ketika saya menyaksikan pertunjukan teater karya mereka. Dari dunia teater, dalam pembacaan saya, dunia panggung ini selalu diisi oleh kaum muda yang menciptakan pembaharuan.

Kita ingat Rendra pada umur 30-an yang mengajak kita menengok kembali kepada akar tradisi; seperti juga Arifin C. Noer dengan karya ”magic realism” ala Nusantara; Suyatna Anirun, Teguh Karya, dan Wahyu Sihombing yang mengantarkan kita kepada jenis realisme yang lain dengan detail yang memukau; Putu Wijaya dengan gedoran teror yang mengguncang dan menyadarkan kita di antara represi sistem yang cenderung membuat jumud; Riantiarno membuat panggung gempita oleh gelak yang menertawakan realitas sosial politik dan mengajak kaum OKB Orba ke dalam apresiasi berteater; Rachman Sabur dengan physical theatre mengungkap potensi seluruh tubuh dalam tingkat kekerasan yang sering kita anggap muskil; Wawan Sofwan melalui jalan realisme terus melacak daya ungkap melalui studi banding kultur lokal dan mancanegara.

Catatan biografis yang saya baca di selingkungan orang teater (dan juga tari!) membuat saya tertarik dan bertanya-tanya. Mengapa masa muda demikian kuatnya sehingga mereka melakukan sejenis eksplorasi, dan kenapa pula, sebagaimana gerakan kaum muda, begitu pendek? Dalam pembacaan saya kepada biodata mereka, rata-rata ketika mereka berumur tiga puluhan mereka mencapai sejenis momentum puncak karya dan garapan mereka. Akan tetapi mengapa mereka tidak (atau kurang) bisa melintasi waktu, mencapai 60 tahun sebagai sutradara.

Pertanyaan saya itu berkaitan dengan perbandingan selintas ketika saya sempat menyaksikan berulang-ulang karya dan garapan sutradara. Misalnya di Jepang, Yukio Ninagawa pada umur 60-an dan menjelang 70 tahun masih memiliki karya yang saya anggap seperti "kegilaan" kaum muda, sama seperti Satoh Makoto, yang lebih muda beberapa tahun dari Ninagawa. Begitu pula dengan karya Ando, dari Yokohama Boat Theatre, orang tua itu masih terus tampak mencari-cari. Di negeri lain, July Taymor, Peter Sellars, Robert Wilson, atau nama legendaris Peter Brook (peraih Kyoto Award, nobel untuk seni pertunjukan; juga John Cage, komposer).

Adakah karena mereka mempunyai sejenis ungkapan prinsip yang menyatakan bahwa hidup dimulai pada usia 40 tahun? Dan kita justru merasa bahwa ketika usia 40 tahun mesti masuk ke dalam kehidupan mapan, berpuas diri, dan merasa bahwa menjadi "sepuh" dalam usia yang masih muda? Ataukah kita tergoda dengan ungkapan tentang keindahan mati muda? Tentu kita bisa menghibur diri bahwa Rendra dengan Bengkel Teater-nya masih menciptakan karya pada 1980-an ketika usianya 50 tahun, Suyatna Anirun masih rapi jali pada 1990-an.

Kondisi sosial atau situasi dan kondisi yang bagaimanakah sehingga membuat kita bergeming dengan waktu? Saya teringat obrolan dengan Sutan Takdir Alisjahbana pada pertengahan 1970-an, dan sepuluh tahun kemudian saya bertemu, dan bagaimana pemikir ini selalu bergelora dalam bercakap-cakap menyatakan gagasannya. Saya juga teringat dan selalu menjadi bahan pikiran saya, kenapa pada usia 90 tahunan Mak Coppong, empu tari Pakarena dari desa Kampili, Palngga, Gowa di Sulsel itu kian memukau, sementara Sardono W. Kusumo pada usia 60 tahun sudah merasa tua untuk menari?

Jika sistem dan kondisi sosial yang menjadi masalah yang mengungkung, kenapa pula ada sosok-sosok yang mampu melintasinya? Tak banyak aktor teater yang dalam usia 50 tahun mampu manggung selama satu jam, sementara Putu Wijaya pada usia 60-an sebagai aktor bermain selama 100 menit, dan meletupkan kapasitasnya dengan piawai yang membuat banyak orang geleng-geleng kepala, terpukau.

Saya tak tahu, apa yang menjadi masalah kita. Mungkinkah jawabannya ada di masa depan, pada kaum muda yang kini akan menjawabnya, di antara begitu banyak orang-orang yang memasuki ruang abortif oleh sistem atau dirinya?***

* Halim H.D., ”networker” kebudayaan.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 4 April 2010

No comments: