Sunday, April 25, 2010

[Buku] Ruang Kata di dalam Sajak Remeh

-- Alex R Nainggolan

KETIKA seorang penyair mengubah yang remeh menjadi berarti, barangkali sajak yang ditulisnya justru berkisah banyak. Kata-kata yang terjalin bukan hanya sekadar meminjam bahasa, melainkan menjelma jadi sebuah sintaksis kalimat yang ajaib.

Hasan Aspahani adalah penyair yang mahir dengan hal tersebut. Meminjam bahasa Iswadi Pratama—ia merebut segala yang remeh dan tak berarti. Maka, puisinya menelusup ke dalam kesukaan pribadi-pribadi, lalu melepas ke cakrawala pembaca yang luas. Seseorang yang tidak suka komik pun bisa terpesona ketika ia menggambarkan ihwal komik dalam sajak-sajaknya. Ia seperti memberi suguhan lain dari citra komik tersebut.

Dalam pelbagai imajinya, Aspahani seperti memburu orang untuk menemukan jalan pulangnya sendiri. Seperti dalam ”Catatan Seorang pembuat Komik”: ”Sia-sia bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah terkemas, bersama kuas, pensil 3 B, dan tinta cina... Aku ternyata telah lama kehilangan rumah, karena terlalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan, juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari arsip, rancangan sampul” (hal 11).

Demikian pula dalam pelbagai sajak lainnya. Ia seperti ingin mengajak pembaca termenung, pada sebuah ide ajaib yang dimilikinya. Meskipun hal tersebut terpampang dalam keseharian. Melalui kata-kata sajaknya, Aspahani seperti memberi artian baru. Dalam sajak-sajak ”Kamus”-nya, ia membuat definisi-definisi lain dari kata—yang tidak berbeda dari makna kata itu sendiri. Keteraturannya dalam mengolah bahasa, katakanlah untuk menemukan barisan diksi membuat jejak kalimat puisinya tidak ambigu. Bahkan membuka makna yang lebih dalam.

Dalam kamus ”Sepi” misalnya: ”oh, ternyata amat tak mudah, mengarti-artikan kata ini. Aku mungkin perlu menyayat dua-dua telinga hingga menuli, Aku barangkali harus busukkan dua-dua mata hingga membuta. Dan engkau hanya buka halaman kamus, menunjuk namaku yang sudah kauhapus” (hal 39).

Kisah kata-kata

Maka tak mengherankan pula jika menulis sajak bagi Aspahani merupakan ”upaya” untuk mencari serangkaian ”tetapi”, ”bahkan”, ”atau” dan ”kemudian”. Dengan ajaibnya, ia membentuk formula kata yang baru. Meramunya seperti eksperimen yang tak kunjung kelar. Maka kata-kata seperti berkisah dengan sendirinya. Bukan sekadar hitam putih semata. Bagaimana kata-kata melumat segalanya dalam puisi ”Rumah Kata & Tuan Rumah Kata”: Aku kehabisan ruang di rumah kata. Ruang luar dan ruang dalam kata sudah ditempati tamu dari jauh. Tamu itu kawan-kawanku sendiri. Mereka tidur, makan, dan ngobrol. Aku ketuk-ketuk pintu ruang kata itu. Mereka tak mendengarku. Rumah kata tak lagi dikawal penjaga. Siapa saja bisa masuk. Tapi apa artinya berada di dalam ruang kata? (hal 69).

Dihadapkan sebuah puisi, barangkali seperti memasuki medan perang filsafat. Setiap penyair seakan-akan menyuguhkan semua jurus yang dimilikinya untuk menghidupkan semua diksi yang disusun, direkatkan, kemudian direkam dalam pusat memori. Unsur depan sadar yang sering dibicarakan Sutardji Calzoum Bachri, lebih merupa pada langkah meditasi, yang bermula dari kata Le Duc de Luynes, Descartes melanjutkan, ”Puisi sebagaimana juga filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus.”

Pun pada Aspahani, puisi-puisinya selalu berpola filsafat. Ia seperti mendapati bagaimana cara yang lain untuk menafsirkan hidup ini. Akhirnya pada sajak-sajaknya, kita dihadapkan pelbagai pertanyaan tentang hidup itu sendiri. Barangkali dengan begitu ia akan membuat sebuah ”pernyataan” tentang hidup itu sendiri.

Kalimat magis

Aspahani adalah penyair yang ”berani” untuk membongkar liku kehidupan. Ia benar-benar lihai dalam meracik kata sehingga pembaca pun disuguhi pelbagai sketsa, yang mulanya remeh—menjadi besar.

Memang ada tema empat besar yang terangkum, sebagaimana yang terpilah dalam subbagian: Kitab Komik, Kamus Empat Kata, Malaikat Penjaga Gawang, dan Tetapi, Aku Penyair! Sajak-sajak dalam kumpulan ini lebih menarik garis merah kurang lebih sama pada subbagian tersebut. Di sana kita dihadapkan pada rangkaian kalimat magis, yang dipenuhi perenungan. Meskipun, dalam kesempatan uraian tentang dirinya, Aspahani mengatakan cenderung untuk menulis puisi yang lekas (di zaman yang lekas!), toh, bagi saya, sajak-sajaknya justru tak lekas. Terlihat upaya dirinya untuk menggali ”makna” kata yang lebih dalam lagi. Ia seperti menghidupkan setiap rangkaian jeda, sintaksis kalimat yang ada dalam puisi. Sehingga yang timbul ialah bukan puisi-puisi verbal.

Dengan lugas ia masuk dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Satu keheningan ke keheningan lain. Ia seperti membujuk kata untuk terbakar dengan sendirinya. Mungkin dengan propaganda yang tersisa dalam benaknya. Dan siap meledak! Ketika sajak itu jadi, toh saya mendapati tafsiran yang ”luas tak terperi”.

Ciri khas yang saya tangkap dari sajak-sajak Aspahani ialah ia kerap memulai sajaknya dengan huruf besar (caps lock, di keyboard komputer) pada kata pertama. Itu saya jumpai di semua sajaknya.

Dalam beberapa sajak yang ditulisnya bagi penyair semacam Afrizal Malna, Joko Pinurbo, Acep Zam-Zam Noor, TS Pinang, Sitok Srengenge, dan sebagainya, terasa benar jika ia masih tetap mengikuti perkembangan puisi-puisi penyair itu. Beberapa sajak yang sudah dikenal khalayak ramai pun turut diculik. Semacam dalam sajak yang ditujukan bagi Acep: ”Bagaimana Kau Bisa Menjadi Penyair Lagi?” (bandingkan dengan sajak Acep ”Menjadi Penyair Lagi”).

* Alex R Nainggolan, Penyair

Sumber: Kompas, Minggu, 25 April 2010

No comments: