Wednesday, April 14, 2010

Cagar Budaya: "Mengontrak" Rumah Sendiri

DI antara gedung bertingkat di kawasan bisnis Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta, sebuah rumah kuno bergaya indies berdiri anggun. Halamannya yang luas dan asri terlihat kontras dengan kondisi sekitarnya.

Sani Putri (57) di salah satu sudut rumahnya di Jalan Wolter Monginsidi, Cemorojajar, Yogyakarta, Rabu (7/4). Dengan kerja keras dan biaya besar, rumah bergaya indies yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1908 ini masih terawat sesuai aslinya. (KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM)

Di sisi timur, sebuah pusat perbelanjaan setinggi empat lantai berdiri megah. Di sisi kanan, hotel berbintang empat tegak menjulang.

Arsitektur indies tampak dari pintu dan jendela rangkap berbentuk krepyak dengan terali besi. Diperkirakan berdiri awal tahun 1900, rumah keluarga Moelio Soebroto adalah satu di antara sedikit rumah yang bertahan dari berbagai perubahan di sekitarnya. Rumah-rumah seusia di sekitarnya telah berubah menjadi gedung untuk usaha.

”Dahulu rumah ini punya kembaran, tepat di sebelah kirinya. Pemiliknya kakak-beradik orang Belanda. Beberapa tahun lalu, rumah kembarannya itu sudah dirobohkan untuk usaha meski sekarang hanya jadi tanah kosong,” kata Dewi Harmastuti (50), putri ke-9 dari pemilik rumah, Selasa (13/4).

Dewi berbicara mewakili ibunya yang telah berusia 89 tahun. Ayahnya, seorang pengusaha hasil bumi yang cukup berhasil pada masa itu, telah lama meninggal dunia. Rumah keluarga Moelio Soebroto merupakan salah satu bangunan yang dicanangkan sebagai satu di antara 30 benda cagar budaya (BCB) di Kota Yogyakarta.

Sebuah prasasti bertanggal 20 Desember 2005 terpancang di halaman depan, menyebutkan penghargaan untuk pemilik rumah yang telah melestarikan warisan budaya. Prasasti itu ditandatangani Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X. Sejumlah penghargaan dari pemerintah juga diterima (pemilik) rumah tersebut.

Rumah itu semula dimiliki keluarga Belanda bernama Leo Hose. Pada periode 1946-1950, rumah dengan banyak jendela besar tersebut sempat ditinggali Menteri Muda Pertahanan Aruji Kartawinata pada masa Kabibet Syahrir II. Rumah itu juga dikabarkan pernah ditinggali Sultan Hamengku Buwono IX saat ngenger pada keluarga Belanda yang tinggal di sana.

Hingga saat ini, rumah tersebut masih dipertahankan sesuai aslinya. Sejumlah renovasi dilakukan hanya untuk memperbaiki bagian yang rusak di sana-sini. ”Kami ingin mempertahankan rumah ini. Soalnya, ini pesan orangtua,” ujar Dewi.

Terbebani pajak

Akan tetapi, tak mudah bagi keluarga melestarikan rumah itu. Selain merawat bangunan, mereka juga terbebani Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sangat tinggi. PBB rumah seluas lebih kurang 1.600 meter persegi itu mencapai Rp 20 juta setahun. ”Sangat aneh rasanya. Kami ini serasa harus membayar sewa atau kontrakan untuk tinggal di rumah sendiri. Dengan uang segitu, kami sudah bisa dapat rumah kontrakan yang bagus,” kata Dewi.

Tingginya PBB bagi rumah mereka yang berstatus BCB, menurut Indah Kristiani (58), putri ke-6 Moelio Soebroto, sangat memberatkan. Apalagi ibunya yang telah berusia lanjut tidak punya pemasukan sama sekali. Untuk menutup biaya PBB, mereka menyewakan paviliun di bagian barat rumah kepada sebuah perusahaan pengiriman barang. Namun, hasilnya hanya bisa menutup seperempat dari besarnya pajak.

Melihat lokasinya yang sangat strategis untuk bisnis, sebenarnya amat mudah bagi keluarga Moelio Soebroto memperoleh banyak uang dengan menyewakan rumahnya. Berkali-kali tawaran itu datang dari bank atau perusahaan yang ingin menyewanya menjadi kantor. Tawaran selalu ditolak karena khawatir penyewa akan merusak bagian-bagian rumah.

Tingginya biaya perawatan dan PBB banyak dialami pemilik benda warisan budaya (BWB) ataupun BCB lainnya di Yogyakarta. Karena tak punya dana, beberapa bangunan bernilai budaya tinggi itu banyak yang rusak atau dijual.

Salah satunya adalah Ndalem (rumah) Nototarunan di Kecamatan Pakualaman. Rumah berusia hampir 200 tahun ini (dibangun tahun 1811) disebut pernah menjadi rumah tinggal BPH Natakusuma Paku Alam I, sebelum yang bersangkutan pindah ke Pura Pakualaman Yogyakarta.

Rumah di atas tanah seluas 2.317 meter persegi itu rusak parah setelah gempa bumi besar melanda Yogyakarta pada 2006. Gapura rumah hancur. Tiang-tiang kayu, dinding, dan langit-langit banyak yang retak ataupun hancur. Struktur bangunan juga miring ke selatan akibat guncangan gempa.

”Sejak gempa hingga saat ini belum pernah diperbaiki secara menyeluruh karena ketiadaan dana,” kata Rini Widjajanto (59), salah satu ahli waris Ndalem Nototarunan. Karena kerusakan yang parah itu, Ndalem Nototarunan tak lagi dihuni.

Tak hanya soal biaya, para pemilik BCB dan BWB pun terikat berbagai peraturan apabila berniat merenovasi atau memperbaiki rumahnya sendiri.

Kepala Seksi Pembinaan dan Pelestarian Nilai-nilai Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta Widiyastuti mengatakan, pemerintah tengah menggagas sejumlah langkah untuk meringankan beban pemilik BCB dan BWB. Saat ini, di Kota Yogyakarta terdaftar 30 BCB dan 407 BWB.

Pada tahun ini, pemerintah menyediakan dana Rp 500 juta untuk subsidi PBB para pemilik BCB dan BWB. ”Memang belum bisa dicairkan sekarang karena masih menunggu beberapa pembahasan permasalahan teknis,” ujarnya.

Terobosan kebijakan ini patut dihargai karena belum ditemui di daerah. Pemotongan PBB sangat didambakan pemilik BWB dan BCB. ”Kami harap ini tidak sekadar janji, tetapi bisa direalisasikan,” ujar salah satu pemilik BWB, Sani Putri (57), di Kawasan Cemorojajar, Yogyakarta.

(Irene Sarwindaningrum/Muhamad Final Daeng)

Sumber: Kompas, Rabu, 14 April 2010

No comments: